Pengalaman dari Masyarakat Adat Menukung
Kalau kita pernah melewati jalan darat atau pun pernah berjalan-jalan ke daerah Menukung, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, terutama di daerah-daerah pedalaman – Menukung Darat dan Menukung Jalur Kiri Mudik. Kurang lebih 1 – 3 Km atau 1/2 jam jalan kaki saja keluar dari Menukung Kota menuju ke kampung-kampung yang ada dipedalaman, seperti ke Kampung Laman Mumbung atau ke Kampung Bunyau dan kampung-kampung lainnya, kita akan dihadapkan pada luasnya hamparan padang ilalang. Kita semakin bingung, kalau kita ingat bahwa masyarakat adat, khususnya Dayak dalam memenuhi sumber penghidupannya sehari-hari mengutamakan ladang ilir-balik yang dilakukan hampir setiap tahunya. Bagaimana cara masyarakat adat membuat ladang ilir balik tersebut? Apakah mereka berladang di hamparan padang ilalang? Ataukah mereka tidak berladang lagi dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari?
Pertanyaan ini membuat kita semakin penasaran untuk mengetahui lebih jauh dari mana masyarakat adat dalam mengelola pada ilalang. Menurut cerita masyarakat adat disini, dulunya wilayah ini merupakan hutan rimba dengan tanah yang subur, terutama untuk berladang dan bercocok tanam. Karena perkembangan zaman yang semakin hari semakin berubah, ditambah lagi dengan masuknya berbagai aktivitas perusahaan skala besar dengan dalih “pembangunan bagi rakyat, menyiapkan lapangan kerja bagi rakyat” dengan cara mengambil isi alam, seperti kayu, tanah, dan batu bara. Setelah semuanya dibabat habis oleh perusahaan, masyarakat adat tetap saja miskin, mereka diberikan hamparan padang ilalang yang sangat luas. Yang terjadi adalah hutan rimba dengan tanah yang subur berubah dratis menjadi hamparan padang ilalang. Dengan adanya kondisi lahan seperti ini hampir setiap musim kemarau atau 4 hari saja tidak hujan pasti lahan ilalang akan terbakar. Kebakaran tidak hanya menghanguskan pohon ilalang tapi yang menyakitkan masyarakat adat adalah mengahanguskan kebun karet dan tanam tumbuh yang bernilai ekonomis milik mayarakat adat. Kondisi ini membuat mereka trauma untuk berkebun dan bercocok tanam.
Menyadari kondisi alam yang semakin hari semakin tandus, masyarakat adat mulai memikirkan bagaimana cara mengelola hamparan ilalang dan menjaganya dari api. Kalau menghandalkan hutan primer untuk berladang dan memenuhi kebutuhan hidup tidak memungkinkan lagi. Hal ini disebabkan selain lahan (hutan) yang sudah mulai kritis, juga memerlukan waktu yang cukup lama menuju ke wilayah hutan. Masyarakat adat mulai melakukan diskusi dan dialog dengan pihak-pihak yang memiliki pengalaman dalam mengelola lahan ilalang sehingga menjadi lahan yang bernilai ekonomis (produktif). Diskusi yang dibangun salah satunya dengan pihak paroki Menukung, pihak LSM dan pihak lainnya. Hasil dari diskusi tidak disia-siakan masyarakat adat. Mereka mulai mempraktekan apa yang mereka dapat dari diskusi dan pertemuan. Aktivitas utama yang mereka lakukan adalah membentuk kelompok royong. Kelompok ini dimaksudkan selain mempermudah cara mengerjakan lahan, juga dimaksudkan untuk secara bersama-sama menjaga lahan yang sudah di tanam dari lahapan si jago mereh (api). Tanaman yang ditanam adalah pohon karet. Selain itu masyarakat adat juga menanam-tanaman lain seperti berkebun sayur, menanam pohon tengkawang, belian dan lainnya dalam rangka menghijaukan lahan ilalang.
Kondis sekarang
Berkat ketekunan dan keuletan masyarakat adat, maka kini kondisi lahan yang dulunya penuh dengan hamparan padang ilalang hampir berubah totol menjadi pohon yang bernilai ekonomis. Tiap-tiap kepala keluarga masyarakat adat di Menukung sekarang memiliki tidak kurang 2 - 3 hektar. Masyarakat adat menyadari bahwa tidak bisa mereka hanya mengandalkan sumber ekonomi dari berhuma (ladang) bukit saja. Karena selain menyebabkan tumbuhnya ilalang juga karena tanah yang masih hutan lebat semakin berkurang. Kini lahan sudah hijau oleh pohon karen, pohon tengkawang, pohon buah-buahan lainnya. Selain dapat menambah sumber penghidupan, kegiatan ini juga dilakukan agar tanah menjadi subur. Dan tidak kalah penting adalah hasil kebun sayur-sayuran yang banyak dikelola oleh kaum perempuan sudah berhasil dan dijual ke pasar kota Menukung.
Masyarakat adat sekarang tinggal menunggu waktu kurang lebih 4 – 5 tahun lagi dapat memanfaatkan hasil dari berkebun karet. Apalagi sekarang harga karet semakin mahal. Tidak menutup kemungkinan masyarakat adat di daerah ini akan mengandalkan sumber penghidupannya dari pohon karet tersebut. Masyarakat adat di daerah ini mengusahakan bibit karet secara mandiri. Mereka dapat melakukan negosiasi dengan Pemda agar mendapat bibit karet. Mereka sangat menolah dengan program-program pembangunan yang mengutamakan kebun sawit dan perusahaan-perusahaan skala besar yang ingin mengusahakan tanah mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar