Jumat, 20 Juni 2008

Hutan Dibabat Rakyat Melarat

Masyarakat Adat Limbai Menolak Kehadiran Perusahaan HPH

Beginilah proses penghancuran hutan milik masyarakat adat dengan menggunakan alat-alat berat yang berteknologi sangat canggih. Alat ini sangat ampuh mencabut hutan-hutan primer di alam masyarakat adat. Dengan alat ini dapat menghabiskan kayu di tanah masyarakat adat puluhan hektar per-jamnya.

Situasi inilah yang dialami oleh beberapa kampung di pedalaman Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang. Salah satunya adalah Masyarakat Adat Limbai yang bermukim di Kampung Nusa Bakti, Kecamatan Serawai. Karena mereka menolak salah satu perusahaan yang bergerak di bidang HPH masuk di wilayah adatnya, maka perusahaan langsung mendirikan camp dan mendatangkan alat-alat berat (seperti gambar di atas). Perusahaan ini masuk pada tahun 2006, tanpa ada sosialisasi terlebih dahulu. Areal yang akan dimanfaatkan perusahaan merupakan areal hutan yang selama ini menjadi sumber pengahasilan masyarakat adat.

Berdasarkan informasi dari masyarakat adat bahwa perusahaan ini belum mendapat ijin resmi dari Menteri Kehutanan. Perusahaan hanya baru mendapat ijin rekomendasi dari Bupati Sintang dengan Nomor 168 Tahun 2001 tanggal 23 Desember 2001. Ini rekomendasi ini memberikan areal kelolanya di Sungai Serawai, artiny bukan di wilayah Kampung Nusa Bakti. Hal inilah yang menjadi alasan masyarakat adat Nusa Bakti menolak keberadaan perusahaan tersebut. Selain itu masyarakat adat tidak mau wilayah mereka, khususnya hutan (kayu) adat habis. Karena wilayah tersebut adalah sumber penghidupan mereka

Menanggapi masuknya perusahaan, masyarakat adat melakukan musyawarah adat antar kampung. Hasil musyawarah masyarakat adat sepakat untuk membuat surat pernyataan sikap untuk menolak perusahaan tersebut. Surat penolakan masyarakat adat yang dibuat pada tanggal 2 April 2007 tujukan kepada perusahaan, dengan tembusannya Camat Serawai, Kapolsek Serawai, Bupati Sintang, Kapolres Sintang, Dinas Kehutanan Sintang, Gubernur Kalbar, Dinas Kehutanan Propinsi, Kapolda Kalbar, Menteri Kehutanan dan Presiden Republik Indonesia. Tujuannya agar perusahaan menghentikan aktivitas pengkliman wilayah, dan agar Menteri Kehutanan tidak memberikan ijin kepada perusahaan tersebut.

Selamatkan Lingkungan Hidup

Aksi Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Ketapang, Kalbar

Massa Datangi Kantor Bupati dan Parlemen

Tolak EkspansiPerkebunan Sawit, Tuntut Pengembangan Kebun Karet

Ketapang,- Setelah menyampaikan aspirasi di depan Dinas Perkebunan Kabupaten Ketapang, massa Forum Perimakng Hutan Tanah A’ek (FPHTA) yang melakukan aksi damai memperingati Hari Lingkungan Hidup se-Dunia (5/6), kemudian melanjutkan long march ke Kantor Bupati Ketapang. Mereka sampai ditempat ini sekitar pukul 09.30 WIB.

Kedatangan mereka itu dikawal puluhan anggota Polres Ketapan dan Sat Pol PP. Ratusan massa yang datang membawa poster dan spanduk, bahkan bibit karet. Yel-yel perjuangan mereka nyanyian. Aspirasi mereka suarakan melalui megaphone. Bendera merah putih yang dibawa dikibar-kibarkan, poster dan famplet diperlihatkan berikut spanduk yang menyuarakan “Stop Perusakan Hutan”. Dari koordinator lapangan aksi damai itu, mereka menyebutkan kedatangan mereka sebagai masyarakat ingin bertemu dengan Bupati dan Wakil Bupati, untuk menghadapi penyampaian aspirasi mereka itu.

Tampil sebagai penyampai aspirasi ketika itu adalah Aloysius Sujarni Sekjen AMA Kalbar. “Saya tak akan bicara kalau tak ada yang menghadapi. Kami datang dengan damai, tidak dengan anarkis, kami ingin bicara dengan bupati,” kata Drs Sujarni Alloy MA, Sekjend AMA Kalbar.

Dalam orasinya di depan tangga Kantor Bupati Ketapang, dia menyebutkan masyarakat adat adalah korban kebijakan. Tak sedikit tanah adat tergusur, kuburan tergusur akibat ekspansi perkebunan. Keinginan pengembangan perkebunan karet juga disuarakan di tempat ini. Mereka menyebutkan masyarakat sudah sejahtera dengan karet.

Sehubungan Bupati dan Wakil Bupati Ketapang tak berada di tempat, dialog tersebut dihadiri Sekda Ketapang Drs H Bachtiar. Di depan sekda, mereka menyampaikan kondisi kerusakan lingkungan yang terjadi di Marau, Tumbang Titi dan lain sebagainya. Setelah menyampaikan uneg-unegnya, mereka menginginkan sekda atas nama Pemkab Ketapang menandatangani komitment untuk menindaklanjuti tuntutan mereka. Karena menyangkut kebijakan, maka Bachtiar menerangkan yang berwenang dalam kebijakan politis adalah bupati dan wakil bupati. “Sekda adalah jabatan pegawai negeri sipil. Sekda hanya membantu penyelenggaraan pemerintahan,” terang Bachtiar. Tak lama setelah tatap muka dengan sekda di halaman kantor bupati, mereka kemudian long march ke DPRD Ketapang. Sampai di tempat ini sekitar jam 11.00 WIB.

Tak lama setelah menyampaikan orasi di depan halaman kantor DPRD Ketapang, kemudian mereka dialog di ruang utama DPRD. Dialog itu dipimpin Ketua DPRD Ketapang H.Kadarisman Bersah, dan Wakil Ketua Yohanes Suparjiman, serta beberapa anggota Dewan.

Selain pernyataan sikap, berbagai kondisi di lapangan dibeberapa kecamatan juga mereka paparkan dari perwakilan masyarakat yang hadir. Baik perkebunan, pertambangan, maupun illegal logging mereka suarakan saat itu. Bagaimana kondisi di Simpang Hulu, Simpang Dua, Nanga Tayap, Tumbang Titi, Marau, Air Upas dan lain diungkapkan dalam pertemuan itu. Dialog sempat diwarnai debat.

Pertemuan itu berlangsung sampai pukul 13.30 WIB. Akhirnya dari pertemuan tersebut, ketua DPRD Kadarisman Bersah menyampaikan dari pertemuan terbatas, DPRD tetap komitment untuk menindaklanjuti aspirasi masyarakat. (ndi)

Bumi Untuk Kehidupan yang Bermartabat

Bumi Untuk Kehidupan yang Bermartabat

Korupsi, kekerasan, penangkapan, perampasan, penindasan, penggusuran terhadap hak-hak rakyat oleh para penguasa republik ini masih tetap berlangsung hingga sekarang. Tempat tinggal, tanah dan kekayaan alamnya yang merupakan sumber penghidupan masyarakat semakin hari semakin hilang. Sumber penghidupan yang hilang bukan karena dimanfaatkan oleh rakyat itu sendiri, tapi dijadikan lahan sawit, HPH, pertambangan, HTI dan usaha lainnya untuk kepentingan penguasa dan pengusaha. Harga minyak naik, kebutuhan pokok apa lagi yang pada akhirnya membuat rakyatt semakin miskin, terjadinya gizi buruk, busung lapar. Hampir setiap hari kita mendengar terjadinya konflik antara masyarakat dengan perusahaan pemilik modal. Terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, rakyat ditembak secara membabi buta oleh oknum-oknum yang mengakui dirinya pelindung rakyat, polisi hutan, penjaga air dan sebagainya. Dimana keadilan bagi rakyat? Di mana Bumi untuk kehidupan yang bermartabat bar Rakyat?

Inilah salah satu topik yang hangat dibicarakan dalam pertemuan nasional lingkungan hidup X Walhi di Yogyakarta, 16 - 21 April 2008. Pertemuan ini merupakan forum tertinggi Walhi, karena semua anggota Walhi yang berada di tiap wilayah ikut serta dalam kegiatan ini. Pertemuan yang diselenggarakan setiap 3 tahun sekali, selain merefleksi atas kinerja dan program kerja, juga menjadi ajang pemilihan para fungsionaris Walhi yang baru. Pengurus Walhi yang terpilih diharapkan mampu melakukan perubahan sosial yang lebih baik bagi kehidupan rakyat di negeri tercinta indonesia.

Sebelum acara puncak dari PNLH X Walhi (19 - 21 April) dimulai, dilakukan berbagai rangkaian (paralel) kegiatan untuk memberikan gambaran kondisi lingkungan hidup baik secara lokal maupun nasional yang terjadi. Kegiatan-kegiatan tersebut antara: Seminar, Training dan Workshop yang diselenggarakan selama 3 hari. Selain memberikan gambaran kondisi lingkungan hidup yang terjadi, juga memotivasi anggota dan para pengurus Walhi ke depan dalam melakukan gerakan sosial demi terciptanya lingkungan hidup yang adil bagi rakyat.

Acara yang paling pokok dan ditunggu adalah pembahasan 3 agenda utama PNLH X Walhi dan pemilihan para fungsionaris Walhi baru. Untuk 3 agenda yang dibahas adalah menyangkut hal-hal yang mendukung fungsionaris baru dalam menjalankan rodanya Walhi, yaitu: - Pembahasan Organisasi (Statuta). Statuta merupakan pedoman bagai para anggota dan pengurus Walhi dalam melakukan gerakan; - Pembahasan Program Kerja (Renstra). Ini merupakan program kerja yang dimandatkan kepada para pengurus Walhi yang baru untuk melaksanakannya; dan - Pembahasan Rekomendasi, yaitu kegiatan-kegiatan yang sekiranya belum masuk pada Statuta dan Program kerja.

Sedangkan acara terakhir adalah pemilihan Dewan Nasional dan Eksekutif Nasional Walhi. Pada pemilihan ini terjadi proses demokrasi yang sebenarnya berlangsung. Sebelum dilakukan pemilihan, para calon diberi kesempatan untuk memaparkan visi, misinya sebagai bentuk komitmen untuk membangun gerakan Walhi yang solid ke depan. Selain itu untuk memperoleh suara terbanyak dilakukan loby, negosiasi dengan para anggota walhi di daerah-daerah. Tentunya loby, negosiasi yang saling menguntungkan.

Lokakarya Perempuan Adat

Membangun Gerakan Perempuan Adat dalam Memperjuangkan Hak-haknya

Sangat konpleksnya persoalan yang dihadapi oleh kaum perempuan adat di kampung-kampung. Persoalan perempuan semakin meningkat sejak dikeluarkannya berbagai kebijakan pemerintah yang sarat dengan kepentingan ekonomi semata. Ditambah dengan kebijakan yang berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam di tanah-tanah masyarakat adat. Dalam kondisi sumber daya alam yang sudah habis, maka otomatis kaum perempuan tidak lagi mendapatkan pekerjaan, seperti kegiatan anyam-mengayam, tidak ada lagi kegiatan gotong royong bagi kaum perempuan, yang parah lagi adalah perempuan selalu menjadi objek kawin kontrak. Kalau berbicara kebijakan pemerintah yang mengakomodir hak-hak perempuan sangat minim sekali. Sehingga kasus-kasus terhadap perempuan adat jarang sekali direspon cepat oleh pemerintah. Apalagi kasus-kasus terhadap kaum perempuan di kampung-kampung.

Kondisi ini yang mendorong LBBT untuk secara terus-menerus melakukan kegiatan penyadaran kepada kaum perempuan adat. Kegiatan penyadaran kepada kaum permpuan adat bertujuan agar kaum perempuan menyadari hak-haknya atas pengelolaan sumber daya alam dan kehidupan yang layak. Pada langkah awal biasaya LBBT training gender kepada kaum perempuan. Training gender dilakukan di kampung-kampung terpencil di Kalimantan Barat. Dari training ini, biasanya kaum perempuan mulai menyadari apa yang menjadi hak dan kewajibannya dan apa yang menjadi hak dan kewajiban kaum laki-laki.

Selain training gender, LBBT juga melakukan seminar dan lokakarya bagi kaum perempuan adat. Seminar dan lokakarya bertujuan untuk menyampaikan informasi-informasi bekernaan dengan hak-hak kaum perempuan adat serta untuk membangun sinergisitas gerakan kaum perempuan adat. Membangun sinergisitas gerakan kaum perempuan adat dimaksudkan agar para kaum perempuan adat memiliki rasa solidaritas dalam memperjuangkan hak-hak kaumnya yang terabaikan.

Mengelola Padang Ilalang Menjadi Pohon Karet

Pengalaman dari Masyarakat Adat Menukung

Kalau kita pernah melewati jalan darat atau pun pernah berjalan-jalan ke daerah Menukung, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, terutama di daerah-daerah pedalaman – Menukung Darat dan Menukung Jalur Kiri Mudik. Kurang lebih 1 – 3 Km atau 1/2 jam jalan kaki saja keluar dari Menukung Kota menuju ke kampung-kampung yang ada dipedalaman, seperti ke Kampung Laman Mumbung atau ke Kampung Bunyau dan kampung-kampung lainnya, kita akan dihadapkan pada luasnya hamparan padang ilalang. Kita semakin bingung, kalau kita ingat bahwa masyarakat adat, khususnya Dayak dalam memenuhi sumber penghidupannya sehari-hari mengutamakan ladang ilir-balik yang dilakukan hampir setiap tahunya. Bagaimana cara masyarakat adat membuat ladang ilir balik tersebut? Apakah mereka berladang di hamparan padang ilalang? Ataukah mereka tidak berladang lagi dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari?

Pertanyaan ini membuat kita semakin penasaran untuk mengetahui lebih jauh dari mana masyarakat adat dalam mengelola pada ilalang. Menurut cerita masyarakat adat disini, dulunya wilayah ini merupakan hutan rimba dengan tanah yang subur, terutama untuk berladang dan bercocok tanam. Karena perkembangan zaman yang semakin hari semakin berubah, ditambah lagi dengan masuknya berbagai aktivitas perusahaan skala besar dengan dalih “pembangunan bagi rakyat, menyiapkan lapangan kerja bagi rakyat” dengan cara mengambil isi alam, seperti kayu, tanah, dan batu bara. Setelah semuanya dibabat habis oleh perusahaan, masyarakat adat tetap saja miskin, mereka diberikan hamparan padang ilalang yang sangat luas. Yang terjadi adalah hutan rimba dengan tanah yang subur berubah dratis menjadi hamparan padang ilalang. Dengan adanya kondisi lahan seperti ini hampir setiap musim kemarau atau 4 hari saja tidak hujan pasti lahan ilalang akan terbakar. Kebakaran tidak hanya menghanguskan pohon ilalang tapi yang menyakitkan masyarakat adat adalah mengahanguskan kebun karet dan tanam tumbuh yang bernilai ekonomis milik mayarakat adat. Kondisi ini membuat mereka trauma untuk berkebun dan bercocok tanam.

Menyadari kondisi alam yang semakin hari semakin tandus, masyarakat adat mulai memikirkan bagaimana cara mengelola hamparan ilalang dan menjaganya dari api. Kalau menghandalkan hutan primer untuk berladang dan memenuhi kebutuhan hidup tidak memungkinkan lagi. Hal ini disebabkan selain lahan (hutan) yang sudah mulai kritis, juga memerlukan waktu yang cukup lama menuju ke wilayah hutan. Masyarakat adat mulai melakukan diskusi dan dialog dengan pihak-pihak yang memiliki pengalaman dalam mengelola lahan ilalang sehingga menjadi lahan yang bernilai ekonomis (produktif). Diskusi yang dibangun salah satunya dengan pihak paroki Menukung, pihak LSM dan pihak lainnya. Hasil dari diskusi tidak disia-siakan masyarakat adat. Mereka mulai mempraktekan apa yang mereka dapat dari diskusi dan pertemuan. Aktivitas utama yang mereka lakukan adalah membentuk kelompok royong. Kelompok ini dimaksudkan selain mempermudah cara mengerjakan lahan, juga dimaksudkan untuk secara bersama-sama menjaga lahan yang sudah di tanam dari lahapan si jago mereh (api). Tanaman yang ditanam adalah pohon karet. Selain itu masyarakat adat juga menanam-tanaman lain seperti berkebun sayur, menanam pohon tengkawang, belian dan lainnya dalam rangka menghijaukan lahan ilalang.

Kondis sekarang
Berkat ketekunan dan keuletan masyarakat adat, maka kini kondisi lahan yang dulunya penuh dengan hamparan padang ilalang hampir berubah totol menjadi pohon yang bernilai ekonomis. Tiap-tiap kepala keluarga masyarakat adat di Menukung sekarang memiliki tidak kurang 2 - 3 hektar. Masyarakat adat menyadari bahwa tidak bisa mereka hanya mengandalkan sumber ekonomi dari berhuma (ladang) bukit saja. Karena selain menyebabkan tumbuhnya ilalang juga karena tanah yang masih hutan lebat semakin berkurang. Kini lahan sudah hijau oleh pohon karen, pohon tengkawang, pohon buah-buahan lainnya. Selain dapat menambah sumber penghidupan, kegiatan ini juga dilakukan agar tanah menjadi subur. Dan tidak kalah penting adalah hasil kebun sayur-sayuran yang banyak dikelola oleh kaum perempuan sudah berhasil dan dijual ke pasar kota Menukung.

Masyarakat adat sekarang tinggal menunggu waktu kurang lebih 4 – 5 tahun lagi dapat memanfaatkan hasil dari berkebun karet. Apalagi sekarang harga karet semakin mahal. Tidak menutup kemungkinan masyarakat adat di daerah ini akan mengandalkan sumber penghidupannya dari pohon karet tersebut. Masyarakat adat di daerah ini mengusahakan bibit karet secara mandiri. Mereka dapat melakukan negosiasi dengan Pemda agar mendapat bibit karet. Mereka sangat menolah dengan program-program pembangunan yang mengutamakan kebun sawit dan perusahaan-perusahaan skala besar yang ingin mengusahakan tanah mereka.

Cerita dari PNLH X Walhi di Yoyakarta

Pertama Kali Menginjakkan Kaki di Kota Gudeg - Yogyakarta

Cerita Mengikuti Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup X Walhi di Yogyakarta.

Tepat pada tanggal 16 April 2008, pukul 15.10 pesawat Batavia dengan tujuan Pontianak – Jakarta – Yogyakarta yang membawa saya dan rombongan dari Pontianak menuju Yogyakarta mendarat di bandara Adi Sucipto. Sampai di bandara Adi Sucipto, sambil menunggu jemputan untuk melanjutkan perjalanan, saya dan kawan-kawan menyempatkan diri mencari makanan ringan (minum, roti) untuk mengganjal perut yang mulai kosong. Sambil menikmati secawan kopi, jus alpokat, dan roti di sebuah warung kecil, salah satu kawan saya mulai bercerita. ”ternyata enak juga ya kopi di Yogya (sebutan singkat Kota Yogyakarta) sambil dia mengisap sebatang rokok LA”, ”Pada hal saya juga baru pertama kali menginjak kota Yogya”, tambah dia lagi.

Tidak terasa sudah satu jam kami duduk di warung kopi, tiba-tiba ada panggilan dari para jemputan memberitahukan bahwa bus yang akan membawa kami ke tempat yang dituju sudah datang. Setelah minuman kami bayar, kami melanjutkan perjalanan kembali. Tidak kurang 30 orang yang menumpang kendaran tersebut, karena selain rombongan kami dari Pontianak ada juga rombongan kawan-kawan dari Aceh dan Sulawesi. Selama perjalanan ke tempat tujuan, banyak pemandangan yang dapat dinikmati, sehingga membuat saya terkagum-kagum dengan kota Yoyga. Yang cukup menarik adalah kebersihan jalan rayanya, ketertiban lalu lintas dan pegunungan yang mengelilingi kota gudek tersebut. Selama perjalanan ke tempat tujuan dengan menggunakan bus tidak ada saya melihat sampah atau truk sampah yang sedang mengangkut sampah. Para pengendara motor, mobil atau bus dengan tertib mengikuti jalur jalan yang sudah di tentukan.

Selama diperjalanan kami bercerita banyak, sehingga saya dan tema-teman mengidentifikasi beberapa hal mengenai kota Yogya, antara lain: makanan khasnya Gudek, disebut juga kota Pelajar karena banyak anak-anak dari luar kota Yogya yang menimba ilmu di kota ini, dan terkenal dengan Kota Rajanya. Sehingga kami sepakat kalau orang mengatakan ingin pergi ke kota Gudek atau kota Pelajar atau Kota Raja, orang sudah tahu bahwa itu adalah Kota Yogyakarta. Menurut cerita kawan-kawan, selain terkenal dengan sebagai kota yang di sebut di atas, kota ini sendiri memiliki banyak berbagai macam tempat rekreasi, tempat wisata.

Tidak terasa bus yang membawa kami tiba-tiba berhenti, kami pun berhenti becerita. Ternyata kami sudah sampai di tempat tujuan, yaitu di Pasar Seni dan Gabusan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarat. Perjalanan kami hanya ½ jam saja dari bandara Adi Sucipto ke Pasar seni dan Gabusan. Di tempat ini kami disambut para panitia pertemuan dan orang kampung yang ada di wilayah gabusan. Kami mengisi daftar hadir sebagai tanda bahwa kami sudah berada di tempat itu. Daftar ini juga digunakan panitia untuk membagi kami dalam beberapa tempat penginapan. Penginapan yang disediakan adalah di rumah-rumah warga kampung gabusan. Setelah sekian lama menunggu pembagian penginapan, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan andong (transportasi khas Yogya) untuk diantarkan ke tempat penginapan.

Saya dan 2 orang teman menginap di rumah Pak Harjono, biasa dipanggil Harjo saja dan Ibu Sudilah yang terletak di Jalan Parang Tritis, Kabupaten Bantul, Km 9,5 dari ibu kota Yogya. Pak Harjono adalah Kepala Dusun, sedangkan Ibunya (Ny. Sudilah) sebagai penyiar di RRI Yogyakarta. Wilayah ini terkenal dengan sebutan wilayah Pasar Seni dan Gabusan. Ternyata tuan rumahnya sangat baik dan ramah menyambut kedatangan kami. Kami disambut dengan seyum keramah-tamahan, seolah-olah tak ada beban bagi mereka walaupun telah tekena musibah gempa bumi. Bahkan tuan rumah langsung mempersilakan kami masuk, mandi, makan dan minum. Sebelumnya saya tidak membayangkan tuan rumah yang seramah itu. Saya membayangkan kedatangan kami ”jangan-jangan merepotkan tuan rumah”, karena sebelumnya saya sudah mendapat informasi sedikit bahwa di wilayah ini merupakan salah satu korban gempa bumi pada tahun 2005 silam. Selain tempat penginapan, rumah ini juga sebagai posko bagi peserta yang baru datang. Hampir tiap waktu, tiap saat pasti ada orang yang ingin bertanya mengenai kegiatan dan tempat tinggal bagi peserta lainnya yang baru datang di rumah ini. Otomatis rumah ini jarang kosong.

Pada malam harinya (tanggal 16/4/2008) kami melanjutkan cerita yang sempat terputus semasa masih di bus. Cerita kami bertambah asyik setelah tuan rumah nimbrung dalam bercerita tersebut. Nah, saya sudah mulai berpikir untuk menanyakan mengenai situasi yang ada di kota gudek. Bagaimana perasaan bapak dan ibu pasca gempa bumi dua tahun silam? Saya membuka pertanyaan awal untuk mulai bercerita.

Jawaban Pak Horjo dan Ibu: ”karena sudah cukup lama, maka rasa trauma hampir hilang. Apalagi setelah walhi memutuskan bahwa kampung ini menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan (maksudnya PNLH X). ”Sewaktu gempa rumah kami kebetulan kosong, jadi tidak ada korban, hanya atap, dinding rumah yang roboh. Coba adek-adek liat rumah ini belum sepenuhnya diperbaiki’, tambah ibu lagi sambil menunjukan bekas dinding yang roboh. ”Kami cukup beruntung, karena rumah kami tidak separah seperti rumah yang lainnya. Ada beberapa rumah warga di sekitar sini yang ambruk semua. Bahkan ada keluarga yang semuanya meninggal tertimpa atap dan beton rumah. Banyak pohon-pohon yang tiba-tiba roboh. Jalan raya seperti berkelok-kelok sehingga kalau mengendara motor atau mobil sulit untuk dikendalikan. Dan banyak para pengendara yang menabrak kayu dan batas jalan”, penjelasan Pak Harjono panjang lebar. Saya merasa sedih mendengarkan cerita tersebut, sehingga saya tidak melanjutkan pertanyaan yang lebih dalam karena saya tidak mau mereka menjadi trauma lagi mengingat kejadian tersebut. Untuk itu saya mengalihkan dengan bertanya: ”Bagaimana perasaan bapak dan ibu menjadi tuan rumah pertemuan Walhi ini?

Jawaban: ”kami merasa senang, karena dapat menjadi tuan rumah pertemuan Walhi ini. Dari sini kami dapat mengetahui lebih dekat mengenai kegiatan dan aktivitas yang dilakukan oleh Walhi. Jujur aja, sebelumnya saya tidak mengenal apa itu Walhi, apa kegiatan Walhi sebenarnya, baru ini saja saya mengenal adanya Walhi yang katanya peduli terhadap lingkungan dan korban bencana alam. Dengan adanya pertemuan seperti ini, apalagi kalau melibatkan masyarakat secara menyeluruh maka Walhi akan dikenal oleh masyarakat di mana-mana”, kata Pak Harjono. ”Saya sangat bersyukur dengan adanya pertemuan ini, karena saya dapat mengenal adek-adek yang jauh dari Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, Palangkaraya dan Samarinda). Sebelumnya saya tidak pernah bermimpi bisa ketemu dan kenalan dengan kalian semuanya. Mungkin ini hikmah yang diberikan oleh Tuhan kepada kami setelah adanya gempa bumi, sehingga kami bisa ketemu dengan orang-orang Kalimantan”, Ibu menambahkan bapak Harjo.

Untuk menambah asyiknya diskusi, kami bertanya mengenai tempat-tempat yang biasanya ramai dikunjungi tamu-tamu dari luar. Atau tempat-tempat rekreasi lainnya. ”Di sini banyak tempat rekreasi”, kata bapak Harjo. Salah satunya yang cukup tekenal adalah pantai parang tritis, tempat pelelangan ikan, pantai samas, candi brobudur. Pantai parang tritis merupakan pantai yang banyak menyimpan hal-hal misteri dan mistik. Di pantai inilah tempat tinggalnya Nyi Loro Kidul. Tidak mengherankan setiap malam Jumat Kiliwon pasti ada orang-orang baik dari kota Yogya sendiri maupun orang luar yang melakukan upacaya adat di pantai ini. Bahkan di pantai ini telah didirikan sebuah tempat khusus dan permanen oleh Pemda Yogya untuk melakukan upacara adat.

Pantai ini sendiri dianggap angker bagi orang Yogya, karena banyak kejadian-kejadian aneh yang sering terjadi menimpa para pengunjung. Menurut cerita Pak Harjo ”ombak di pantai dapat menyebabkan orang hilang. Dan kalau udah hilang sulit untuk ditemukan. Penyebabnya adalah ombak yang berkulung-gulung ternyata membawa pasir batu, sehingga kalau orang tena ombak, maka dia akan tertimpa oleh pasir batu tersebut”. Dulu pernah kejadian, kata Pak Harjo: ”sebuah bus pariwisata yang membawa rombongan wisata tenggelam dibawa ombak pasir batu. Makin lama, makin bus itu tertimbun oleh pasir batu yang dibawa oleh ombak”. Sehingga dia memberikan saran kepada kami. Kalau ingin ke pantai, jangan berenang di ombak dan jangan bicara yang macam-macam. Saya jadi takut bercampur penasaran mendengar cerita bapak tersebut. Dan banyak lagi tempat-tempat yang dianggap keramat oleh orang-orang Yogya. Saking asyiknya bercerita tidak terasa hari pun sudah larut malam, kami pun memutuskan menghentikan dulu pembicaraan. Akhirnya saya dan teman-teman meneruskan cerita kota gudek dalam mimpi masing-masing. Kami pun melangkahkan kaki menuju tempat pembaringan yang sudah disiapkan tuan rumah.

Tarian Adat Penyambut Tamu


Masyarakat adat Dayak Limbai memiliki tradisi tersendiri untuk menyambut tamu yang akan datang ke wilayah mereka. Salah satu tradisi yang sampai sekarang masih dilestarikan dan dipraktekan adalah tarian adat. Setiap ada pelaksanaan kegiatan yang melibatkan orang ramai dan mengundang tamu dari luar biasanya dilakukan upacara adat penyambutan tamu yang dimeriahkan dengan tarian adat.

Perempuan Dayak Iban Menenun

Menenun merupakan tradisi masyarakat adat. Biasanya kegiatan ini dilakukan untuk mengisi waktu luang, setelah pulang melakukan aktivitas sehari-hari. Seperti yang ada dalam gambar seorang ibu setengah baya Dayak Iban di Kampung Sei Utik, Kabupaten Kapuas Hulu sedang membuat kain tenun.

Kegiatan menenun hampir dilakukan oleh semua perempuan Dayak Iban, termasuk anak-anak perempuan. Apalagi kalau di Kampung Sei Utik yang hingga sekarang masih menempati rumah panjang (panjai). Sistem kekerabatan dan kekeluargaan yang masih sangat kental dilaksanakan oleh masyarakat adat di kampung tersebut. Kain tenun biasaya digunakan pada waktu acara-cara besar, baik itu di kampung tersebut maupun di luar kampung, seperti gawai (gawa'), upacara adat dan kegiatan-kegiatan penyambutan tamu.

Aktivitas menenun oleh masyarakat adat Iban sudah dilakukan secara turun-temurun dan merupakan warisan nenek moyang. Semua kegiatan menenun hampir dilakukan oleh masyarakat adat dalam rangka melestarikan tradisi mereka.