Senin, 05 Oktober 2009

Rela Dipenjara Demi Mempertahankan Wilayah Adat
Perlawanan Masyarakat Adat Limbai di Ketemenggungan Pelaik Keruap Vs Pertambangan Batu Bara

“Kami ini bingung, mengapa kami bertiga ini ditahan oleh Polisi Melawi? Kamikan tidak melakukan perbuatan criminal, tidak mencuri harta-benda orang lain, kami juga tidak korupsi yang merugikan Negara milyaran bahkan tiliunan rupiah? Kami cuma ingin perusahaan menghargai dan menghormati adat-istiadat, hukum adat kami dan hak-hak kami atas tanah, hutan dan sumber daya alam yang telah kami miliki secara turun-temurun. Kami juga ingin melihat tanah, hutan dan alam yang diwariskan kakek-nenek moyang dan orang tua kami secara turun-temurun tetap lestari dan berkelanjutan. Sehingga anak-cucu kami kelak dapat menikmati tanah, hutan dan alam demi keberlangsungan hidup mereka di masa yang akan datang. Kami mempertahankan wilayah ini bukan untuk kepentingan pribadi kami sendiri, tapi kepentingan masyarakat adat kami seluruhnya. Kok sekarang malah Polisi yang ikut campur tangan dan menangkap kami”.

Itulah kata-kata yang diungkapkan oleh tiga (3) orang warga Dayak Limbai yang bermukim di wilayah Ketemenggungan Pelaik Keruap, Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi yang rela “mendekam di Sel Polres Melawi”, gara-gara berjuang mempertahankan wilayah adatnya dari sebuah perusahaan pertambangan batu bara. Dipenjaranya ke tiga orang tersebut bermula pada tanggal 11 Mei 2009, sekitar pukul/jam 20.00 Wib (jam 08.00 malam), dimana seluruh warga masyarakat adat Kampung Pelaik Keruap menghukum adat tim survey batu bara yang pulang setelah melakukan survey batu bara di Bukit Kerapas. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya sebelum sanksi adat diselesaikan, maka 2 orang tim survey disuruh pengurus kampung menginap dulu di rumah Pak Kades Pelaik Keruap.

Tindakan warga Pelaik Keruap di atas dilaporkan pihak perusahaan ke Polres Melawi, dengan tuduhan pemerasan dan penyanderaan. Menindaklanjuti laporan tersebut, pada tanggal 14 Mei 2009 kurang lebih 60 orang rombongan Polres Melawi dipimpin langsung Kapolresnya datang ke Desa Pelaik Keruap. Tujuannya selain membebaskan 2 orang tim survey batu bara, juga untuk menjemput Pak Iyon (Kadus) dan Pak Bambang (Kades) untuk ditahan di Polres Melawi. Ternyata tidak hanya Pak Iyon dan Bambang yang ditangkap dan ditahan, pada tanggal 15 Mei 2009 Polres Melawi menangkap dan menahan Pak Selamat (Kampung Entubu Desa Pelaik). Ketiga warga Masyarakat adat diduga sebagai “provokator/actor/otak” oleh Polisi dan perusahaan dibalik penghukuman adat dan penahanan 2 orang tim survey batu bara. Mereka dituduh melanggar Pasal 368 ayat (1) Jo Pasal 333 ayat (1) Jo Pasal 335 ayat (1) ke – 1e KUHP. Inti dari pasal-pasal tersebut adalah tindak pidana pemerasan dan pengancaman, dan atau kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang dan atau perbuatan tidak menyenangkan.

Penangkapan ke tiga warga masyarakat adat Pelaik Keruap tersebut oleh Polres Melawi tanpa melalui prosedur hukum yang berlaku, yaitu tidak adanya surat perintah penangkapan. Penangkapan yang dilakukan Polres Melawi seperti “menangkap anak ayam yang langsung dimaksudkan dalam kandangnya”. Atau mungkin yang ikut menangkap itu adalah Kapolresnya sendiri, atau mungkin karena yang ditangkap adalah masyarakat adat, masyarakat kecil, masyarakat biasa, tidak punya duit lagi.

Apakah setelah ditangkap dan ditahan ke tiga warga masyarakat adat tersebut langsung diproses sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku?. Mereka bertiga tersebut hanya menerima surat perintah penahanan saja dari Kapolres Melawi. Itupun setelah mereka menjalani masa penahanan selama 4 hari di rumah tahanan Polres Melawi. Tepatnya tanggal 17 Mei 2009 mereka bertiga menerima surat perintah penahanan tersebut. Tetapi kalau mengacu pada dikeluarkannya surat perintah penahanan oleh Kapolres Melawi pada tanggal 15 Mei 2009, maka dalam surat penahanan tersebut dikatakan “pada hari ini Jum’at tanggal 15 Mei 2009, 1 (satu) lembar surat perintah penahanan ini diserahkan kepada tersangka dan 1 (satu) lembar tembusannya kepada keluarganya”.

Setelah mendapatkan surat perintah penahanan, apakah ketiga warga masyarakat adat tersebut langsung diperiksa atau dibuat BAP? Ternyat tidak. Pemeriksaan ke tiganya baru dilakukan Polisi pada tanggal 31 Mei – 3 Juni 2009, itupun setelah tim pengacara mengajukan surat perintah penangguhan penahanan kepada Kapolres Melawi. Dalam BAP yang diterima tim pengacara tertulis bahwa “pemeriksaan terhadap ke tiganya telah dilakukan Polisi pada tanggal 15 Mei 2009, sedangkan pemeriksaan tambahan yang dilakukan pada tanggal 31 Mei – 3 Juni 2009”. Dari sini jelas ada pengelabuan data oleh Polisi, dimana pada tanggal 15 Mei 2009 Pak Iyon dan Bambang masih diberi kebebasan oleh Polisi untuk berkomunikasi dengan keluarganya menggunakan handpone (HP) dan pada tanggal yang sama sorenya Pak Selamat sendiri baru ditanggap oleh Polisi Melawi. Akhirnya pada tanggal 3 Juni 2009 sorenya Polisi mengabulkan surat penangguhan penahanan dari tim pengacara. Dengan ditangguhkannya penahanan ke tiga warga masyarakat adat tersebut oleh Polisi Melawi, namun mereka dikenakan wajib lapor ke Polres Melawi setiap bulannya.

Seperti diketahui penghukuman adat dan diinapkannya sementara 2 orang tim survey batu bara, bermula dari kedatangan 8 orang tim survey pada tanggal 10 Mei 2009 sekitar pukul 23.00 Wib (11 malam) untuk melakukan mengambil contoh batu bara di Bukit Kerapas masih wilayah adat Ketemenggungan Pelaik Keruap. Masuknya tim survey tersebut, tanpa diketahui masyarakat adat Pelaik Keruap yang sebenarnya dilewati oleh tim survey. Mereka mengetahui adanya tim survey masuk dari warga kampung lain melalui telepon seluler (HP). Warga yang tidak mau menyebutkan namanya tersebut juga mengatakan bahwa tim survey akan pulang pada tanggal 11 Mei 2009.

Mendengar informasi tersebut di atas, maka pada tanggal 11 Mei 2009, warga Kampung Pelaik Keruap (laki-laki dan perempuan) berbondong-bondong ke tepi sungai keruap menunggu kepulangan tim survey. Sekitar jam 20.00 Wib (jam 8.00 malam) dengan menggunakan motor air (speed 2 Pk) tim survey tiba di kampung Pelaik Keruap. “Aneh masa tiba di Kampung Pelaik Keruap mesin motor air yang membawa tim survey dimatikan”, kata Pak Said tetua Kampung Pelaik Keruap. Setibanya tim survey di tempat warga yang menunggu, salah seorang warga bertanya, datang dari mana kalian?. “Datang dari survey”, kata seorang tim survey. “Udah lapor belum sama Kadus atau Kades? Kalau belum, lapor dululah”, kata Pak Said lagi. “Kami tidak sempat melapor, karena ada kawan kami yang sakit, kalau bisa besok pagi pak kades dan pak kadus ketemu kami di Menukung”, kata tim survey lagi. Berkali-kali warga mengajak tim survey untuk naik ke rumah, mengingat ada tim survey yang sakit, namun pihak tim tidak mau. Akhirnya beberapa warga memanggil Kadus (Pak Iyon) untuk menemui tim survey. Atas ajakan/anjuran Kadus, akhirnya tim survey mau naik kerumah Kadus. Setibanya dirumah Kadus, warga kembali menanyakan, “atas ijin siapa kalian (tim survey) masuk?”. “Surat ijin sudah diedarkan oleh Camat Menukung”, kata tim survey.

Karena tim survey tidak memberitahu dulu dengan para pengurus adat (Temenggung, Ketua Adat), pengurus kampung (Tetua Kampung, Kades dan Kadus) dan warga lainnya. Apalagi kedatangan dan kepulangan tim survey pada malam hari, maka masyarakat adat Pelaik Keruap menganggap tim survey telah mencuri asset sumber daya alam dan melanggar hukum adat. Selain itu, pihak perusahaan tidak memenuhi beberapa persyaratan yang diajukan masyarakat adat Pelaik Keruap apabila perusahaan batu bara ingin masuk ke wilayah mereka. Syarat tersebut disampaikan pada waktu masyarakat adat Pelaik Keruap menghadiri undangan pihak Kecamatan Menukung dalam rapat bersama yang dihadiri pihak Kecamatan Menukung, Perusahaan pertambangan (PT. Mekanika Utama), Dinas Pertambangan untuk membicarakan rencana masuknya perusahaan pertambangan batu bara. Karena perusahaan tidak menyanggupi persyaratan yang diajukan masyarakat, maka rapat tersebut tidak menghasilkan keputusan apapun.

Sanksi adat yang dikenakan kepada tim survey di atas sebesar 65 Ulun dengan perincian kesalahan yang dilakukan adalah: pertama: adat basa, karena tim survey datang dan pulang tanpa permisi dengan pengurus adat, pengurus kampung dan warga masyarakat adat. Apalagi kedatangan dan kepulangan pada malam hari. Tidak menghargai dan menghormati adat istiadat dan hukum adat, maka dihukum adat salah basa. Kedua: adat pencurian, karena masuk ke wilayah adat milik masyarakat adat secara sembunyi-sembunyi (datang malam, pulangpun malam). Ketiga: adat ingkar janji, karena perusahaan mengulangi perbuatan yang sama sebelumnya. Dimana pada tahun 2006, tim survey batu bara juga dikenakan hukum adat, karena melakukan survey di wilayah adat tanpa permisi dengan pengurus adat, pengurus kampung. Perusahaan memenuhi sanksi adat dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya.

Perjuangan Masyarakat Adat Limbai di Ketemenggungan Pelaik Keruap, Ketemenggungan Batas Nangka dalam mempertahankan tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya sudah berlangsung sejak tahun 2003 lalu. Pada tahun itu, masyarakat adat Limbai di Kampung Bunyau (tetangga dengan kampung Pelaik Keruap) menghukum adat sebuah perusahaan yang bergerak HPHH. Perusahaan ini dianggap masyarakat Bunyau telah mencuri kayu di Bukit Bunyau yang juga bukan wilayah operasinya perusahaan tersebut. Perusahaan memenuhi sanksi adat dan tidak lagi beroperasi di wilayah adat (Bukit Bunyau). Di tahun 2004, mulai issu masuknya pertambangan batu bara yang ingin beroperasi di Bukit Kerapas, Bukit Bunyau dan Bukit Alat. Bukit-bukit ini merupakan sumber air bersih, perluan sungai keruap, sungai kayan dan juga sebagai sumber irigasi sawah masyarakat adat. Bukit ini juga berisis berbagai macam jenis kayu, binatang, tanaman obat-obatan dan yang tidak kalah penting adalah tempat ritual (upacara keagamaan).

Untuk merespon berbagai perusahaan yang ingin masuk, pada tahun 2005 masyarakat adat Limbai mengadakan musyawarah adat. Musyawarah ini dihadiri sekitar 200-an lebih peserta dari 26 Kampung yang tersebar di Ketemenggungan Palaik Keruap dan Ketemenggungan Batas Nangka, bahkan juga dihadiri oleh masyarakat adat suku lainnya (Ransa, Kenyilu, Kubin). Musyawarah ini menghasilkan: pertama: pembentukan wadah bersama yang diberi nama PERMADALI (Persatuan Masyarakat Adat Dayak Limbai), sebagai wadah advokasi hak-hak masyarakat adat atas tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya; kedua: membuat surat pernyataan bersama tentang penolakan terhadap berbagai jenis investasi/perusahaan skala besar yang ingin masuk ke wilayah adat mereka. Surat pernyataan yang dilampirkan tanda tangan dan cap jempol warga ini mereka kirimkan ke pihak Kecamatan Menukung, Pemda Melawi dan instansi Pemerintah lainnya.

Begitulah nasib masyarakat adat Dayak kita kalau ingin berjuang mempertahankan hak-hak atas tanah, hutan dan sumber daya alam milik mereka sendiri. Walaupun yang diperjuangkan bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tapi juga kepentingan orang banyak, masyarakat adat banyak, maka maereka harus rela dianggap kriminal oleh pejabat-pejabat negeri ini. Karena hingga kini aparat penegak hukum (kepolisian, jaksa, hakim) kita masih berpihak pada kapitalis, orang-orang yang punya duit banyak. Yang jelas, kekompakan dan penegakan hukum adat atas wilayah adat harus tetap kita pertahankan dalam melawan para penindas.

apiarian_mualang