Jumat, 20 Juni 2008

Cerita dari PNLH X Walhi di Yoyakarta

Pertama Kali Menginjakkan Kaki di Kota Gudeg - Yogyakarta

Cerita Mengikuti Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup X Walhi di Yogyakarta.

Tepat pada tanggal 16 April 2008, pukul 15.10 pesawat Batavia dengan tujuan Pontianak – Jakarta – Yogyakarta yang membawa saya dan rombongan dari Pontianak menuju Yogyakarta mendarat di bandara Adi Sucipto. Sampai di bandara Adi Sucipto, sambil menunggu jemputan untuk melanjutkan perjalanan, saya dan kawan-kawan menyempatkan diri mencari makanan ringan (minum, roti) untuk mengganjal perut yang mulai kosong. Sambil menikmati secawan kopi, jus alpokat, dan roti di sebuah warung kecil, salah satu kawan saya mulai bercerita. ”ternyata enak juga ya kopi di Yogya (sebutan singkat Kota Yogyakarta) sambil dia mengisap sebatang rokok LA”, ”Pada hal saya juga baru pertama kali menginjak kota Yogya”, tambah dia lagi.

Tidak terasa sudah satu jam kami duduk di warung kopi, tiba-tiba ada panggilan dari para jemputan memberitahukan bahwa bus yang akan membawa kami ke tempat yang dituju sudah datang. Setelah minuman kami bayar, kami melanjutkan perjalanan kembali. Tidak kurang 30 orang yang menumpang kendaran tersebut, karena selain rombongan kami dari Pontianak ada juga rombongan kawan-kawan dari Aceh dan Sulawesi. Selama perjalanan ke tempat tujuan, banyak pemandangan yang dapat dinikmati, sehingga membuat saya terkagum-kagum dengan kota Yoyga. Yang cukup menarik adalah kebersihan jalan rayanya, ketertiban lalu lintas dan pegunungan yang mengelilingi kota gudek tersebut. Selama perjalanan ke tempat tujuan dengan menggunakan bus tidak ada saya melihat sampah atau truk sampah yang sedang mengangkut sampah. Para pengendara motor, mobil atau bus dengan tertib mengikuti jalur jalan yang sudah di tentukan.

Selama diperjalanan kami bercerita banyak, sehingga saya dan tema-teman mengidentifikasi beberapa hal mengenai kota Yogya, antara lain: makanan khasnya Gudek, disebut juga kota Pelajar karena banyak anak-anak dari luar kota Yogya yang menimba ilmu di kota ini, dan terkenal dengan Kota Rajanya. Sehingga kami sepakat kalau orang mengatakan ingin pergi ke kota Gudek atau kota Pelajar atau Kota Raja, orang sudah tahu bahwa itu adalah Kota Yogyakarta. Menurut cerita kawan-kawan, selain terkenal dengan sebagai kota yang di sebut di atas, kota ini sendiri memiliki banyak berbagai macam tempat rekreasi, tempat wisata.

Tidak terasa bus yang membawa kami tiba-tiba berhenti, kami pun berhenti becerita. Ternyata kami sudah sampai di tempat tujuan, yaitu di Pasar Seni dan Gabusan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarat. Perjalanan kami hanya ½ jam saja dari bandara Adi Sucipto ke Pasar seni dan Gabusan. Di tempat ini kami disambut para panitia pertemuan dan orang kampung yang ada di wilayah gabusan. Kami mengisi daftar hadir sebagai tanda bahwa kami sudah berada di tempat itu. Daftar ini juga digunakan panitia untuk membagi kami dalam beberapa tempat penginapan. Penginapan yang disediakan adalah di rumah-rumah warga kampung gabusan. Setelah sekian lama menunggu pembagian penginapan, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan andong (transportasi khas Yogya) untuk diantarkan ke tempat penginapan.

Saya dan 2 orang teman menginap di rumah Pak Harjono, biasa dipanggil Harjo saja dan Ibu Sudilah yang terletak di Jalan Parang Tritis, Kabupaten Bantul, Km 9,5 dari ibu kota Yogya. Pak Harjono adalah Kepala Dusun, sedangkan Ibunya (Ny. Sudilah) sebagai penyiar di RRI Yogyakarta. Wilayah ini terkenal dengan sebutan wilayah Pasar Seni dan Gabusan. Ternyata tuan rumahnya sangat baik dan ramah menyambut kedatangan kami. Kami disambut dengan seyum keramah-tamahan, seolah-olah tak ada beban bagi mereka walaupun telah tekena musibah gempa bumi. Bahkan tuan rumah langsung mempersilakan kami masuk, mandi, makan dan minum. Sebelumnya saya tidak membayangkan tuan rumah yang seramah itu. Saya membayangkan kedatangan kami ”jangan-jangan merepotkan tuan rumah”, karena sebelumnya saya sudah mendapat informasi sedikit bahwa di wilayah ini merupakan salah satu korban gempa bumi pada tahun 2005 silam. Selain tempat penginapan, rumah ini juga sebagai posko bagi peserta yang baru datang. Hampir tiap waktu, tiap saat pasti ada orang yang ingin bertanya mengenai kegiatan dan tempat tinggal bagi peserta lainnya yang baru datang di rumah ini. Otomatis rumah ini jarang kosong.

Pada malam harinya (tanggal 16/4/2008) kami melanjutkan cerita yang sempat terputus semasa masih di bus. Cerita kami bertambah asyik setelah tuan rumah nimbrung dalam bercerita tersebut. Nah, saya sudah mulai berpikir untuk menanyakan mengenai situasi yang ada di kota gudek. Bagaimana perasaan bapak dan ibu pasca gempa bumi dua tahun silam? Saya membuka pertanyaan awal untuk mulai bercerita.

Jawaban Pak Horjo dan Ibu: ”karena sudah cukup lama, maka rasa trauma hampir hilang. Apalagi setelah walhi memutuskan bahwa kampung ini menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan (maksudnya PNLH X). ”Sewaktu gempa rumah kami kebetulan kosong, jadi tidak ada korban, hanya atap, dinding rumah yang roboh. Coba adek-adek liat rumah ini belum sepenuhnya diperbaiki’, tambah ibu lagi sambil menunjukan bekas dinding yang roboh. ”Kami cukup beruntung, karena rumah kami tidak separah seperti rumah yang lainnya. Ada beberapa rumah warga di sekitar sini yang ambruk semua. Bahkan ada keluarga yang semuanya meninggal tertimpa atap dan beton rumah. Banyak pohon-pohon yang tiba-tiba roboh. Jalan raya seperti berkelok-kelok sehingga kalau mengendara motor atau mobil sulit untuk dikendalikan. Dan banyak para pengendara yang menabrak kayu dan batas jalan”, penjelasan Pak Harjono panjang lebar. Saya merasa sedih mendengarkan cerita tersebut, sehingga saya tidak melanjutkan pertanyaan yang lebih dalam karena saya tidak mau mereka menjadi trauma lagi mengingat kejadian tersebut. Untuk itu saya mengalihkan dengan bertanya: ”Bagaimana perasaan bapak dan ibu menjadi tuan rumah pertemuan Walhi ini?

Jawaban: ”kami merasa senang, karena dapat menjadi tuan rumah pertemuan Walhi ini. Dari sini kami dapat mengetahui lebih dekat mengenai kegiatan dan aktivitas yang dilakukan oleh Walhi. Jujur aja, sebelumnya saya tidak mengenal apa itu Walhi, apa kegiatan Walhi sebenarnya, baru ini saja saya mengenal adanya Walhi yang katanya peduli terhadap lingkungan dan korban bencana alam. Dengan adanya pertemuan seperti ini, apalagi kalau melibatkan masyarakat secara menyeluruh maka Walhi akan dikenal oleh masyarakat di mana-mana”, kata Pak Harjono. ”Saya sangat bersyukur dengan adanya pertemuan ini, karena saya dapat mengenal adek-adek yang jauh dari Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, Palangkaraya dan Samarinda). Sebelumnya saya tidak pernah bermimpi bisa ketemu dan kenalan dengan kalian semuanya. Mungkin ini hikmah yang diberikan oleh Tuhan kepada kami setelah adanya gempa bumi, sehingga kami bisa ketemu dengan orang-orang Kalimantan”, Ibu menambahkan bapak Harjo.

Untuk menambah asyiknya diskusi, kami bertanya mengenai tempat-tempat yang biasanya ramai dikunjungi tamu-tamu dari luar. Atau tempat-tempat rekreasi lainnya. ”Di sini banyak tempat rekreasi”, kata bapak Harjo. Salah satunya yang cukup tekenal adalah pantai parang tritis, tempat pelelangan ikan, pantai samas, candi brobudur. Pantai parang tritis merupakan pantai yang banyak menyimpan hal-hal misteri dan mistik. Di pantai inilah tempat tinggalnya Nyi Loro Kidul. Tidak mengherankan setiap malam Jumat Kiliwon pasti ada orang-orang baik dari kota Yogya sendiri maupun orang luar yang melakukan upacaya adat di pantai ini. Bahkan di pantai ini telah didirikan sebuah tempat khusus dan permanen oleh Pemda Yogya untuk melakukan upacara adat.

Pantai ini sendiri dianggap angker bagi orang Yogya, karena banyak kejadian-kejadian aneh yang sering terjadi menimpa para pengunjung. Menurut cerita Pak Harjo ”ombak di pantai dapat menyebabkan orang hilang. Dan kalau udah hilang sulit untuk ditemukan. Penyebabnya adalah ombak yang berkulung-gulung ternyata membawa pasir batu, sehingga kalau orang tena ombak, maka dia akan tertimpa oleh pasir batu tersebut”. Dulu pernah kejadian, kata Pak Harjo: ”sebuah bus pariwisata yang membawa rombongan wisata tenggelam dibawa ombak pasir batu. Makin lama, makin bus itu tertimbun oleh pasir batu yang dibawa oleh ombak”. Sehingga dia memberikan saran kepada kami. Kalau ingin ke pantai, jangan berenang di ombak dan jangan bicara yang macam-macam. Saya jadi takut bercampur penasaran mendengar cerita bapak tersebut. Dan banyak lagi tempat-tempat yang dianggap keramat oleh orang-orang Yogya. Saking asyiknya bercerita tidak terasa hari pun sudah larut malam, kami pun memutuskan menghentikan dulu pembicaraan. Akhirnya saya dan teman-teman meneruskan cerita kota gudek dalam mimpi masing-masing. Kami pun melangkahkan kaki menuju tempat pembaringan yang sudah disiapkan tuan rumah.

Tidak ada komentar: