Kamis, 30 Oktober 2008
Banjir Bandang Menerjang Kecamatan Ella Kab. Melawi Kalbar
Rabu, 29 Oktober 2008
Sengketa Kawasan Hutan Antara MA Ketemenggungan Siyai Vs TN Bukit Baka - Bukit Raya
Penanda Tanganan Kesepakatan Bersama antara MA Siyai dan TN BB - BR untuk Menyelesaikan Sengketa Kawasan Hutan
Berdasarkan pengamatan di lapangan (tempat ladang), bahwa ladang yang dimaksud adalah ladang bekas tahun sebelumnya. Karena tidak jadi dibakar, maka mereka menebasnya lagi dan tidak ada menebang pohon kayu. Tidak hanya 2 (dua) orang saja yang berladang di tempat tersebut, tapi ada 5 (lima) orang yang semuanya adalah warga Masyarakat Adat Sungkup. Kalau mengacu pada hasil pemetaan parsipatif tahun 1998 yang difasilitasi oleh PPSDAK – Pancur Kasih bekerjasama NRM-2/EPIQ, Unit TN BB-BR, LIT-BANG, Kanwil Dept. Kehutanan Kab. Sitntang, PT. SBK Kab. Ketapang bahwa kawasan tempat berladang merupakan hak penguasaannya oleh warga Masyarakat Adat Sungkup. Pemetaan partisipatif sendiri dilakukan untuk mengantisipasi konflik yang akan muncul antara Masyarakat Adat dan TN BB-BR serta dengan pihak perusahaan PT. SBK dalam hal pengusaan kawasan hutan.
Rabu, 22 Oktober 2008
Batu Bara di Kecamatan Serawai Kab. Sintang
Perempuan Adat Dusun Gurung Permai Kecamatan Serawai Mengusir
Serawai - Kejadian ini bermula pada hari Sabut tanggal 18 Oktober 2008, ketika tim survey dari PT. Heravika Kalsindo datang ke Dusun Gurung Permai, Desa Gurung Sengiang Kecamatan Serawai Kabupaten Sintang. Perusahaan ini sendiri bergerak di bidang pertambangan. Areal utama perusahaan ini terletak di bukit kerapas, bukit alat dan bukit bunyau. Kedatangan tim survey pertambangan batu bara berbekal surat tugas yang dikeluarkan oleh Bupati Sintang. Inti dari surat tugas tersebut adalah memberikan ijin kepada tim survey batu bara untuk melakukan penyidikan atas potensi batu bara yang ada di wilayah masyarakat adat Desa Sengiang. Waktu yang diberikan oleh Bupati Sintang adalah selama 1 (satu) bulan dimulai dari tanggal 24 September – 24 Oktober 2008. Ada 7 (tujuh) orang tim survey yang datang salah satunya adalah Direktur Perusahaan pertambangan batu batu bara yang bernama Ir. Agung dan satu orang lagi konsultanya bernama Wisman, sedangkan yang lainnya adalah tim teknis lapangan. Kedatangan rombongan ini tidak sendiri. Ikut dalam rombongan tim survey batu bara ada dari pihak Kecamatan Serawai, yaitu: Camat, Polsek, dan Wakil Danramil serta 8 (delapan) orang warga Masyarakat Desa Mentibar ditambah 3 (tiga) orang warga Desa Gurung Sengiang Kecamatan Serawai, Kapaten Melawi
Sikap dan Tanggapan Muspika Serawai dan Tim Survey
Setelah mendengar semua sikap dan pernyataan Masyarakat Adat Dusun Gurung Permai yang menolak secara mentah-mentah kehadiran perusahaan pertambangan batu bara. Camat langsung beraksi dan mengajak Masyarakat Adat untuk bersumpah atas pernyataan mereka. Dia mengatakan: ”Apakah Masyarakat Adat berani bersumpah atas penolakan tersebut?”. Masyarakat adat secara serentak mengatakan berani. ”Apakah Masyarakat Adat berani berhadapan dengan Bupati?”, kata Camat lagi. Masyarakat adat mengatakan lagi: ”Jangankan berhadapan dengan Bupati, berhadapan dengan Presiden, Guburner kami tidak takut”.
Lain lagi pernyataan manajer perusahaan pertambangan atas sikap dan pernyataan Masyarakat Adat yang menolak kehadiran pertambangan batu bara. Menejer perusahaan hanya memberikan pandangan, bahwa kehadiran perusahaan akan memberikan lapangan kerja bagi masyarakat, memberikan fasilitas dalam bentuk bina desa, membuka akses jalan tembus dari jalan raya ke dusun-dusun lainnya, dapat meningkatkan perekonomian masyarakat, mudah mendapatkan uang banyak sehingga bisa membeli motor dan mobil. Jadi manajernya lebih kepada promosi yang bagus-bagus saja apabila perusahaan pertambangan jadi beroperasi di wilayah milik Masyarakat Adat. Dan tidak ada dari rombongan tim survey yang mengatakan hal-hal jelek apabila suatu perusahaan beroperasi di wilayah Masyarakat Adat.
Menurut warga Dusun Gurung Permai, promosi seperti ini sudah basi sering disampaikan oleh banyak perusahaan yang hanya ingin memperkaya diri sendiri. ”Mana mungkin perusahaan seperti pertambangan batu bara mau rugi hanya karena memenuhi permintaan masyarakat adat”, celetuk seorang warga lainnya. Oleh sebab itu beberapa perusahaan yang pernah masuk ke wilayah adat ini tidak pernah menempati janjinya, seperti ada uang bina desa, perbaikan jalan, membuat rumah adat, memperbaiki rumah ibadat dan sebagainya. Apabila perusahaan sudah untung dengan mengeruk semua sumber daya alam milik Masyarakat Adat maka pasti mereka tidak peduli lagi dengan Masyarakat Adat setempat. Dan konflik-konflik yang terjadi antara Masyarakat Adat dengan perusahaan juga berakar dari tidak dipenuhinya janji-jani yang pernah dilontarkan pada waktu ingin masuk ke wilayah milik Masyarakat Adat.
Atas pernyataan Camat Serawai dan manajer perusahaan yang menurut mereka tidak memuaskan di atas, kaum perempuan adat beraksi dan marah. Mereka langsung mengusir rombongan tim survey batu bara untuk segera angkat kaki dari dusun mereka. Pengusiran terhadap para pejabat pemerintah dan perusahaan oleh kaum perempuan adat di pedalam Kalbar merupakan hal baru bagi kita semua. Ini membuktikan bahwa kelompok perempuan adat juga sangat peduli dengan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam lainnya. Jadi persoalan memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak Masyarakat Adat bukan persoalan kaum laki-laki saja. Karena kalau sumber daya alam yang merupakan sumber penghidupan Masyarakat Adat habis, maka yang lebih merasakan sakit adalah kaum perempuan adat. Karena mereka tidak bisa lagi membuat berbagai jenis kerajinan tangan, mereka sulit mencari air bersih baik untuk di minum maupun untuk mandi dan mencuci. Sebenarnya bukan hal baru bagi para perusahaan dan pemerintah bahwa masyarakat adat di wilayah ini menolak berbagai jenis perusahaan yang ingin masuk. Masyarakat adat sudah memperingatkan kepada pemerintahan Kecamatan, Kabupaten bahkan sampai ke Menteri agar jangan lagi menghadirkan perusahaan di wilayah adat mereka. Peringatan seperti ini masyarakat adat buat dalam bentuk surat pernyataan penolakan yang dibubuhi cap jempol atau tanda tangan warga masyarakat adat.
Minggu, 19 Oktober 2008
Hukum Adat Bagi Perusahaan Pertambangan Batu Bara
di Wilayah Masyarakat Adat
Berdasarkan surat kesapakatan yang di buat di Desa Siyai pada tanggal 6 Agustus 2008 antara Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai dan Tim Survey bahwa akan ada pertemuan lanjutan untuk penyelesaian tuntutan adat pada tanggal 9 Agustus 2008. Kesepakatan ini sendiri di buat setelah ada pertemuan yang dihadiri oleh pihak Muspika (Camat, Dan ramil, dan Kapolsek) Kecamatan Menukung. Namun kesepakatan ini tidak dilaksanakan oleh tim survey. Akhirnya realisasi pemenuhan tuntutan adat dilaksanakan pada tanggal 4 September 2008 di Kampung Sungkup. Pada saat pemenuhan hukum adat dilaksanakan upacara adat. Upacara adat dimaksudkan agar tidak ada lagi tuntutan dari pihak manapun atas kasus yang sudah terjadi. Selain itu dilakukan upacara adat sumpah yang dimaksudkan agar pihak-pihak luar tidak sewenang-sewenang memasuki wilayah adat. Harus ada pemberitahuan dan musyawarah dulu dengan masyarakat adat sebagai pemilih wilayah apabila ingin masuk ke wilayah adat mereka.
Kasus ini menggambarkan bahwa tidak ada koordinasi antara para pengusaha, pemerintah. Pemerintah menganggap bahwa semua tanah beserta isinya adalah milik negara yang dapat digunakan untuk apa saja tanpa memperhatikan hak-hak Masyarakat Adat setempat. Dan kasus ini sebenarnya dapat menjadi pelajaran bagi Pemda Melawi, karena ini yang kedua kalinya Masyarakat Adat Limbai di Menukung menghukum adat perusahaan pertambangan batu bara. Seharusnya Pemda bersama Perusahaan jera donk.........
Jumat, 22 Agustus 2008
Pengadilan Yang Tidak Adil
Keadilan tidak datang dari Pengadilan
Keadilan tidak seperti buah Durian
Ternyata Keadilan harus Direbut.
Putusan hakim tersebut cukup mengejutkan kedua tersangka. Karena berdasarkan salinan putusan yang diterima oleh kedua tersangka tersebut, setelah dicek-cross ternyata jauh berbeda dengan keterangan yang pernah disampaikan di persidangan Pengadilan. Seharusnya hakim mampu memberikan pertimbangan yang adil bagi keduanya. Karena apa yang dituntutkan Jaksa tidak sesuai dengan realita yang terjadi di lapangan. Ada beberapa penyataan di salinan putusan nampaknya ”dimanupulasi” oleh hakim. Contoh: ”dari beberapa keterangan yang disampaikan oleh saksi, terutama saksi yang memberatkan, tersangka selalu membenarkan pernyataan saksi tersebut”. Pada hal selama dalam proses persidangan kedua tesangka mengatakan keberatan atas saksi yang menurut mereka tidak benar. Menurut pengacara kedua terdakwa bahwa putusan hakim atas kedua tersangka mengada-ngada. Dan salinan putusan tidak sesuai dengan hasil pemeriksaan selama proses persidangan di pengadilan.
Seperti diketahui sebelumnya kasus ini bermula dari ditetapkannya Bukit Raya – Bukit Baka pada tahun 1987 sebagai Cagar Alam oleh Pemerintah dengan luas 70.500 ha. Dengan adanya penetapan tersebut otomatis telah membatasi akses Masyarakat Adat Sungkup terhadap hak-haknya atas tanah, hutan (kayu), rotan, bahkan untuk berladang tidak bisa. Pada tahun tersebut dilakukan perintisan batas wilayah Cagar Alam dengan wilayah Masyarakat Adat Sungkup yang melibatkan 31 orang warga Masyarakat Adat Sungkup. Pada tahun 1992 Cagar Alam BR-BK berubah status menjadi Taman Nasional Bukit Raya – Bukit Baka (TN BR-BK) dengan dikeluarkannya SK Menhut No. 281/Kpts-II/1992, tanggal 26-2-1992 luasan 181.090 Ha. Perubahan status dan penambahan luas TN BR – BK semakin mempersempit akses Masyarakat Adat Sungkup atas hak-haknya. Kondisi ini diperparah lagi dengan beroperasinya perusahaan HPH yang membuka jalan lewat wilayah adat mereka.
Dilihat dari proses awal terjadinya kasus ini, banyak hal yang tidak beres. Proses penangkapan sendiri tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku, saksi-saksi yang dihadirkan oleh Jaksa banyak yang tidak memahami kasus. Dengan bukti dan berdasarkan pemeriksaan di pengadilan, seandainya hakim punya hati nurani dan itikat yang baik maka Toro dan Pori akan bebas dari jeratan hukum. Itu baru hakim yang menegakan keadilan, tapi apa yang terjadi atas kasus ini, ternyata hakim tetap memutuskan bersalah bagi kedua tersangka yang selama ini menginginkan keadilan melalui hukum formal. Ternyata untuk mendapatkan keadilan melalui hukum formal (Pengadilan) sangat "mahal harganya" bagi Masyarakat Adat yang tidak punya duit.
Berdasarkan catatan kami, kasus-kasus Masyarakat Adat yang berkonflik dengan pihak perusahaan ataupun dengan pemerintah yang diproses di pengadilan, Masyarakat Adat tidak pernah dimenangkan. Sebut saja dibeberapa daerah lainnya di Kalbar, seperti kasus Masyarakat Adat Nyayat di Tebas yang berkonflik dengan Perusahaan Sawit. Tiga orang warga Nyayat harus rela tinggal di Rutan Singkawang setelah hakim memutuskan mereka bersalah karena melakukan perusakan dan pembakaran. Masyarakat Adat Sekadau juga harus menginap di Tahanan Polres Sanggau karena dituduh merusak kebun sawit. Padahal perusahaan sengaja menanam sawit di ladangnya yang masih ada padi. Ke 4 (empat) kasus di atas sudah cukup menggambarkan bahwa pengadilan itu bukan tempat untuk mencari keadilan. Ternyata keadilan itu harus direbut dan diperjuangkan. S e l a m a t Berjuang MA -ku.....!!! Keadilan masih jauh dari MA...!!!
Rabu, 20 Agustus 2008
Musyawarah Adat I Masyarakat Adat Nanga. Pari
Pada Pagi Jumat, 08 Agustus 2008, pada pukul 08’00 tepat, sekitar 300-an orang berdatangan dari berbagai kampung dan suku menuju Gedung Gereja Katolik yang terletak di Nanga Pari. Nanga Pari adalah sebuah ibu kota kedesaaan, Kecamatan Sepauk, Kabupaten Sintang. Kedatangan massa dari berbagai kampung dan sukut tersebut bukan untuk berunjuk/berdemo rasa karena “tidak mendapat jadah BLT/subsidi BBM dari Pemerintah, tapi untuk berkumpul bersama memabahas masalah/persoalan yang selama ini selalu menghantui mereka. Kedatangan mereka juga bukan atas paksaan dari pihak-pihak lain, melainkan atas kesadaran sendiri karena ada rasa kebersamaan dalam memecahkan masalah atau persoalan yang ada. Tidak hanya laki-laki dewasa saja yang datang, tetapi juga kaum perempuan, baik dewasa maupun anak-anak juga tidak ketinggalan untuk menghadiri pertemuan besar.
Pertemuan ini terselenggara atas prakarsa masyarakat adat sendiri, sehingga segala kebutuhan dalam memperlancar kegiatan semuanya merupakan hasil solidaritas warga masyarakat adat. Kesadaran ini muncul setelah masyarakat adat merasakan bahwa mereka selama ini dibohongi oleh pihak perusahaan yang sebelumnya pernah beroperasi di wilayah mereka. Seperti perusahaan PT. Kayu Lapis dan perusahaan lainnya yang secara "membabi-buta" membabat kayu di hutan mereka. Sedangkan kehidupan masyarakat adat tetap seperti biasanya alias tidak ada kemajuan, yang mereka dapatkan cuma kemiskinan, adat istiadat dan hukum adat yang hampir tidak dihargai oleh warga mereka sendiri. Selain itu yang menyedihkan adalah hutan (kayu) habis dan sumber-sumber penghidupan lainnya susah didapatkan lagi.
Dalam Musdat ini, dilakukan seminar dan lokakarya. Narasumber yang hadir dalam Musdat adalah para NGO, seperti WALHI Kalbar, LBBT, ID, AMAN Kalbar, ELPAGAR, CU Keling Kuman, Pemda Sintang (Kec. Sepauk), dan kaum Intelektual yang berasal dari wilayah Pari dan sekitarnya. Untuk memandu acara seminar adalah Pastor Miau yang juga berasal dari daerah tersebut. Seminar dimaksudkan untuk memberikan gambaran kepada peserta mengenai dampak buruknya apabila perusahaan sawit masuk dan mengambil tanah, hutan di wilayah adat. Selain itu untuk memberikan beberapa aturan hukum nasional yang dapat digunakan masyarakat adat dalam membela hak-haknya atas tanah dan wilayah adatnya.
Jumat, 18 Juli 2008
Pelatihan Gender bagi Kelompok Perempuan
Pelatihan gender sangat penting bagi kelompok perempuan adat yang berada di pedalaman Kalimantan Barat. Seperti yang dilakukan di Desa Pisak, Kecamatan Tujuh Belas, Kabupaten Bengkayang.
Pelatihan ini dimaksudkan agar kaum perempuan memahami dan mengerti keseimbangan hak, peran antara laki-laki dan perempuan. Dengan memahami dan mengerti atas hak, perannya maka perempuan dapat berbuat sesuatu bagi kaumnya yang tertindas.
Kegiatan ini dilaksanakan atas prakarsa kelompok perempuan yang berada di Desa Pisak. Mereka menginginkan adanya kerjasama antara mereka dan kaum laki-laki dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, khususnya kaum perempuan yang tertindas.
Selasa, 15 Juli 2008
Upacara Adat Penancapan Tata Batas Wilayah
Salah satu cara menghindari konflik tata batas, Masyarakat Adat Dayak Punan Uheng Kereho di Kampung Nanga Enap dan Dayak Taman di Lunsa Hulu sepakat untuk menentukan tata batas wilayah adat.
Penentuan tata batas wilayah adat ini, terlebih dahulu dilakukan musyawarah adat yang melibatkan para tokoh masyarakat adat dari kedua suku tersebut. Dari hasil musyawarah maka disepakati untuk membuat tata batas wilayah adat dengan menancapkan kayu belian (besi) sebagai tanda batas tersebut.
Sebelum dilakukan penancapan tiang batas, maka dilakukan upacara adat. Upacara adat dimaksudkan agar segala sesuatu yang sudah disepakati tidak lagi dilanggar oleh kedua belah pihak. Apabila terjadi pelanggaran maka dikenakan sanksi sesuai dengan aturan adat yang berlaku di wilayah tersebut.
Kamis, 10 Juli 2008
Pertemuan Orang Muda Katolik Se-Paroki Ambalau
Issu yang dibahas dalam pertemuan adalah dampak dari masuknya perusahaan perkebunan dan pertambangan di wilayah masyarakat adat. Issu ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat adat, khususnya kaum muda katolik karena di daerah tersebut terjadi pro dan kontra terhadap akan masuknya suatu perusahaan (terutama sawit). Situasi ini didasarkan dari hasil pertemuan di mana beberapa kaum muda mempertanyakan kejelasan mengenai dampak kalau perusahaan sawit masuk ke wilayah mereka. Terjadinya pro dan kontra menurut mereka karena masyarakat adat tidak diberi informasi yang jelas dari pihak pemerintah atau pihak perusahaan mengenai dampak negatif dari perkebunan sawit. Masyarakat adat hanya mendapat informasi sekilas saja dari pihak perusahaan yang melakukan sosialisasi mengenai perkebunan sawit. Informasi yang diberikan lebih banyak bersifat menguntungkan saja, seperti akan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat adat setempat, menyediakan sarana (rumah ibadat, sekolah dan jalan), perusahaan akan mengganti rugi tanah dan tanam-tumbuh masyarakat adat yang terkena lahan sawit, masyarakat adat akan mendapat kapling plasma bagi yang menyerahkan tanahnya.
Untuk memberikan beberapa informasi mengenai dampak sebenarnya perkebunan sawit bagi kelangsungan hidup masyarakat adat, panita pertemuan mengundang beberapa narasumber yaitu WALHI Kalbar, LBBT, PMKRI Sintang, Pemuda Katolik Sintang, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat Sintang. Walhi Kalbar lebih banyak bercerita mengenai dampak lingkungan hidup apabila perkebunan sawit masuk. Selain itu Walhi juga memberikan gambaran peta wilayah yang akan dijadikan perusahaan untuk perkebunan sawit, khususnya di daerah Serawai dan Ambalau Kab. Sintang. Menurut Walhi dampak yang akan terjadi yang pasti kekeringan, tanah longsor, dan yang paling menyedihkan adalah masyarakat adat tidak memiliki akses dan mata pencarian lagi seperti yang dilakukan selama ini.
LBBT sendiri berbicara mengenai Kedudukan Masyarakat Adat di dalam Hukum Nasional. Selain itu juga membahas mengenai kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam. Intinya secara hukum nasional Masyarakat adat beserta hak-haknya memang diakui. Yang menjadi persoalan bagi Masyarakat adat adalah ketidak konsistenan hukum dalam mengakui hak-hak Masyarakat adat.
Jumat, 20 Juni 2008
Hutan Dibabat Rakyat Melarat
Masyarakat Adat Limbai Menolak Kehadiran Perusahaan HPH
Beginilah proses penghancuran hutan milik masyarakat adat dengan menggunakan alat-alat berat yang berteknologi sangat canggih. Alat ini sangat ampuh mencabut hutan-hutan primer di alam masyarakat adat. Dengan alat ini dapat menghabiskan kayu di tanah masyarakat adat puluhan hektar per-jamnya.
Selamatkan Lingkungan Hidup
Massa Datangi Kantor Bupati dan Parlemen
Tolak EkspansiPerkebunan Sawit, Tuntut Pengembangan Kebun Karet
Ketapang,- Setelah menyampaikan aspirasi di depan Dinas Perkebunan Kabupaten Ketapang, massa Forum Perimakng Hutan Tanah A’ek (FPHTA) yang melakukan aksi damai memperingati Hari Lingkungan Hidup se-Dunia (5/6), kemudian melanjutkan long march ke Kantor Bupati Ketapang. Mereka sampai ditempat ini sekitar pukul 09.30 WIB.
Kedatangan mereka itu dikawal puluhan anggota Polres Ketapan dan Sat Pol PP. Ratusan massa yang datang membawa poster dan spanduk, bahkan bibit karet. Yel-yel perjuangan mereka nyanyian. Aspirasi mereka suarakan melalui megaphone. Bendera merah putih yang dibawa dikibar-kibarkan, poster dan famplet diperlihatkan berikut spanduk yang menyuarakan “Stop Perusakan Hutan”. Dari koordinator lapangan aksi damai itu, mereka menyebutkan kedatangan mereka sebagai masyarakat ingin bertemu dengan Bupati dan Wakil Bupati, untuk menghadapi penyampaian aspirasi mereka itu.
Tampil sebagai penyampai aspirasi ketika itu adalah Aloysius Sujarni Sekjen AMA Kalbar. “Saya tak akan bicara kalau tak ada yang menghadapi. Kami datang dengan damai, tidak dengan anarkis, kami ingin bicara dengan bupati,” kata Drs Sujarni Alloy MA, Sekjend AMA Kalbar.
Dalam orasinya di depan tangga Kantor Bupati Ketapang, dia menyebutkan masyarakat adat adalah korban kebijakan. Tak sedikit tanah adat tergusur, kuburan tergusur akibat ekspansi perkebunan. Keinginan pengembangan perkebunan karet juga disuarakan di tempat ini. Mereka menyebutkan masyarakat sudah sejahtera dengan karet.
Sehubungan Bupati dan Wakil Bupati Ketapang tak berada di tempat, dialog tersebut dihadiri Sekda Ketapang Drs H Bachtiar. Di depan sekda, mereka menyampaikan kondisi kerusakan lingkungan yang terjadi di Marau, Tumbang Titi dan lain sebagainya. Setelah menyampaikan uneg-unegnya, mereka menginginkan sekda atas nama Pemkab Ketapang menandatangani komitment untuk menindaklanjuti tuntutan mereka. Karena menyangkut kebijakan, maka Bachtiar menerangkan yang berwenang dalam kebijakan politis adalah bupati dan wakil bupati. “Sekda adalah jabatan pegawai negeri sipil. Sekda hanya membantu penyelenggaraan pemerintahan,” terang Bachtiar. Tak lama setelah tatap muka dengan sekda di halaman kantor bupati, mereka kemudian long march ke DPRD Ketapang. Sampai di tempat ini sekitar jam 11.00 WIB.
Tak lama setelah menyampaikan orasi di depan halaman kantor DPRD Ketapang, kemudian mereka dialog di ruang utama DPRD. Dialog itu dipimpin Ketua DPRD Ketapang H.Kadarisman Bersah, dan Wakil Ketua Yohanes Suparjiman, serta beberapa anggota Dewan.
Selain pernyataan sikap, berbagai kondisi di lapangan dibeberapa kecamatan juga mereka paparkan dari perwakilan masyarakat yang hadir. Baik perkebunan, pertambangan, maupun illegal logging mereka suarakan saat itu. Bagaimana kondisi di Simpang Hulu, Simpang Dua, Nanga Tayap, Tumbang Titi, Marau, Air Upas dan lain diungkapkan dalam pertemuan itu. Dialog sempat diwarnai debat.
Pertemuan itu berlangsung sampai pukul 13.30 WIB. Akhirnya dari pertemuan tersebut, ketua DPRD Kadarisman Bersah menyampaikan dari pertemuan terbatas, DPRD tetap komitment untuk menindaklanjuti aspirasi masyarakat. (ndi)
Bumi Untuk Kehidupan yang Bermartabat
Inilah salah satu topik yang hangat dibicarakan dalam pertemuan nasional lingkungan hidup X Walhi di Yogyakarta, 16 - 21 April 2008. Pertemuan ini merupakan forum tertinggi Walhi, karena semua anggota Walhi yang berada di tiap wilayah ikut serta dalam kegiatan ini. Pertemuan yang diselenggarakan setiap 3 tahun sekali, selain merefleksi atas kinerja dan program kerja, juga menjadi ajang pemilihan para fungsionaris Walhi yang baru. Pengurus Walhi yang terpilih diharapkan mampu melakukan perubahan sosial yang lebih baik bagi kehidupan rakyat di negeri tercinta indonesia.
Sebelum acara puncak dari PNLH X Walhi (19 - 21 April) dimulai, dilakukan berbagai rangkaian (paralel) kegiatan untuk memberikan gambaran kondisi lingkungan hidup baik secara lokal maupun nasional yang terjadi. Kegiatan-kegiatan tersebut antara: Seminar, Training dan Workshop yang diselenggarakan selama 3 hari. Selain memberikan gambaran kondisi lingkungan hidup yang terjadi, juga memotivasi anggota dan para pengurus Walhi ke depan dalam melakukan gerakan sosial demi terciptanya lingkungan hidup yang adil bagi rakyat.
Acara yang paling pokok dan ditunggu adalah pembahasan 3 agenda utama PNLH X Walhi dan pemilihan para fungsionaris Walhi baru. Untuk 3 agenda yang dibahas adalah menyangkut hal-hal yang mendukung fungsionaris baru dalam menjalankan rodanya Walhi, yaitu: - Pembahasan Organisasi (Statuta). Statuta merupakan pedoman bagai para anggota dan pengurus Walhi dalam melakukan gerakan; - Pembahasan Program Kerja (Renstra). Ini merupakan program kerja yang dimandatkan kepada para pengurus Walhi yang baru untuk melaksanakannya; dan - Pembahasan Rekomendasi, yaitu kegiatan-kegiatan yang sekiranya belum masuk pada Statuta dan Program kerja.
Sedangkan acara terakhir adalah pemilihan Dewan Nasional dan Eksekutif Nasional Walhi. Pada pemilihan ini terjadi proses demokrasi yang sebenarnya berlangsung. Sebelum dilakukan pemilihan, para calon diberi kesempatan untuk memaparkan visi, misinya sebagai bentuk komitmen untuk membangun gerakan Walhi yang solid ke depan. Selain itu untuk memperoleh suara terbanyak dilakukan loby, negosiasi dengan para anggota walhi di daerah-daerah. Tentunya loby, negosiasi yang saling menguntungkan.
Lokakarya Perempuan Adat
Kondisi ini yang mendorong LBBT untuk secara terus-menerus melakukan kegiatan penyadaran kepada kaum perempuan adat. Kegiatan penyadaran kepada kaum permpuan adat bertujuan agar kaum perempuan menyadari hak-haknya atas pengelolaan sumber daya alam dan kehidupan yang layak. Pada langkah awal biasaya LBBT training gender kepada kaum perempuan. Training gender dilakukan di kampung-kampung terpencil di Kalimantan Barat. Dari training ini, biasanya kaum perempuan mulai menyadari apa yang menjadi hak dan kewajibannya dan apa yang menjadi hak dan kewajiban kaum laki-laki.
Selain training gender, LBBT juga melakukan seminar dan lokakarya bagi kaum perempuan adat. Seminar dan lokakarya bertujuan untuk menyampaikan informasi-informasi bekernaan dengan hak-hak kaum perempuan adat serta untuk membangun sinergisitas gerakan kaum perempuan adat. Membangun sinergisitas gerakan kaum perempuan adat dimaksudkan agar para kaum perempuan adat memiliki rasa solidaritas dalam memperjuangkan hak-hak kaumnya yang terabaikan.
Mengelola Padang Ilalang Menjadi Pohon Karet
Menyadari kondisi alam yang semakin hari semakin tandus, masyarakat adat mulai memikirkan bagaimana cara mengelola hamparan ilalang dan menjaganya dari api. Kalau menghandalkan hutan primer untuk berladang dan memenuhi kebutuhan hidup tidak memungkinkan lagi. Hal ini disebabkan selain lahan (hutan) yang sudah mulai kritis, juga memerlukan waktu yang cukup lama menuju ke wilayah hutan. Masyarakat adat mulai melakukan diskusi dan dialog dengan pihak-pihak yang memiliki pengalaman dalam mengelola lahan ilalang sehingga menjadi lahan yang bernilai ekonomis (produktif). Diskusi yang dibangun salah satunya dengan pihak paroki Menukung, pihak LSM dan pihak lainnya. Hasil dari diskusi tidak disia-siakan masyarakat adat. Mereka mulai mempraktekan apa yang mereka dapat dari diskusi dan pertemuan. Aktivitas utama yang mereka lakukan adalah membentuk kelompok royong. Kelompok ini dimaksudkan selain mempermudah cara mengerjakan lahan, juga dimaksudkan untuk secara bersama-sama menjaga lahan yang sudah di tanam dari lahapan si jago mereh (api). Tanaman yang ditanam adalah pohon karet. Selain itu masyarakat adat juga menanam-tanaman lain seperti berkebun sayur, menanam pohon tengkawang, belian dan lainnya dalam rangka menghijaukan lahan ilalang.
Kondis sekarang
Berkat ketekunan dan keuletan masyarakat adat, maka kini kondisi lahan yang dulunya penuh dengan hamparan padang ilalang hampir berubah totol menjadi pohon yang bernilai ekonomis. Tiap-tiap kepala keluarga masyarakat adat di Menukung sekarang memiliki tidak kurang 2 - 3 hektar. Masyarakat adat menyadari bahwa tidak bisa mereka hanya mengandalkan sumber ekonomi dari berhuma (ladang) bukit saja. Karena selain menyebabkan tumbuhnya ilalang juga karena tanah yang masih hutan lebat semakin berkurang. Kini lahan sudah hijau oleh pohon karen, pohon tengkawang, pohon buah-buahan lainnya. Selain dapat menambah sumber penghidupan, kegiatan ini juga dilakukan agar tanah menjadi subur. Dan tidak kalah penting adalah hasil kebun sayur-sayuran yang banyak dikelola oleh kaum perempuan sudah berhasil dan dijual ke pasar kota Menukung.
Cerita dari PNLH X Walhi di Yoyakarta
Cerita Mengikuti Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup X Walhi di Yogyakarta.
Tidak terasa sudah satu jam kami duduk di warung kopi, tiba-tiba ada panggilan dari para jemputan memberitahukan bahwa bus yang akan membawa kami ke tempat yang dituju sudah datang. Setelah minuman kami bayar, kami melanjutkan perjalanan kembali. Tidak kurang 30 orang yang menumpang kendaran tersebut, karena selain rombongan kami dari Pontianak ada juga rombongan kawan-kawan dari Aceh dan Sulawesi. Selama perjalanan ke tempat tujuan, banyak pemandangan yang dapat dinikmati, sehingga membuat saya terkagum-kagum dengan kota Yoyga. Yang cukup menarik adalah kebersihan jalan rayanya, ketertiban lalu lintas dan pegunungan yang mengelilingi kota gudek tersebut. Selama perjalanan ke tempat tujuan dengan menggunakan bus tidak ada saya melihat sampah atau truk sampah yang sedang mengangkut sampah. Para pengendara motor, mobil atau bus dengan tertib mengikuti jalur jalan yang sudah di tentukan.
Selama diperjalanan kami bercerita banyak, sehingga saya dan tema-teman mengidentifikasi beberapa hal mengenai kota Yogya, antara lain: makanan khasnya Gudek, disebut juga kota Pelajar karena banyak anak-anak dari luar kota Yogya yang menimba ilmu di kota ini, dan terkenal dengan Kota Rajanya. Sehingga kami sepakat kalau orang mengatakan ingin pergi ke kota Gudek atau kota Pelajar atau Kota Raja, orang sudah tahu bahwa itu adalah Kota Yogyakarta. Menurut cerita kawan-kawan, selain terkenal dengan sebagai kota yang di sebut di atas, kota ini sendiri memiliki banyak berbagai macam tempat rekreasi, tempat wisata.
Tidak terasa bus yang membawa kami tiba-tiba berhenti, kami pun berhenti becerita. Ternyata kami sudah sampai di tempat tujuan, yaitu di Pasar Seni dan Gabusan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarat. Perjalanan kami hanya ½ jam saja dari bandara Adi Sucipto ke Pasar seni dan Gabusan. Di tempat ini kami disambut para panitia pertemuan dan orang kampung yang ada di wilayah gabusan. Kami mengisi daftar hadir sebagai tanda bahwa kami sudah berada di tempat itu. Daftar ini juga digunakan panitia untuk membagi kami dalam beberapa tempat penginapan. Penginapan yang disediakan adalah di rumah-rumah warga kampung gabusan. Setelah sekian lama menunggu pembagian penginapan, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan andong (transportasi khas Yogya) untuk diantarkan ke tempat penginapan.
Saya dan 2 orang teman menginap di rumah Pak Harjono, biasa dipanggil Harjo saja dan Ibu Sudilah yang terletak di Jalan Parang Tritis, Kabupaten Bantul, Km 9,5 dari ibu kota Yogya. Pak Harjono adalah Kepala Dusun, sedangkan Ibunya (Ny. Sudilah) sebagai penyiar di RRI Yogyakarta. Wilayah ini terkenal dengan sebutan wilayah Pasar Seni dan Gabusan. Ternyata tuan rumahnya sangat baik dan ramah menyambut kedatangan kami. Kami disambut dengan seyum keramah-tamahan, seolah-olah tak ada beban bagi mereka walaupun telah tekena musibah gempa bumi. Bahkan tuan rumah langsung mempersilakan kami masuk, mandi, makan dan minum. Sebelumnya saya tidak membayangkan tuan rumah yang seramah itu. Saya membayangkan kedatangan kami ”jangan-jangan merepotkan tuan rumah”, karena sebelumnya saya sudah mendapat informasi sedikit bahwa di wilayah ini merupakan salah satu korban gempa bumi pada tahun 2005 silam. Selain tempat penginapan, rumah ini juga sebagai posko bagi peserta yang baru datang. Hampir tiap waktu, tiap saat pasti ada orang yang ingin bertanya mengenai kegiatan dan tempat tinggal bagi peserta lainnya yang baru datang di rumah ini. Otomatis rumah ini jarang kosong.
Jawaban Pak Horjo dan Ibu: ”karena sudah cukup lama, maka rasa trauma hampir hilang. Apalagi setelah walhi memutuskan bahwa kampung ini menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan (maksudnya PNLH X). ”Sewaktu gempa rumah kami kebetulan kosong, jadi tidak ada korban, hanya atap, dinding rumah yang roboh. Coba adek-adek liat rumah ini belum sepenuhnya diperbaiki’, tambah ibu lagi sambil menunjukan bekas dinding yang roboh. ”Kami cukup beruntung, karena rumah kami tidak separah seperti rumah yang lainnya. Ada beberapa rumah warga di sekitar sini yang ambruk semua. Bahkan ada keluarga yang semuanya meninggal tertimpa atap dan beton rumah. Banyak pohon-pohon yang tiba-tiba roboh. Jalan raya seperti berkelok-kelok sehingga kalau mengendara motor atau mobil sulit untuk dikendalikan. Dan banyak para pengendara yang menabrak kayu dan batas jalan”, penjelasan Pak Harjono panjang lebar. Saya merasa sedih mendengarkan cerita tersebut, sehingga saya tidak melanjutkan pertanyaan yang lebih dalam karena saya tidak mau mereka menjadi trauma lagi mengingat kejadian tersebut. Untuk itu saya mengalihkan dengan bertanya: ”Bagaimana perasaan bapak dan ibu menjadi tuan rumah pertemuan Walhi ini?
Jawaban: ”kami merasa senang, karena dapat menjadi tuan rumah pertemuan Walhi ini. Dari sini kami dapat mengetahui lebih dekat mengenai kegiatan dan aktivitas yang dilakukan oleh Walhi. Jujur aja, sebelumnya saya tidak mengenal apa itu Walhi, apa kegiatan Walhi sebenarnya, baru ini saja saya mengenal adanya Walhi yang katanya peduli terhadap lingkungan dan korban bencana alam. Dengan adanya pertemuan seperti ini, apalagi kalau melibatkan masyarakat secara menyeluruh maka Walhi akan dikenal oleh masyarakat di mana-mana”, kata Pak Harjono. ”Saya sangat bersyukur dengan adanya pertemuan ini, karena saya dapat mengenal adek-adek yang jauh dari Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, Palangkaraya dan Samarinda). Sebelumnya saya tidak pernah bermimpi bisa ketemu dan kenalan dengan kalian semuanya. Mungkin ini hikmah yang diberikan oleh Tuhan kepada kami setelah adanya gempa bumi, sehingga kami bisa ketemu dengan orang-orang Kalimantan”, Ibu menambahkan bapak Harjo.
Untuk menambah asyiknya diskusi, kami bertanya mengenai tempat-tempat yang biasanya ramai dikunjungi tamu-tamu dari luar. Atau tempat-tempat rekreasi lainnya. ”Di sini banyak tempat rekreasi”, kata bapak Harjo. Salah satunya yang cukup tekenal adalah pantai parang tritis, tempat pelelangan ikan, pantai samas, candi brobudur. Pantai parang tritis merupakan pantai yang banyak menyimpan hal-hal misteri dan mistik. Di pantai inilah tempat tinggalnya Nyi Loro Kidul. Tidak mengherankan setiap malam Jumat Kiliwon pasti ada orang-orang baik dari kota Yogya sendiri maupun orang luar yang melakukan upacaya adat di pantai ini. Bahkan di pantai ini telah didirikan sebuah tempat khusus dan permanen oleh Pemda Yogya untuk melakukan upacara adat.
Pantai ini sendiri dianggap angker bagi orang Yogya, karena banyak kejadian-kejadian aneh yang sering terjadi menimpa para pengunjung. Menurut cerita Pak Harjo ”ombak di pantai dapat menyebabkan orang hilang. Dan kalau udah hilang sulit untuk ditemukan. Penyebabnya adalah ombak yang berkulung-gulung ternyata membawa pasir batu, sehingga kalau orang tena ombak, maka dia akan tertimpa oleh pasir batu tersebut”. Dulu pernah kejadian, kata Pak Harjo: ”sebuah bus pariwisata yang membawa rombongan wisata tenggelam dibawa ombak pasir batu. Makin lama, makin bus itu tertimbun oleh pasir batu yang dibawa oleh ombak”. Sehingga dia memberikan saran kepada kami. Kalau ingin ke pantai, jangan berenang di ombak dan jangan bicara yang macam-macam. Saya jadi takut bercampur penasaran mendengar cerita bapak tersebut. Dan banyak lagi tempat-tempat yang dianggap keramat oleh orang-orang Yogya. Saking asyiknya bercerita tidak terasa hari pun sudah larut malam, kami pun memutuskan menghentikan dulu pembicaraan. Akhirnya saya dan teman-teman meneruskan cerita kota gudek dalam mimpi masing-masing. Kami pun melangkahkan kaki menuju tempat pembaringan yang sudah disiapkan tuan rumah.
Tarian Adat Penyambut Tamu
Masyarakat adat Dayak Limbai memiliki tradisi tersendiri untuk menyambut tamu yang akan datang ke wilayah mereka. Salah satu tradisi yang sampai sekarang masih dilestarikan dan dipraktekan adalah tarian adat. Setiap ada pelaksanaan kegiatan yang melibatkan orang ramai dan mengundang tamu dari luar biasanya dilakukan upacara adat penyambutan tamu yang dimeriahkan dengan tarian adat.
Perempuan Dayak Iban Menenun
Kegiatan menenun hampir dilakukan oleh semua perempuan Dayak Iban, termasuk anak-anak perempuan. Apalagi kalau di Kampung Sei Utik yang hingga sekarang masih menempati rumah panjang (panjai). Sistem kekerabatan dan kekeluargaan yang masih sangat kental dilaksanakan oleh masyarakat adat di kampung tersebut. Kain tenun biasaya digunakan pada waktu acara-cara besar, baik itu di kampung tersebut maupun di luar kampung, seperti gawai (gawa'), upacara adat dan kegiatan-kegiatan penyambutan tamu.
Aktivitas menenun oleh masyarakat adat Iban sudah dilakukan secara turun-temurun dan merupakan warisan nenek moyang. Semua kegiatan menenun hampir dilakukan oleh masyarakat adat dalam rangka melestarikan tradisi mereka.