Kamis, 30 Oktober 2008

Banjir Bandang Menerjang Kecamatan Ella Kab. Melawi Kalbar


Menghayutkan 200-an Rumah Penduduk dan 1000-an Rumah
Lainnya Tenggelam

Curah hujan yang tinggi di awal bulan September menyebabkan musibah bagi masyarakat yang bermukim di aliran sungai Melawi dan sungai Ella Hilir. Musibah banjir yang disertai dengan arus yang deras tidak hanya menghayutkan batang-batang kayu dari hulu sungai Ella, tapi juga disertai dengan kondisi air yang kotor dan berlumpur. Tapi yang cukup menyedihkan adalah bajir ini telah menghayutkan tidak kurang dari 200-an rumah penduduk dan 1.000-an rumah lainnya tenggelam. Masyarakat masih beruntung karena musibah banjir tersebut tidak menelan korban jiwa. Namun masyarakat tidak dapat menjalankan aktivitasnya seperti biasa, karena ladang, kebun karet dan tempat lainnya yang merupakan tempat mereka mencari sumber penghidupan juga ikut tenggelam. Masyarakat hanya bisa pasrah menghadapi banjir, karena tidak ada yang bisa dibuat selain menyelamatkan harta benda dari genangan air yang hampir mencapai 1 – 2 meter tersebut. Kerugian akibat musibah ini tidak kurang dari 500 Juta Rupiah.

Kejadian berawal dari curah hujan yang terjadi pada tanggal 4 – 9 September 2008 di Kecamatan Ella Hilir Kabupaten Melawi. Hampir seluruh rumah penduduk yang berada di pinggir sungai melawi dan sungai ella tenggalam. Berdasarkan pengamatan di lapangan pada tanggal 5 September, ada 2 buah rumah semi permanen di dekat jempatan penyeberangan sungai Ella Hilir hanyut terbawa arus air. Sehingga ke dua rumah tersebut sampai menyeberangi jalan raya yang menghubungkan kota Nanga Pinoh dan Kota Kecamatan Ella. Pada hal rumah tersebut selain digunakan untuk tempat tinggal juga sebagai toko yang menjual barang-barang makan pokok (sembako). Pemilik rumah masih sempat menyelamtkan dirinya, namun barang-barang yang ada di dalam rumah tidak bisa diselamatkan oleh penghuninya. Menurut bapak yang punya rumah, “kerugian akibat banjir tersebut tidak kurang dari 100-an Juta Rupiah”. “Tidak pernah mengalami banjir seperti ini selama hidupnya”, kata dia lagi sambil menunjukan bumbung rumah yang masih timbul.

Menurun beberapa warga yang sempat ditanya, bahwa ini merupakan banjir yang ke tiga kalinya. Banjir yang pertama kalinya terjadi pada tahun 1960-an dan disusul pada tahun-tahun berikutnya. Namun banjir sebelumnya tidak pernah seperti ini, kata mereka. “Mungkin ini yang dinamakan dengan banjir banding”, tambah warga yang lainnya. “Baru ini saja kami mengalami banjir besar seperti ini, sampai menghayutkan 100-an rumah penduduk yang ada diperhuluan sungai Ella. Dulu-dulunya tidak pernah ada banjir sampai begitu derasnya dan terjadinya pada malam hari lagi. Masih untuk warga yang rumahnya hanyut dapat menyelamatkan diri,” kata mereka lagi. Dilihat dari wajah dan tatapan warga pada waktu menceritakan musibah banjir, mereka masih ketakutan dan kwatir jangan-jangan kejadian pada tanggal 5 tersebut terulang kembali. Mengingat hingga ditulisnya beritanya, hujan masih tetap turun siang-malamnya. “Sekarang ini kami masih dalam keadaan trauma, kami berharap ada bantuan dari pemerintah setempat untuk menangani banjir ini,” harapan warga masyarakat.

Terjadinya musibah banjir tidak terlepas dari perubahan sumber daya alam, khususnya tidak ada lagi hutan sebagai penampung air hujan diperluan sungai Ella dan sungai Melawi. Hutan di perluan sungai tersebut sudah sangat menipis, sehingga tidak mampu lagi menampung curahnya air hujan. Menipisnya hutan tersebut bukan dikarenakan oleh perubahan alam itu sendiri, tapi karena ulah segelintir orang yang ingin memperkaya dirinya sendiri. Ternyata di hulu sungai Ella ada beberapa perusahaan HPH yang masih aktif melakukan penebangan kayu. Kayu-kayu yang ditebang tidak hanya kayu produksi yang ada di dataran rendah, tapi yang sangat menyedihkan adalah kayu-kayu yang difungsinya sebagai penyangga agar tidak longsor tidak ketinggalan untuk ditebang. Bukit-bukit yang berisi kayu di hulu sungai Ella sudah hampir habis ditebang oleh salah perusahaan yang bergerak di bidang HPH. Bukan hanya perusahaan HPH saja yang beroperasi, tapi para penambang emas di aliran sungai Ella dan Melawi juga ikut adil menyebabkan terjadinya musibah bajir.

Ibu Kota Pinoh sendiri tidak tertinggal dari genangan air. Pada tanggal 6 – 11 September 2008 puncaknya air menenggelamkan kota Pinoh. Di kota ini banjir sudah sampai di tugu persimpangan empat. Pada hal daerah tugu tersebut merupakan daerah dataran tinggi. Banjir ini menyebabkan banyak warga yang mengungsi tempat keluarganya di daerah-daerah yang lebih tinggi seperti ke jalan km 04 atau ke daerah-daerah lainnya. Selain mengungsi, ada juga warga yang bertahan di rumahnya terutama bagi mereka yang memiliki rumah bertingkat. Tidak bisa dibanyangkan bagi rumah-rumah yang terletak di pinggir sungai Melawi dan Sungai Pinoh. Aktivitas ekonomi masyarakat lumpuh total. Kendaraan umum (bis) dari Kota Pontianak tidak bisa masuh ke Kota Pinohnya.

Kalau pemerintah tidak serius menangani persoalan lingkungan hidup dan sumber daya alam lainnya, tidak menutup kemungkinan pada tahun 2010 kota-kota dan pemukiman penduduk di Kalbar yang berada di pinggir aliran sungai akan tenggelam. Saat sekaranglah pemerintah daerah/kota dan pengambil kebijakan di Negara ini berkaca dari kejadian-kejadian sebelumnya. Jangan sampai terjadi korban yang lebih banyak lagi, seperti di Aceh yang terkena tsunami. Coba tinjau ulah ijin-ijin yang diberikan kepada perusahan-perusahaan besar yang jelas-jelas merusak alam beserta isinya. Apabila perlu cabut ijin-ijin perusahaan tersebut sebelum “alam ini lebih murka lagi”. Dan jangan lagi terbitkan ijin-ijin baru bagi perusahaan seperti perkebunan skala besar (sawit, HTI), perusahaan HPH, pertambangan emas dan batu bara. Berilah kedaulatan kepada rakyat untuk mengelola sumber daya alam beserta isinya. Karena merekalah yang secara turun-temurun terbukti mengelola sumber daya alam beserta isinya dengan tidak merusak lingkungan.

Rabu, 29 Oktober 2008

Sengketa Kawasan Hutan Antara MA Ketemenggungan Siyai Vs TN Bukit Baka - Bukit Raya


Penanda Tanganan Kesepakatan Bersama antara MA Siyai dan TN BB - BR untuk Menyelesaikan Sengketa Kawasan Hutan

Sungkup – Konflik penguasaan kawasan hutan antara Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai dan Taman Nasional Bukit Baka – Bukit Raya (TN BK-BR) Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi sudah berlangsung lama. Konflik muncul bermula dari dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehutanan tahun 1992 tentang perubahan status hutan alam menjadi hutan konservasi dengan nama Taman Nasional Bukit Baka – Bukit Raya. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 281/Kpts-II/1992 tidak hanya mengubah fungsi hutan, tapi juga sudah menambah jumlah luas kawasan yang dijadikan Taman Nasional BK-BR. Sehingga membatasi akses Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai atas tanah, hutan dan sumber daya alam lainya.

Sebelum ditetapkan sebagai kawasan TN BK – BR oleh Menteri Kehutanan pada tahun 1992, hak penguasaan kawasan hutan ini merupakan hak Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai, Ketemenggungan Masyarakat Adat Kenyilu di Jalur Mentatai dan Ketemenggungan Masyarakat Adat Uut Danum di Jalur Serawai. Masyarakat Adat yang menempati kawasan ini mayoritasnya adalah Masyarakat Adat Dayak (Limbai, Kenyilu, Ransa, Kubing, Uut Danum). Selain oleh Masyarakat Adat Dayak di Kalbar kawasan ini juga masuk dalam wilayah Masyarakat Adat Dayak Katingan di Kalimantan Tengah. Sehingga TN BB-BR merupakan gabungan 2 wilayah propinsi, yaitu propinsi Kalimantan Barat dan Propinsi Kalimantan Tengah.

Wilayah ini sudah ditempati oleh Masyarakat Adat di Ketemenggungan Siyai sejak lama. Yang jelas sebelum Negara Indonesia Merdeka Masyarakat Dayak Limbai dan Masyarakat Adat Dayak lainnya sudah menempati wilayah ini. Berdasarkan informasi yang diperoleh dengan cara diskusi, wawancara dan pertemuan bersama warga Masyarakat Adat di Sungkup, bahwa mereka tidak mampu lagi mengingat kembali sejak kapan nenek moyang mereka menempati dan menguasai wilayah ini. Namun mereka hanya mampu mengingat bekas-bekas rumah panjang termasuk nama orang-orang yang pertama kali mendirikan, batas-batas wilayah kampung, desa bahkan batas Ketemenggungan dengan wilayah-wilayah tetangga, tempat-tempat keramat, dan tempat-tempat pertahanan pada jaman Belanda dulu. Batas-batas wilayah ketemenggungan mereka buktikan dengan tanam tumbuh, bukit, sungai dan lereng bukit sebagai tanda batas wilayah. Dan dari situ tidak pernah ada konflik dengan wilayah-wilayah tentangga mengenai tata batas, karena sudah disepakati dan ditaati secara turun temurun oleh ke dua belah pihak.

Keberadaan Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai mulai terusik kehidupannya pada tahun 1980-an. Pada tahun tersebut mulai masuk berbagai jenis aktivitas perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan. Sebut saja perusahaan PT. SBK tahun 1978, masuknya kebijakan Taman Nasional dan perusahaan lainnya. Kedatangan para perusahaan ini yang semula dianggap Masyarakat Adat akan membawa perubahan yang lebih baik bagi kehidupan mereka, ternyata dalam perjalanannya malah membuat konflik. Konflik antara Masyarakat Adat dan perusahaan tidak dapat dihindari. Konflik terjadi karena tidak dipenuhinya janji-janji oleh perusahaan seperti yang pernah diucapkan pada awal perusahaan masuk. Selain itu konflik mucul karena Masyarakat Adat tidak dijinkan oleh perusahaan (PT. SBK) menggunakan jalan perusahaan. Padahal perusahaan sendiri mengambil kayu, batu dan sumber daya alam lainnya di wilayah Masyarakat Adat. Setelah sekian lama perusahaan untung dengan mengambil harta kekayaan milik Masyarakat Adat yang berupa kayu, tanah, batu dan sumber kekayaan alam lainnya maka perusahaan tidak lagi mau peduli dengan kawajiban-kewajibannya terhadap Masyarakat Adat.

Akses Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai atas hutan, tanah dan sumber daya alam lainnya semakin terjepit dengan dietapkannya sebagian wilayah adat mereka diklim sepihak oleh pihak Taman Nasional sebagai kawasan TN BB – BR pada tahun 1992. Dari sinilah benih-benih konflik antara Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai dan TN BB – BR makin memuncak. Apalagi pihak TN BB – BR tidak pernah melakukan dialog/diskusi atau sosialisasi mengenai perubahan patok batas TN BB – BR tersebut. Selain itu, beberapa kali Masyarakat Adat mengundang pihak TN BB – BR untuk berdialog mengenai perubahan batas TN tapi tidak pernah ditanggapi serius. Konflik semakin memuncak sejak ditanggapnya 2 (dua) orang warga Masyarakat Adat Sungkup oleh Polres Melawi pada tahun 2007. Penangkapan warga Sungkup karena ada laporan dari pihak TN BB – BR ke Polres Melawi atas tuduhan membuka ladang di areal TN BB – BR. Penangkapan tersebut terjadi di pondok ladang, sedangkan yang satunya hanya dipanggil sebagai saksi, tapi akhirnya dijadikan tersangka oleh polisi. Akhirnya ke-2 (dua) orang tersebut disidangkan di pengadilan negeri Sintang. Tidak kurang 13 (tiga belas) kali sidang di PN Sintang dan akhirnya hakim memutuskan ke-2 (dua) orang tersebut terbukti bersalah dengan hukuman 7 (tujuh) bulan penjara dan denda 50 juta rupiah kepada masing-masing terdakwa. Merasa dirinya tidak bersalah dan tidak terima dengan putusan hakim, maka ke – 2 (dua) terdakwa mengajukan banding melalui pengacaranya ke Pengadilan Tinggi di Pontianak. Hingga sekarang belum ada keputusan dari pengadilan tinggi.

Berdasarkan pengamatan di lapangan (tempat ladang), bahwa ladang yang dimaksud adalah ladang bekas tahun sebelumnya. Karena tidak jadi dibakar, maka mereka menebasnya lagi dan tidak ada menebang pohon kayu. Tidak hanya 2 (dua) orang saja yang berladang di tempat tersebut, tapi ada 5 (lima) orang yang semuanya adalah warga Masyarakat Adat Sungkup. Kalau mengacu pada hasil pemetaan parsipatif tahun 1998 yang difasilitasi oleh PPSDAK – Pancur Kasih bekerjasama NRM-2/EPIQ, Unit TN BB-BR, LIT-BANG, Kanwil Dept. Kehutanan Kab. Sitntang, PT. SBK Kab. Ketapang bahwa kawasan tempat berladang merupakan hak penguasaannya oleh warga Masyarakat Adat Sungkup. Pemetaan partisipatif sendiri dilakukan untuk mengantisipasi konflik yang akan muncul antara Masyarakat Adat dan TN BB-BR serta dengan pihak perusahaan PT. SBK dalam hal pengusaan kawasan hutan.

Atas putusan pengadilan tersebut tidak hanya naik banding untuk mencari keadilan. Tapi warga Masyarakat Adat Sungkup juga mengambil inisiatif lain untuk menghadapi kasus yang sedang terjadi. Mereka mengundang para pihak yang memiliki kepentingan atas kasus tersebut untuk berdiskusi, berdialog sehingga menemukan jalan keluar bersama-sama. Atas inisiatif Masyarakat Adat Sungkup di atas, maka tanggal 3 – 4 Oktober 2008 bertempat di Rumah Panjang dilaksanakanlah pertemuan yang melibatkan Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai, TN BB – BR Sintang; Muspika Kec. Menukung; Dewan Kehutanan Nasional (DKN) di Jakarta dan LSM (HuMa Jakarta, LBBT, AMAN Kalbar, JAKA). Yang tidak hadir dalam pertemuan tersebut adalah DPRD dan Pemda Melawi. Berdasarkan masukan dari berbagai pihak dalam pertemuan tersebut, akhirnya diperoleh kesepakatan antara Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai dan TN BB – BR untuk membentuk tim perumusan penyelesaian konflik yang terjadi. Pembentukan tim dibuat berita acara kesepakatan yang ditandatangani oleh perwakilan Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai dan TN BB – BR serta saksi-saksi lainnya. Tim ini nanti bertugas untuk merumuskan sebuah rekomendasi yang nantinya akan diajukan kepada pemerintah (Pusan, Daerah, Dishut, BKSDA, DKN) sebagai bahan pertimbangan dalam menyelesaikan konflik tersebut. Hingga saat ini tim telah melakukan beberapa kali konsolidasi dalam rangka mengumpulkan/menghimpun data dan informasi yang mendukung kerja tim.

Seperti diketahui, bahwa bukan kali ini saja Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai melakukan upaya-upaya penyelesaikan konflik dengan TN BB-BR. Setelah penagkapan Pak Toro oleh Polres, maka pada tanggal 30 Agustus 2007 Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai mengadakan pertemuan di Kecamatan Menukung. Pertemuan ini sendiri untuk membahas mengenai kejelasan tata batas antara TN BB – BR, PT. SBK dengan wilayah Masyarakat Adat. Hadir dalam pertemuan tersebut antara lain: - Wakil Camat, Wakil Kapolsek, Wakil Danramil Menukung, dan staf Kecamatan Menukung. Sedangkan pihak TN BB – BR dan PT. SBK tidak hadir dalam pertemuan. Pada hal ke dua belah pihak tersebut sangat diperlukan untuk diminta keterangannya mengenai keberadaan TN BB – BR dan hubungannya dengan PT. SBK. Karena tidak hadirnya pihak TN BB – BR dan PT. SBK, maka pertemuan tersebut tidak menghasilkan apapun.

Karena tidak menghasilkan keputusan apa-apa pada pertemuan pertama, maka Camat Menukung mengambil inisiatif untuk membuat undangan secara resmi kepada pihak TN BB – BR dan PT. SBK supaya dapat menghadiri pertemuan lagi. Atas undangan Camat Menukung tersebut, maka pada tanggal 4 September 2007 dilaksanakan pertemuan kedua kalinya di Kecamatan Menukung. Selain Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai yang hadir, juga hadir sebanyak 4 orang pihak TN BB – BR, Camat, wakil Kapolsek, wakil Danramil dan staf Kecamatan Menukung. Lagi-lagi tidak ada hasil dari pertemuan tersebut. Hal ini disebabkan oleh pihak TN BB – BR yang hadir tidak berani menjeleskan mengenai tata batas TN, karena harus koordinasi dengan ketua balai TN BB – BR di Sintang.

Beginilah birokrasi di pemerintahaan Indonesia hingga saat ini. Untuk berdialog dan berdiskusi mengenai konflik Masyarakat Adat dengan pihak pemerintah atau pihak perusahaan harus ada ijin dulu dari atasan baru bisa mengambil keputusan. Pada hal Masyarakat Adat sudah cukup sabar menti keputusan atas konflik yang mereka hadapi dari pihak pemerintah...... Mari lawan terhadap kaum penindas dan perampas hak-hak rakyat.

Rabu, 22 Oktober 2008

Batu Bara di Kecamatan Serawai Kab. Sintang

Perempuan Adat Dusun Gurung Permai Kecamatan Serawai Mengusir

Tim Survey Pertambangan Batu Bara beserta Muspika Serawai

Serawai - Kejadian ini bermula pada hari Sabut tanggal 18 Oktober 2008, ketika tim survey dari PT. Heravika Kalsindo datang ke Dusun Gurung Permai, Desa Gurung Sengiang Kecamatan Serawai Kabupaten Sintang. Perusahaan ini sendiri bergerak di bidang pertambangan. Areal utama perusahaan ini terletak di bukit kerapas, bukit alat dan bukit bunyau. Kedatangan tim survey pertambangan batu bara berbekal surat tugas yang dikeluarkan oleh Bupati Sintang. Inti dari surat tugas tersebut adalah memberikan ijin kepada tim survey batu bara untuk melakukan penyidikan atas potensi batu bara yang ada di wilayah masyarakat adat Desa Sengiang. Waktu yang diberikan oleh Bupati Sintang adalah selama 1 (satu) bulan dimulai dari tanggal 24 September – 24 Oktober 2008. Ada 7 (tujuh) orang tim survey yang datang salah satunya adalah Direktur Perusahaan pertambangan batu batu bara yang bernama Ir. Agung dan satu orang lagi konsultanya bernama Wisman, sedangkan yang lainnya adalah tim teknis lapangan. Kedatangan rombongan ini tidak sendiri. Ikut dalam rombongan tim survey batu bara ada dari pihak Kecamatan Serawai, yaitu: Camat, Polsek, dan Wakil Danramil serta 8 (delapan) orang warga Masyarakat Desa Mentibar ditambah 3 (tiga) orang warga Desa Gurung Sengiang Kecamatan Serawai, Kapaten Melawi

Pada hari hari Jumat tanggal 17 Oktober 2008 pihak Kecamatan Serawai talah mengadakan suatu pertemuan yang diberi judul ”Penyuluhan Hukum” dengan pesertanya adalah para Kepala Desa Serawai dan instansi pendidikan di Serawai. Pertemuan ini sendiri dimanfaatkan oleh pihak kecamatan melakukan sosialisasi mengenai kedatangan tim survey pertambangan batu bara ke wilayah Kades masing-masing. Berdasarkan informasi dari warga yang tidak mau disebutkan namanya bahwa tidak ada penyuluhan hukum, yang ada adalah sosialisasi tentang keberadaan tim survey pertambangan batu bara dari PT. Heravika Kalsindo yang akan melakukan penyidikan batu bara di wilayah Desa Gurung Sengiang Dusun Gurung Permai. Diminta kepada para Kepala Desa agar memberitahukan kepada Kepala Dusunya masing-masing agar mau menerima dan mengantar tim survey batu bara tersebut.

Mengacu kepada hasil pertemuan yang diselenggarakan oleh pihak Kecamatan Serawai, maka Pjs. Kepala Desa (Kades) Gurung Sengiang menginformasikan kepada Kepala Dusun agar mau mengijinkan dan mengantar tim survey pertambangan batu bara masuk ke wilayah Dusun Gurung Permai. Berbekal instruksi dari Pjs. Kades Gurung Sengiang, maka pada malam Jumat tanggal 17 Oktober 2008 Kadus Gurung Permai mengajak warganya berkumpul di rumah kadus guna menyikapi rencana kedatangan tim survey pertambangan batu bara tersebut. Musyawarah pun dilakukan di rumah Kadus. Dari diskusi panjang lebar, karena sempat terjadi pro dan kontra atas kehadiran tim survey. dari musyawarah tersebut warga akhirnya menemukan kata sepakat untuk membuat surat penolakan terhadap kehadiran tim survey pertambangan batu bara. Surat penolakan yang dibuat langsung ditandatangani dan ada yang menggunakan cap jempol oleh seluruh warga Dusun Gurung Permai.

Pada hari Sabtu, tanggal 18 Okboter 2008 jam 08.00 Wib Masyarakat Adat Dusun Gurung Permai Desa Gurung Sengiang sudah berkumpul di rumah Kadus menunggu kedatangan tim survey pertambangan batu bara. Ternyata rombongan tim survey yang didampingi oleh Muspika Serawai datang pada pukul 14.00 Wib (jam 2 siang) ke Dusun Gurung Permai. Tidak kurang setengah hari Masyarakat Adat menunggu kedatangan rombongan tim survey. Situasi ini semakin membuat Masyarakat Adat kecewa bercampur marah karena mereka sudah menyita waktu kerja ke ladang, ke kebun karet dan kegiatan lainnya yang merupakan kegiatan rutinitas.

Setibanya rombongan tim survey beserta Muspika Serawai, yang pertama ditanya Camat adalah Pjs. Kepala Desa Gurung Sengiang. Camat mengatakan apakah Pjs. Kades sudah menginformasikan kedatangan mereka ke warganya. Pjs. Kades hanya mengatakan bahwa: “sudah memberitahukan kepada Kepala Dusun Gurung Sengiang agar menerima dan mengantarkan tim survey batu bara”. Setelah itu Pak Camat langsung membacakan surat tugas yang dikeluarkan oleh Bupati Sintang yang intinya mengijinkan tim survey pertambangan batu bara masuk ke wilayah Serawai. Pak Camat mengatakan kalau perusahaan petambangan batu bara masuk maka akan membuka lapangan kerja bagi masyarakat, menambah pendapatan (ekonomi) masyarakat meningkat, perusahaan akan membuat jalan tembus dari dusun ke dusun dan sebagainya. Mengenai pemukiman penduduk yang terkena langsung areal pertambangan, Camat mengatakan bahwa “pemukiman penduduk yang tekena langsung areal pertambangan akan dipindahkan”. Terutama pemukiman penduduk yang barada di kaki bukit alat akan di pindahkan ke seberang sungai gurung’, kata camat lagi. Sehingga Camat menghimbau agar para Kadus dapat mengijinkan dan mengantar tim survey batu bara melakukan penyidikan untuk mengetahui muta batu bara yang ada di wilayah ini.

Mendengar pernyataan Camat, Kadus langsung menanggapi dengan menyatakan bahwa: “Saya tergantung kepada warga masyarakat saya, karena saya dipilih oleh warga masyarakat. Kalau warga masyarakat saya mengatakan setuju dan menghendaki adanya perusahaan batu bara maka saya juga tidak bisa menolaknya, begitu juga sebalinya, kalau warga masyarakat saya mengatakan tidak setuju saya juga tidak bisa menolaknya”. Setelah mendengar jawaban dari Kadus tersebut, secara serentak warga Masyarakat Adat mengatakan tidak setuju adanya perusahaan pertambangan batu bara di wilayah kami. Pernyataan warga masyarakat didukung oleh wakil ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Gurung Sengiang (Pak Hendrikus Ujang). Pak Hendrikus Ujang langsung bertanya: “Apakah ada pimpro perusahaan pertambangan batu bara ikut dalam tim survey ini?”. Camat mengatakan tidak ada pimpro ikut. Pada hal di antara tim survey tersebut ada pimpro perusahaannya. Mendengar jawaban itu wakil ketua BPD langsung membacakan surat penolakan yang telah dibuat oleh masyarakat adat sejak lama. Masyarakat Adat di wilayah ini sudah lama membuat surat pernyataan penolakan terhadap berbagai jenis perusahaan yang ingin masuk ke wilayah mereka. Bahkan beliau membacakan kronologis beberapa perusahaan yang pernah dan akan masuk ke wilayah adat mereka, seperti perusahaan Borneo Karunia Mandiri (BKM) yang bergerak di bidang HPH, perusahaan sawit dan yang terakhir perusahaan pertambangan batu bara. Semua perusahaan yang ada tersebut ditolak keberadaannya oleh Masyarakat Adat. Masyarakat adat mangancam, apabila perusahaan pertambangan batu bara ini benar-benar ingin beroperasi di wilayah adat mereka, jangan salahkan Masyarakat Adat apabila bertindak sesuai dengan aturan Masyarakat Adat sendiri.

Sikap dan Tanggapan Muspika Serawai dan Tim Survey
Setelah mendengar semua sikap dan pernyataan Masyarakat Adat Dusun Gurung Permai yang menolak secara mentah-mentah kehadiran perusahaan pertambangan batu bara. Camat langsung beraksi dan mengajak Masyarakat Adat untuk bersumpah atas pernyataan mereka. Dia mengatakan: ”Apakah Masyarakat Adat berani bersumpah atas penolakan tersebut?”. Masyarakat adat secara serentak mengatakan berani. ”Apakah Masyarakat Adat berani berhadapan dengan Bupati?”, kata Camat lagi. Masyarakat adat mengatakan lagi: ”Jangankan berhadapan dengan Bupati, berhadapan dengan Presiden, Guburner kami tidak takut”.

Lain lagi pernyataan manajer perusahaan pertambangan atas sikap dan pernyataan Masyarakat Adat yang menolak kehadiran pertambangan batu bara. Menejer perusahaan hanya memberikan pandangan, bahwa kehadiran perusahaan akan memberikan lapangan kerja bagi masyarakat, memberikan fasilitas dalam bentuk bina desa, membuka akses jalan tembus dari jalan raya ke dusun-dusun lainnya, dapat meningkatkan perekonomian masyarakat, mudah mendapatkan uang banyak sehingga bisa membeli motor dan mobil. Jadi manajernya lebih kepada promosi yang bagus-bagus saja apabila perusahaan pertambangan jadi beroperasi di wilayah milik Masyarakat Adat. Dan tidak ada dari rombongan tim survey yang mengatakan hal-hal jelek apabila suatu perusahaan beroperasi di wilayah Masyarakat Adat.

Menurut warga Dusun Gurung Permai, promosi seperti ini sudah basi sering disampaikan oleh banyak perusahaan yang hanya ingin memperkaya diri sendiri. ”Mana mungkin perusahaan seperti pertambangan batu bara mau rugi hanya karena memenuhi permintaan masyarakat adat”, celetuk seorang warga lainnya. Oleh sebab itu beberapa perusahaan yang pernah masuk ke wilayah adat ini tidak pernah menempati janjinya, seperti ada uang bina desa, perbaikan jalan, membuat rumah adat, memperbaiki rumah ibadat dan sebagainya. Apabila perusahaan sudah untung dengan mengeruk semua sumber daya alam milik Masyarakat Adat maka pasti mereka tidak peduli lagi dengan Masyarakat Adat setempat. Dan konflik-konflik yang terjadi antara Masyarakat Adat dengan perusahaan juga berakar dari tidak dipenuhinya janji-jani yang pernah dilontarkan pada waktu ingin masuk ke wilayah milik Masyarakat Adat.

Atas pernyataan Camat Serawai dan manajer perusahaan yang menurut mereka tidak memuaskan di atas, kaum perempuan adat beraksi dan marah. Mereka langsung mengusir rombongan tim survey batu bara untuk segera angkat kaki dari dusun mereka. Pengusiran terhadap para pejabat pemerintah dan perusahaan oleh kaum perempuan adat di pedalam Kalbar merupakan hal baru bagi kita semua. Ini membuktikan bahwa kelompok perempuan adat juga sangat peduli dengan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam lainnya. Jadi persoalan memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak Masyarakat Adat bukan persoalan kaum laki-laki saja. Karena kalau sumber daya alam yang merupakan sumber penghidupan Masyarakat Adat habis, maka yang lebih merasakan sakit adalah kaum perempuan adat. Karena mereka tidak bisa lagi membuat berbagai jenis kerajinan tangan, mereka sulit mencari air bersih baik untuk di minum maupun untuk mandi dan mencuci. Sebenarnya bukan hal baru bagi para perusahaan dan pemerintah bahwa masyarakat adat di wilayah ini menolak berbagai jenis perusahaan yang ingin masuk. Masyarakat adat sudah memperingatkan kepada pemerintahan Kecamatan, Kabupaten bahkan sampai ke Menteri agar jangan lagi menghadirkan perusahaan di wilayah adat mereka. Peringatan seperti ini masyarakat adat buat dalam bentuk surat pernyataan penolakan yang dibubuhi cap jempol atau tanda tangan warga masyarakat adat.

Minggu, 19 Oktober 2008

Hukum Adat Bagi Perusahaan Pertambangan Batu Bara


Pelajaran Penting Bagi Perusahaan yang Ingin Beroperasi
di Wilayah Masyarakat Ada
t

Ini yang kedua kalinya Masyarakat Adat Limbai menghukum adat Perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan. Hanya yang berbeda adalah tempat dan nama perusahaannya. Kali Masyarakat Adat Limbai Ketemenggungan Siyai yang mengambil tindakkan dengan menghukum adat sebuah perusahaan pertambangan yang bernama PT. GMT Servisces sebesar Rp. 8.200.000,- (Delapan Juta Dua Ratus Ribu Rupian). Adat yang dikenakan adalah adat salah basa, adat kesupan kampung, adat kesupan temenggung. Namun belum ada secara rinci mengenai jumlah masing-masing adat.

Penghukuman Adat oleh Masyarakat Adat Limbai Ketemenggungan Siyai berawal dari dikeluarkaannya surat pemberitahuan oleh Camat Menukung kepada Kepala Desa Belaban Ella. Keluarnya surat pemberitahuan didasari adanya Surat Tugas yang dikeluarkan oleh PT. GMT Services dengan nomor: 010/ST-SR&MRM/VII/2008.RM, pada tanggal 14 Juli 2008 tentang Penyelidikan Wilayah dan Pemetaan (Mapping) di Daerah Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi dalam Konsesi PT. Sindo Resources dan PT. Melawi Rimba Minerals. Dari surat tugas tersebut, ada 4 orang yang ditunjuk untuk melakukan survey batu bara, yaitu: 1). Arief Syafrul Hakim; 2). Hendry Kusumoyudho; 3). Imam Munandar; dan 4). Standy A. Paat. Inti dari surat tersebut adalah memberitahukan kepada Kepala Desa bahwa akan ada tim survey batu bara yang melakukan penyelidikan wilayah dan pemetaan di daerah Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi. Sehubungan dengan surat tersebut diminta kepada Kepala Desa agar membantu kelancaran tim survey di wilayah kedesaan Belaban Ella, kemudian Kepala Desa diminta agar memberitahukan juga kepada warga masyarakat tentang kegiatan tim survey batu bara tersebut. Ternyata surat yang dikirimkan oleh Camat Menukung, tidak diumumkan oleh Kepala Desa kepada warga masyarakatnya.

Pada tanggal 4 Agustus 2008, ada orang warga Kampung Sungkup yang sedang pergi ke ladang bertemu dengan tim survey batu bara. Ternyata tim survey juga dibantu oleh beberapa orang warga masyarakat dari kampung lainnya sebagai penunjuk jalan. Warga masyarakat Sungkup yang bertemu dengan tim survey tersebut bertanya: ”mau kemana kalian?”. Dijawab oleh mereka: ”kami mau memancing ikan”. Mendengar jawaban dari tim survey, warga Sungkup langsung pulang dan memberitahukan kepada warga masyarakat adat yang lainnya bahwa ada orang yang melakukan survey batu bara ke wilayah mereka. Mendengar berita tersebut beberapa orang warga masyarakat adat menyusul dan mendatangi tim survey. Setelah ketemu, langsung dibawa ke kampung Sungkup untuk bermusyawarah. Setelah dilakukan musyawarah, masyarakat adat meminta agar tim survey memenuhi tuntutan adat, karena melakukan survey tanpa pemberitahuan sebelumnya. Adat yang dikenakan adalah adat salah basa. Atas tuntutan adat, pihak tim survey meminta waktu untuk memenuhi tuntutan adatnya. Permintaan penangguhan waktu dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada tim melakukan konsultasi dan koordinasi dengan pimpinan perusahaan.

Berdasarkan surat kesapakatan yang di buat di Desa Siyai pada tanggal 6 Agustus 2008 antara Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai dan Tim Survey bahwa akan ada pertemuan lanjutan untuk penyelesaian tuntutan adat pada tanggal 9 Agustus 2008. Kesepakatan ini sendiri di buat setelah ada pertemuan yang dihadiri oleh pihak Muspika (Camat, Dan ramil, dan Kapolsek) Kecamatan Menukung. Namun kesepakatan ini tidak dilaksanakan oleh tim survey. Akhirnya realisasi pemenuhan tuntutan adat dilaksanakan pada tanggal 4 September 2008 di Kampung Sungkup. Pada saat pemenuhan hukum adat dilaksanakan upacara adat. Upacara adat dimaksudkan agar tidak ada lagi tuntutan dari pihak manapun atas kasus yang sudah terjadi. Selain itu dilakukan upacara adat sumpah yang dimaksudkan agar pihak-pihak luar tidak sewenang-sewenang memasuki wilayah adat. Harus ada pemberitahuan dan musyawarah dulu dengan masyarakat adat sebagai pemilih wilayah apabila ingin masuk ke wilayah adat mereka.

Kasus ini menggambarkan bahwa tidak ada koordinasi antara para pengusaha, pemerintah. Pemerintah menganggap bahwa semua tanah beserta isinya adalah milik negara yang dapat digunakan untuk apa saja tanpa memperhatikan hak-hak Masyarakat Adat setempat. Dan kasus ini sebenarnya dapat menjadi pelajaran bagi Pemda Melawi, karena ini yang kedua kalinya Masyarakat Adat Limbai di Menukung menghukum adat perusahaan pertambangan batu bara. Seharusnya Pemda bersama Perusahaan jera donk.........

Jumat, 22 Agustus 2008

Pengadilan Yang Tidak Adil

Catatan Atas Putusan PN Sintang terhadap Kasus Masyarakat Adat Sungkup Vs TN BR-BB

Keadilan tidak datang dari Pengadilan

Keadilan tidak seperti buah Durian

Ternyata Keadilan harus Direbut.

Ungkapan tersebut mungkin cocok bagi Pori dan Toro warga Masyarakat Adat Sungkup yang rela mendekam di penjara selam 7 bulan dan denda 50 juta masing-masing orang gara-gara mempertahankan wilayah adatnya dari klim sepihak oleh Taman Nasional Bukit Raya - Bukit Baka (TN BR-BB). Putusan Pengadilan Negeri Sintang yang dibacakan Hakim Ketua tanggal 26 Juni 2008 menjatuhkan keduanya bersalah dan terbukti membuka lahan untuk berladang di dalam areal TN BR-BB. Sehingga mereka berdua harus menjalankan hidupnya sebagai orang tahanan. Putusan lebih ringan bila dibandingkan dengan tuntutan Jaksa selama 3 tahun penjara, dikurangi masa menjalankan tahanan.

Putusan hakim tersebut cukup mengejutkan kedua tersangka. Karena berdasarkan salinan putusan yang diterima oleh kedua tersangka tersebut, setelah dicek-cross ternyata jauh berbeda dengan keterangan yang pernah disampaikan di persidangan Pengadilan. Seharusnya hakim mampu memberikan pertimbangan yang adil bagi keduanya. Karena apa yang dituntutkan Jaksa tidak sesuai dengan realita yang terjadi di lapangan. Ada beberapa penyataan di salinan putusan nampaknya ”dimanupulasi” oleh hakim. Contoh: ”dari beberapa keterangan yang disampaikan oleh saksi, terutama saksi yang memberatkan, tersangka selalu membenarkan pernyataan saksi tersebut”. Pada hal selama dalam proses persidangan kedua tesangka mengatakan keberatan atas saksi yang menurut mereka tidak benar. Menurut pengacara kedua terdakwa bahwa putusan hakim atas kedua tersangka mengada-ngada. Dan salinan putusan tidak sesuai dengan hasil pemeriksaan selama proses persidangan di pengadilan.

Seperti diketahui sebelumnya kasus ini bermula dari ditetapkannya Bukit Raya – Bukit Baka pada tahun 1987 sebagai Cagar Alam oleh Pemerintah dengan luas 70.500 ha. Dengan adanya penetapan tersebut otomatis telah membatasi akses Masyarakat Adat Sungkup terhadap hak-haknya atas tanah, hutan (kayu), rotan, bahkan untuk berladang tidak bisa. Pada tahun tersebut dilakukan perintisan batas wilayah Cagar Alam dengan wilayah Masyarakat Adat Sungkup yang melibatkan 31 orang warga Masyarakat Adat Sungkup. Pada tahun 1992 Cagar Alam BR-BK berubah status menjadi Taman Nasional Bukit Raya – Bukit Baka (TN BR-BK) dengan dikeluarkannya SK Menhut No. 281/Kpts-II/1992, tanggal 26-2-1992 luasan 181.090 Ha. Perubahan status dan penambahan luas TN BR – BK semakin mempersempit akses Masyarakat Adat Sungkup atas hak-haknya. Kondisi ini diperparah lagi dengan beroperasinya perusahaan HPH yang membuka jalan lewat wilayah adat mereka.

Konflik memuncak antara Masyarakat Adat Sungkup dengan TN BR-BK pada bulan Agustus 2007, dimana ada 5 orang warga Masyarakat Adat Sungkup yang membuka lahan untuk berladang dibekas ladang tahun lalu dipanggil oleh Polres Melawi. Pemanggilan ini atas laporan dari TN BR-BK yang menuduh ke 5 orang tersebut telah membuka lahan untuk berladang di wilayah Taman Nasional. Atas panggilan tersebut, mereka tidak datang, karena mereka merasa itu adalah wilayah adat mereka dan ini dibenarkan oleh orang-orang tua yang puluhan tahun hidup di situ. Pembenaran ini juga didukung oleh warga lainnya yang terlibat langsung dalam penetapan batas pada tahun 1987. Merasa panggilannya tidak digubris, akhirnya beberapa polisi dari Polres Melawi turun ke kampung dan langsung menangkap paksa warga Sungkup. Salah satu orang yang dibawa paksa adalah Toro pada tanggal 16 Agustus 2007 satu hari menjelang hari Kemerdekaan Indonesia. Toro di ciduk di pondok ladangnya. Selang beberapa bulan (September 2007) adalah Pori juga dipaksa harus meringguk di sel Polres Melawi. Padahal Pori dipanggil hanya sebagai saksi saja. Karena yang ikut membuka lahan untuk berladang adalah istrinya Pori.

Dilihat dari proses awal terjadinya kasus ini, banyak hal yang tidak beres. Proses penangkapan sendiri tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku, saksi-saksi yang dihadirkan oleh Jaksa banyak yang tidak memahami kasus. Dengan bukti dan berdasarkan pemeriksaan di pengadilan, seandainya hakim punya hati nurani dan itikat yang baik maka Toro dan Pori akan bebas dari jeratan hukum. Itu baru hakim yang menegakan keadilan, tapi apa yang terjadi atas kasus ini, ternyata hakim tetap memutuskan bersalah bagi kedua tersangka yang selama ini menginginkan keadilan melalui hukum formal. Ternyata untuk mendapatkan keadilan melalui hukum formal (Pengadilan) sangat "mahal harganya" bagi Masyarakat Adat yang tidak punya duit.

Berdasarkan catatan kami, kasus-kasus Masyarakat Adat yang berkonflik dengan pihak perusahaan ataupun dengan pemerintah yang diproses di pengadilan, Masyarakat Adat tidak pernah dimenangkan. Sebut saja dibeberapa daerah lainnya di Kalbar, seperti kasus Masyarakat Adat Nyayat di Tebas yang berkonflik dengan Perusahaan Sawit. Tiga orang warga Nyayat harus rela tinggal di Rutan Singkawang setelah hakim memutuskan mereka bersalah karena melakukan perusakan dan pembakaran. Masyarakat Adat Sekadau juga harus menginap di Tahanan Polres Sanggau karena dituduh merusak kebun sawit. Padahal perusahaan sengaja menanam sawit di ladangnya yang masih ada padi. Ke 4 (empat) kasus di atas sudah cukup menggambarkan bahwa pengadilan itu bukan tempat untuk mencari keadilan. Ternyata keadilan itu harus direbut dan diperjuangkan. S e l a m a t Berjuang MA -ku.....!!! Keadilan masih jauh dari MA...!!!

Rabu, 20 Agustus 2008

Musyawarah Adat I Masyarakat Adat Nanga. Pari


"Merumuskan Langkah-Langkah Strategis Dalam Menyikapi Masuknya Perusahaan Sawit ke Wilayah Adat".

Pada Pagi Jumat, 08 Agustus 2008, pada pukul 08’00 tepat, sekitar 300-an orang berdatangan dari berbagai kampung dan suku menuju Gedung Gereja Katolik yang terletak di Nanga Pari. Nanga Pari adalah sebuah ibu kota kedesaaan, Kecamatan Sepauk, Kabupaten Sintang. Kedatangan massa dari berbagai kampung dan sukut tersebut bukan untuk berunjuk/berdemo rasa karena “tidak mendapat jadah BLT/subsidi BBM dari Pemerintah, tapi untuk berkumpul bersama memabahas masalah/persoalan yang selama ini selalu menghantui mereka. Kedatangan mereka juga bukan atas paksaan dari pihak-pihak lain, melainkan atas kesadaran sendiri karena ada rasa kebersamaan dalam memecahkan masalah atau persoalan yang ada. Tidak hanya laki-laki dewasa saja yang datang, tetapi juga kaum perempuan, baik dewasa maupun anak-anak juga tidak ketinggalan untuk menghadiri pertemuan besar.

Pertemuan ini terselenggara atas prakarsa masyarakat adat sendiri, sehingga segala kebutuhan dalam memperlancar kegiatan semuanya merupakan hasil solidaritas warga masyarakat adat. Kesadaran ini muncul setelah masyarakat adat merasakan bahwa mereka selama ini dibohongi oleh pihak perusahaan yang sebelumnya pernah beroperasi di wilayah mereka. Seperti perusahaan PT. Kayu Lapis dan perusahaan lainnya yang secara "membabi-buta" membabat kayu di hutan mereka. Sedangkan kehidupan masyarakat adat tetap seperti biasanya alias tidak ada kemajuan, yang mereka dapatkan cuma kemiskinan, adat istiadat dan hukum adat yang hampir tidak dihargai oleh warga mereka sendiri. Selain itu yang menyedihkan adalah hutan (kayu) habis dan sumber-sumber penghidupan lainnya susah didapatkan lagi.

Ada beberapa persoalan yang sangat urgent untuk dibahas dalam Musdat I ini, yaitu: - wilayah adat mereka yang sudah dipetakan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit atas ijin Bupati Sintang kala itu Simon Djalil. Sedangkan Masyarakat Adat sendiri tidak tahu-menahu bahwa wilayah mereka sudah dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit. Ternyata perusahaan yang ingin menguasai lahan mereka adalah PT. JKS (Jake Sarana). Sebelumnya tidak pernah ada sosialisasi dengan Masyarakat Adat sebagai pemilik sahnya wilayah tersebut, baik itu oleh Pemda sendiri maupun oleh pihak perusahaan. Merasa wilayah adatnya akan dijadikan lahan perkebunan sawit, Masyarakat Adat merasa sudah dikianati, bahkan tidak menghargai aturan yang ada pada masyarakat.

Menanggapi akan masuknya perusahaan sawit tersebut berbagai komentar warga masyarakat adat di wilayah tersebut, ada pro (setuju), ada kontra (tidak setuju) dan ada yang ‘abu-abu alias tidak ada pendapat’. Melihat kondisi dan situasi yang berkembang tersebut, beberapa warga Masyarakat Adat mengambil inisiatif untuk melakukan diskusi bersama. Diskusi ini dilakukan untuk meminta pendapat dari warga Masyarakat Adat apa yang harus dilakukan untuk menyikapi persoalan tersebut. Dari diskusi ini, mereka sepakat untuk mengadakan Musyawarah Adat (Musdat). Masyarakat menyebutnya Musyawarah Adat I (Musdat I).

Dalam Musdat ini, dilakukan seminar dan lokakarya. Narasumber yang hadir dalam Musdat adalah para NGO, seperti WALHI Kalbar, LBBT, ID, AMAN Kalbar, ELPAGAR, CU Keling Kuman, Pemda Sintang (Kec. Sepauk), dan kaum Intelektual yang berasal dari wilayah Pari dan sekitarnya. Untuk memandu acara seminar adalah Pastor Miau yang juga berasal dari daerah tersebut. Seminar dimaksudkan untuk memberikan gambaran kepada peserta mengenai dampak buruknya apabila perusahaan sawit masuk dan mengambil tanah, hutan di wilayah adat. Selain itu untuk memberikan beberapa aturan hukum nasional yang dapat digunakan masyarakat adat dalam membela hak-haknya atas tanah dan wilayah adatnya.

Pada hari berikutnya (9 – 10 Agustus 2008) dilakukan lokakarya yang fasilitasi oleh Shaban dari Walhi Kalbar. Lokakarya ini dimaksudkan untuk menindak-lanjuti hasil dari seminar, sekaligus menentukan langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan oleh Masyarakat Adat dalam menyikapi dan mengamankan wilayah adat yang sudah mulai teracancam tersebut. Acara lokakarya dimulai dengan memaparkan point-point hasil seminar, kemudian dilanjutkan dengan diskusi kelompok untuk membahas lebih detiel dari point-point seminar tersebut. Yang manarik dari hasil lokakarya dan patut didukung oleh kita semua adalah Masyarakat Adat peserta sepakat untuk menolak perusahaan skala besar dan monukultur yang ingin masuk dan mengambil lahan, tanah, hutan dan sumber-sumber penghidupan mereka. Penolakan ini dituangkan dalam sebuah Surat Pernyataan Sikap yang ditandatangani oleh seluruh warga masyarakat adat. Surat Pernyataan ini ke Bupati Sintan, Perusahaan PT. JKS dan instansi terkait lainnya.

Jumat, 18 Juli 2008

Pelatihan Gender bagi Kelompok Perempuan

Memahami Keseimbangan Peran (Laki-laki dan Perempuan)

Pelatihan gender sangat penting bagi kelompok perempuan adat yang berada di pedalaman Kalimantan Barat. Seperti yang dilakukan di Desa Pisak, Kecamatan Tujuh Belas, Kabupaten Bengkayang.

Pelatihan ini dimaksudkan agar kaum perempuan memahami dan mengerti keseimbangan hak, peran antara laki-laki dan perempuan. Dengan memahami dan mengerti atas hak, perannya maka perempuan dapat berbuat sesuatu bagi kaumnya yang tertindas.

Kegiatan ini dilaksanakan atas prakarsa kelompok perempuan yang berada di Desa Pisak. Mereka menginginkan adanya kerjasama antara mereka dan kaum laki-laki dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, khususnya kaum perempuan yang tertindas.

Selasa, 15 Juli 2008

Upacara Adat Penancapan Tata Batas Wilayah

Cara Masyarakat Adat Mengamakan Wilayah Adatnya

Salah satu cara menghindari konflik tata batas, Masyarakat Adat Dayak Punan Uheng Kereho di Kampung Nanga Enap dan Dayak Taman di Lunsa Hulu sepakat untuk menentukan tata batas wilayah adat.

Penentuan tata batas wilayah adat ini, terlebih dahulu dilakukan musyawarah adat yang melibatkan para tokoh masyarakat adat dari kedua suku tersebut. Dari hasil musyawarah maka disepakati untuk membuat tata batas wilayah adat dengan menancapkan kayu belian (besi) sebagai tanda batas tersebut.

Sebelum dilakukan penancapan tiang batas, maka dilakukan upacara adat. Upacara adat dimaksudkan agar segala sesuatu yang sudah disepakati tidak lagi dilanggar oleh kedua belah pihak. Apabila terjadi pelanggaran maka dikenakan sanksi sesuai dengan aturan adat yang berlaku di wilayah tersebut.

Kamis, 10 Juli 2008

Pertemuan Orang Muda Katolik Se-Paroki Ambalau

"Menjadi Kaum Muda Katolik Yang Atif, Kreatif, Inovatif dan Peka akan Sesama dan Lingkungan Hidup".

Pertemuan yang dihadiri oleh 190-an anak muda katolik se-Paroki Ambalau ingin mengajak anak muda khususnya anak muda katolik agar memahami dan sadar akan hak-hak masyarakat adat atas lingkungan hidup. Pertemuan ini sendiri diprakarsa oleh Pastoral Ambalau (Pastor Silver) bekerja sama dengan masyarakat adat Ambalau. Pertemuan dilaksanakan pada tanggal 7 - 13 Juli 2008.

Issu yang dibahas dalam pertemuan adalah dampak dari masuknya perusahaan perkebunan dan pertambangan di wilayah masyarakat adat. Issu ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat adat, khususnya kaum muda katolik karena di daerah tersebut terjadi pro dan kontra terhadap akan masuknya suatu perusahaan (terutama sawit). Situasi ini didasarkan dari hasil pertemuan di mana beberapa kaum muda mempertanyakan kejelasan mengenai dampak kalau perusahaan sawit masuk ke wilayah mereka. Terjadinya pro dan kontra menurut mereka karena masyarakat adat tidak diberi informasi yang jelas dari pihak pemerintah atau pihak perusahaan mengenai dampak negatif dari perkebunan sawit. Masyarakat adat hanya mendapat informasi sekilas saja dari pihak perusahaan yang melakukan sosialisasi mengenai perkebunan sawit. Informasi yang diberikan lebih banyak bersifat menguntungkan saja, seperti akan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat adat setempat, menyediakan sarana (rumah ibadat, sekolah dan jalan), perusahaan akan mengganti rugi tanah dan tanam-tumbuh masyarakat adat yang terkena lahan sawit, masyarakat adat akan mendapat kapling plasma bagi yang menyerahkan tanahnya.

Untuk memberikan beberapa informasi mengenai dampak sebenarnya perkebunan sawit bagi kelangsungan hidup masyarakat adat, panita pertemuan mengundang beberapa narasumber yaitu WALHI Kalbar, LBBT, PMKRI Sintang, Pemuda Katolik Sintang, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat Sintang. Walhi Kalbar lebih banyak bercerita mengenai dampak lingkungan hidup apabila perkebunan sawit masuk. Selain itu Walhi juga memberikan gambaran peta wilayah yang akan dijadikan perusahaan untuk perkebunan sawit, khususnya di daerah Serawai dan Ambalau Kab. Sintang. Menurut Walhi dampak yang akan terjadi yang pasti kekeringan, tanah longsor, dan yang paling menyedihkan adalah masyarakat adat tidak memiliki akses dan mata pencarian lagi seperti yang dilakukan selama ini.

LBBT sendiri berbicara mengenai Kedudukan Masyarakat Adat di dalam Hukum Nasional. Selain itu juga membahas mengenai kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam. Intinya secara hukum nasional Masyarakat adat beserta hak-haknya memang diakui. Yang menjadi persoalan bagi Masyarakat adat adalah ketidak konsistenan hukum dalam mengakui hak-hak Masyarakat adat.

Jumat, 20 Juni 2008

Hutan Dibabat Rakyat Melarat

Masyarakat Adat Limbai Menolak Kehadiran Perusahaan HPH

Beginilah proses penghancuran hutan milik masyarakat adat dengan menggunakan alat-alat berat yang berteknologi sangat canggih. Alat ini sangat ampuh mencabut hutan-hutan primer di alam masyarakat adat. Dengan alat ini dapat menghabiskan kayu di tanah masyarakat adat puluhan hektar per-jamnya.

Situasi inilah yang dialami oleh beberapa kampung di pedalaman Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang. Salah satunya adalah Masyarakat Adat Limbai yang bermukim di Kampung Nusa Bakti, Kecamatan Serawai. Karena mereka menolak salah satu perusahaan yang bergerak di bidang HPH masuk di wilayah adatnya, maka perusahaan langsung mendirikan camp dan mendatangkan alat-alat berat (seperti gambar di atas). Perusahaan ini masuk pada tahun 2006, tanpa ada sosialisasi terlebih dahulu. Areal yang akan dimanfaatkan perusahaan merupakan areal hutan yang selama ini menjadi sumber pengahasilan masyarakat adat.

Berdasarkan informasi dari masyarakat adat bahwa perusahaan ini belum mendapat ijin resmi dari Menteri Kehutanan. Perusahaan hanya baru mendapat ijin rekomendasi dari Bupati Sintang dengan Nomor 168 Tahun 2001 tanggal 23 Desember 2001. Ini rekomendasi ini memberikan areal kelolanya di Sungai Serawai, artiny bukan di wilayah Kampung Nusa Bakti. Hal inilah yang menjadi alasan masyarakat adat Nusa Bakti menolak keberadaan perusahaan tersebut. Selain itu masyarakat adat tidak mau wilayah mereka, khususnya hutan (kayu) adat habis. Karena wilayah tersebut adalah sumber penghidupan mereka

Menanggapi masuknya perusahaan, masyarakat adat melakukan musyawarah adat antar kampung. Hasil musyawarah masyarakat adat sepakat untuk membuat surat pernyataan sikap untuk menolak perusahaan tersebut. Surat penolakan masyarakat adat yang dibuat pada tanggal 2 April 2007 tujukan kepada perusahaan, dengan tembusannya Camat Serawai, Kapolsek Serawai, Bupati Sintang, Kapolres Sintang, Dinas Kehutanan Sintang, Gubernur Kalbar, Dinas Kehutanan Propinsi, Kapolda Kalbar, Menteri Kehutanan dan Presiden Republik Indonesia. Tujuannya agar perusahaan menghentikan aktivitas pengkliman wilayah, dan agar Menteri Kehutanan tidak memberikan ijin kepada perusahaan tersebut.

Selamatkan Lingkungan Hidup

Aksi Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Ketapang, Kalbar

Massa Datangi Kantor Bupati dan Parlemen

Tolak EkspansiPerkebunan Sawit, Tuntut Pengembangan Kebun Karet

Ketapang,- Setelah menyampaikan aspirasi di depan Dinas Perkebunan Kabupaten Ketapang, massa Forum Perimakng Hutan Tanah A’ek (FPHTA) yang melakukan aksi damai memperingati Hari Lingkungan Hidup se-Dunia (5/6), kemudian melanjutkan long march ke Kantor Bupati Ketapang. Mereka sampai ditempat ini sekitar pukul 09.30 WIB.

Kedatangan mereka itu dikawal puluhan anggota Polres Ketapan dan Sat Pol PP. Ratusan massa yang datang membawa poster dan spanduk, bahkan bibit karet. Yel-yel perjuangan mereka nyanyian. Aspirasi mereka suarakan melalui megaphone. Bendera merah putih yang dibawa dikibar-kibarkan, poster dan famplet diperlihatkan berikut spanduk yang menyuarakan “Stop Perusakan Hutan”. Dari koordinator lapangan aksi damai itu, mereka menyebutkan kedatangan mereka sebagai masyarakat ingin bertemu dengan Bupati dan Wakil Bupati, untuk menghadapi penyampaian aspirasi mereka itu.

Tampil sebagai penyampai aspirasi ketika itu adalah Aloysius Sujarni Sekjen AMA Kalbar. “Saya tak akan bicara kalau tak ada yang menghadapi. Kami datang dengan damai, tidak dengan anarkis, kami ingin bicara dengan bupati,” kata Drs Sujarni Alloy MA, Sekjend AMA Kalbar.

Dalam orasinya di depan tangga Kantor Bupati Ketapang, dia menyebutkan masyarakat adat adalah korban kebijakan. Tak sedikit tanah adat tergusur, kuburan tergusur akibat ekspansi perkebunan. Keinginan pengembangan perkebunan karet juga disuarakan di tempat ini. Mereka menyebutkan masyarakat sudah sejahtera dengan karet.

Sehubungan Bupati dan Wakil Bupati Ketapang tak berada di tempat, dialog tersebut dihadiri Sekda Ketapang Drs H Bachtiar. Di depan sekda, mereka menyampaikan kondisi kerusakan lingkungan yang terjadi di Marau, Tumbang Titi dan lain sebagainya. Setelah menyampaikan uneg-unegnya, mereka menginginkan sekda atas nama Pemkab Ketapang menandatangani komitment untuk menindaklanjuti tuntutan mereka. Karena menyangkut kebijakan, maka Bachtiar menerangkan yang berwenang dalam kebijakan politis adalah bupati dan wakil bupati. “Sekda adalah jabatan pegawai negeri sipil. Sekda hanya membantu penyelenggaraan pemerintahan,” terang Bachtiar. Tak lama setelah tatap muka dengan sekda di halaman kantor bupati, mereka kemudian long march ke DPRD Ketapang. Sampai di tempat ini sekitar jam 11.00 WIB.

Tak lama setelah menyampaikan orasi di depan halaman kantor DPRD Ketapang, kemudian mereka dialog di ruang utama DPRD. Dialog itu dipimpin Ketua DPRD Ketapang H.Kadarisman Bersah, dan Wakil Ketua Yohanes Suparjiman, serta beberapa anggota Dewan.

Selain pernyataan sikap, berbagai kondisi di lapangan dibeberapa kecamatan juga mereka paparkan dari perwakilan masyarakat yang hadir. Baik perkebunan, pertambangan, maupun illegal logging mereka suarakan saat itu. Bagaimana kondisi di Simpang Hulu, Simpang Dua, Nanga Tayap, Tumbang Titi, Marau, Air Upas dan lain diungkapkan dalam pertemuan itu. Dialog sempat diwarnai debat.

Pertemuan itu berlangsung sampai pukul 13.30 WIB. Akhirnya dari pertemuan tersebut, ketua DPRD Kadarisman Bersah menyampaikan dari pertemuan terbatas, DPRD tetap komitment untuk menindaklanjuti aspirasi masyarakat. (ndi)

Bumi Untuk Kehidupan yang Bermartabat

Bumi Untuk Kehidupan yang Bermartabat

Korupsi, kekerasan, penangkapan, perampasan, penindasan, penggusuran terhadap hak-hak rakyat oleh para penguasa republik ini masih tetap berlangsung hingga sekarang. Tempat tinggal, tanah dan kekayaan alamnya yang merupakan sumber penghidupan masyarakat semakin hari semakin hilang. Sumber penghidupan yang hilang bukan karena dimanfaatkan oleh rakyat itu sendiri, tapi dijadikan lahan sawit, HPH, pertambangan, HTI dan usaha lainnya untuk kepentingan penguasa dan pengusaha. Harga minyak naik, kebutuhan pokok apa lagi yang pada akhirnya membuat rakyatt semakin miskin, terjadinya gizi buruk, busung lapar. Hampir setiap hari kita mendengar terjadinya konflik antara masyarakat dengan perusahaan pemilik modal. Terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, rakyat ditembak secara membabi buta oleh oknum-oknum yang mengakui dirinya pelindung rakyat, polisi hutan, penjaga air dan sebagainya. Dimana keadilan bagi rakyat? Di mana Bumi untuk kehidupan yang bermartabat bar Rakyat?

Inilah salah satu topik yang hangat dibicarakan dalam pertemuan nasional lingkungan hidup X Walhi di Yogyakarta, 16 - 21 April 2008. Pertemuan ini merupakan forum tertinggi Walhi, karena semua anggota Walhi yang berada di tiap wilayah ikut serta dalam kegiatan ini. Pertemuan yang diselenggarakan setiap 3 tahun sekali, selain merefleksi atas kinerja dan program kerja, juga menjadi ajang pemilihan para fungsionaris Walhi yang baru. Pengurus Walhi yang terpilih diharapkan mampu melakukan perubahan sosial yang lebih baik bagi kehidupan rakyat di negeri tercinta indonesia.

Sebelum acara puncak dari PNLH X Walhi (19 - 21 April) dimulai, dilakukan berbagai rangkaian (paralel) kegiatan untuk memberikan gambaran kondisi lingkungan hidup baik secara lokal maupun nasional yang terjadi. Kegiatan-kegiatan tersebut antara: Seminar, Training dan Workshop yang diselenggarakan selama 3 hari. Selain memberikan gambaran kondisi lingkungan hidup yang terjadi, juga memotivasi anggota dan para pengurus Walhi ke depan dalam melakukan gerakan sosial demi terciptanya lingkungan hidup yang adil bagi rakyat.

Acara yang paling pokok dan ditunggu adalah pembahasan 3 agenda utama PNLH X Walhi dan pemilihan para fungsionaris Walhi baru. Untuk 3 agenda yang dibahas adalah menyangkut hal-hal yang mendukung fungsionaris baru dalam menjalankan rodanya Walhi, yaitu: - Pembahasan Organisasi (Statuta). Statuta merupakan pedoman bagai para anggota dan pengurus Walhi dalam melakukan gerakan; - Pembahasan Program Kerja (Renstra). Ini merupakan program kerja yang dimandatkan kepada para pengurus Walhi yang baru untuk melaksanakannya; dan - Pembahasan Rekomendasi, yaitu kegiatan-kegiatan yang sekiranya belum masuk pada Statuta dan Program kerja.

Sedangkan acara terakhir adalah pemilihan Dewan Nasional dan Eksekutif Nasional Walhi. Pada pemilihan ini terjadi proses demokrasi yang sebenarnya berlangsung. Sebelum dilakukan pemilihan, para calon diberi kesempatan untuk memaparkan visi, misinya sebagai bentuk komitmen untuk membangun gerakan Walhi yang solid ke depan. Selain itu untuk memperoleh suara terbanyak dilakukan loby, negosiasi dengan para anggota walhi di daerah-daerah. Tentunya loby, negosiasi yang saling menguntungkan.

Lokakarya Perempuan Adat

Membangun Gerakan Perempuan Adat dalam Memperjuangkan Hak-haknya

Sangat konpleksnya persoalan yang dihadapi oleh kaum perempuan adat di kampung-kampung. Persoalan perempuan semakin meningkat sejak dikeluarkannya berbagai kebijakan pemerintah yang sarat dengan kepentingan ekonomi semata. Ditambah dengan kebijakan yang berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam di tanah-tanah masyarakat adat. Dalam kondisi sumber daya alam yang sudah habis, maka otomatis kaum perempuan tidak lagi mendapatkan pekerjaan, seperti kegiatan anyam-mengayam, tidak ada lagi kegiatan gotong royong bagi kaum perempuan, yang parah lagi adalah perempuan selalu menjadi objek kawin kontrak. Kalau berbicara kebijakan pemerintah yang mengakomodir hak-hak perempuan sangat minim sekali. Sehingga kasus-kasus terhadap perempuan adat jarang sekali direspon cepat oleh pemerintah. Apalagi kasus-kasus terhadap kaum perempuan di kampung-kampung.

Kondisi ini yang mendorong LBBT untuk secara terus-menerus melakukan kegiatan penyadaran kepada kaum perempuan adat. Kegiatan penyadaran kepada kaum permpuan adat bertujuan agar kaum perempuan menyadari hak-haknya atas pengelolaan sumber daya alam dan kehidupan yang layak. Pada langkah awal biasaya LBBT training gender kepada kaum perempuan. Training gender dilakukan di kampung-kampung terpencil di Kalimantan Barat. Dari training ini, biasanya kaum perempuan mulai menyadari apa yang menjadi hak dan kewajibannya dan apa yang menjadi hak dan kewajiban kaum laki-laki.

Selain training gender, LBBT juga melakukan seminar dan lokakarya bagi kaum perempuan adat. Seminar dan lokakarya bertujuan untuk menyampaikan informasi-informasi bekernaan dengan hak-hak kaum perempuan adat serta untuk membangun sinergisitas gerakan kaum perempuan adat. Membangun sinergisitas gerakan kaum perempuan adat dimaksudkan agar para kaum perempuan adat memiliki rasa solidaritas dalam memperjuangkan hak-hak kaumnya yang terabaikan.

Mengelola Padang Ilalang Menjadi Pohon Karet

Pengalaman dari Masyarakat Adat Menukung

Kalau kita pernah melewati jalan darat atau pun pernah berjalan-jalan ke daerah Menukung, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, terutama di daerah-daerah pedalaman – Menukung Darat dan Menukung Jalur Kiri Mudik. Kurang lebih 1 – 3 Km atau 1/2 jam jalan kaki saja keluar dari Menukung Kota menuju ke kampung-kampung yang ada dipedalaman, seperti ke Kampung Laman Mumbung atau ke Kampung Bunyau dan kampung-kampung lainnya, kita akan dihadapkan pada luasnya hamparan padang ilalang. Kita semakin bingung, kalau kita ingat bahwa masyarakat adat, khususnya Dayak dalam memenuhi sumber penghidupannya sehari-hari mengutamakan ladang ilir-balik yang dilakukan hampir setiap tahunya. Bagaimana cara masyarakat adat membuat ladang ilir balik tersebut? Apakah mereka berladang di hamparan padang ilalang? Ataukah mereka tidak berladang lagi dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari?

Pertanyaan ini membuat kita semakin penasaran untuk mengetahui lebih jauh dari mana masyarakat adat dalam mengelola pada ilalang. Menurut cerita masyarakat adat disini, dulunya wilayah ini merupakan hutan rimba dengan tanah yang subur, terutama untuk berladang dan bercocok tanam. Karena perkembangan zaman yang semakin hari semakin berubah, ditambah lagi dengan masuknya berbagai aktivitas perusahaan skala besar dengan dalih “pembangunan bagi rakyat, menyiapkan lapangan kerja bagi rakyat” dengan cara mengambil isi alam, seperti kayu, tanah, dan batu bara. Setelah semuanya dibabat habis oleh perusahaan, masyarakat adat tetap saja miskin, mereka diberikan hamparan padang ilalang yang sangat luas. Yang terjadi adalah hutan rimba dengan tanah yang subur berubah dratis menjadi hamparan padang ilalang. Dengan adanya kondisi lahan seperti ini hampir setiap musim kemarau atau 4 hari saja tidak hujan pasti lahan ilalang akan terbakar. Kebakaran tidak hanya menghanguskan pohon ilalang tapi yang menyakitkan masyarakat adat adalah mengahanguskan kebun karet dan tanam tumbuh yang bernilai ekonomis milik mayarakat adat. Kondisi ini membuat mereka trauma untuk berkebun dan bercocok tanam.

Menyadari kondisi alam yang semakin hari semakin tandus, masyarakat adat mulai memikirkan bagaimana cara mengelola hamparan ilalang dan menjaganya dari api. Kalau menghandalkan hutan primer untuk berladang dan memenuhi kebutuhan hidup tidak memungkinkan lagi. Hal ini disebabkan selain lahan (hutan) yang sudah mulai kritis, juga memerlukan waktu yang cukup lama menuju ke wilayah hutan. Masyarakat adat mulai melakukan diskusi dan dialog dengan pihak-pihak yang memiliki pengalaman dalam mengelola lahan ilalang sehingga menjadi lahan yang bernilai ekonomis (produktif). Diskusi yang dibangun salah satunya dengan pihak paroki Menukung, pihak LSM dan pihak lainnya. Hasil dari diskusi tidak disia-siakan masyarakat adat. Mereka mulai mempraktekan apa yang mereka dapat dari diskusi dan pertemuan. Aktivitas utama yang mereka lakukan adalah membentuk kelompok royong. Kelompok ini dimaksudkan selain mempermudah cara mengerjakan lahan, juga dimaksudkan untuk secara bersama-sama menjaga lahan yang sudah di tanam dari lahapan si jago mereh (api). Tanaman yang ditanam adalah pohon karet. Selain itu masyarakat adat juga menanam-tanaman lain seperti berkebun sayur, menanam pohon tengkawang, belian dan lainnya dalam rangka menghijaukan lahan ilalang.

Kondis sekarang
Berkat ketekunan dan keuletan masyarakat adat, maka kini kondisi lahan yang dulunya penuh dengan hamparan padang ilalang hampir berubah totol menjadi pohon yang bernilai ekonomis. Tiap-tiap kepala keluarga masyarakat adat di Menukung sekarang memiliki tidak kurang 2 - 3 hektar. Masyarakat adat menyadari bahwa tidak bisa mereka hanya mengandalkan sumber ekonomi dari berhuma (ladang) bukit saja. Karena selain menyebabkan tumbuhnya ilalang juga karena tanah yang masih hutan lebat semakin berkurang. Kini lahan sudah hijau oleh pohon karen, pohon tengkawang, pohon buah-buahan lainnya. Selain dapat menambah sumber penghidupan, kegiatan ini juga dilakukan agar tanah menjadi subur. Dan tidak kalah penting adalah hasil kebun sayur-sayuran yang banyak dikelola oleh kaum perempuan sudah berhasil dan dijual ke pasar kota Menukung.

Masyarakat adat sekarang tinggal menunggu waktu kurang lebih 4 – 5 tahun lagi dapat memanfaatkan hasil dari berkebun karet. Apalagi sekarang harga karet semakin mahal. Tidak menutup kemungkinan masyarakat adat di daerah ini akan mengandalkan sumber penghidupannya dari pohon karet tersebut. Masyarakat adat di daerah ini mengusahakan bibit karet secara mandiri. Mereka dapat melakukan negosiasi dengan Pemda agar mendapat bibit karet. Mereka sangat menolah dengan program-program pembangunan yang mengutamakan kebun sawit dan perusahaan-perusahaan skala besar yang ingin mengusahakan tanah mereka.

Cerita dari PNLH X Walhi di Yoyakarta

Pertama Kali Menginjakkan Kaki di Kota Gudeg - Yogyakarta

Cerita Mengikuti Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup X Walhi di Yogyakarta.

Tepat pada tanggal 16 April 2008, pukul 15.10 pesawat Batavia dengan tujuan Pontianak – Jakarta – Yogyakarta yang membawa saya dan rombongan dari Pontianak menuju Yogyakarta mendarat di bandara Adi Sucipto. Sampai di bandara Adi Sucipto, sambil menunggu jemputan untuk melanjutkan perjalanan, saya dan kawan-kawan menyempatkan diri mencari makanan ringan (minum, roti) untuk mengganjal perut yang mulai kosong. Sambil menikmati secawan kopi, jus alpokat, dan roti di sebuah warung kecil, salah satu kawan saya mulai bercerita. ”ternyata enak juga ya kopi di Yogya (sebutan singkat Kota Yogyakarta) sambil dia mengisap sebatang rokok LA”, ”Pada hal saya juga baru pertama kali menginjak kota Yogya”, tambah dia lagi.

Tidak terasa sudah satu jam kami duduk di warung kopi, tiba-tiba ada panggilan dari para jemputan memberitahukan bahwa bus yang akan membawa kami ke tempat yang dituju sudah datang. Setelah minuman kami bayar, kami melanjutkan perjalanan kembali. Tidak kurang 30 orang yang menumpang kendaran tersebut, karena selain rombongan kami dari Pontianak ada juga rombongan kawan-kawan dari Aceh dan Sulawesi. Selama perjalanan ke tempat tujuan, banyak pemandangan yang dapat dinikmati, sehingga membuat saya terkagum-kagum dengan kota Yoyga. Yang cukup menarik adalah kebersihan jalan rayanya, ketertiban lalu lintas dan pegunungan yang mengelilingi kota gudek tersebut. Selama perjalanan ke tempat tujuan dengan menggunakan bus tidak ada saya melihat sampah atau truk sampah yang sedang mengangkut sampah. Para pengendara motor, mobil atau bus dengan tertib mengikuti jalur jalan yang sudah di tentukan.

Selama diperjalanan kami bercerita banyak, sehingga saya dan tema-teman mengidentifikasi beberapa hal mengenai kota Yogya, antara lain: makanan khasnya Gudek, disebut juga kota Pelajar karena banyak anak-anak dari luar kota Yogya yang menimba ilmu di kota ini, dan terkenal dengan Kota Rajanya. Sehingga kami sepakat kalau orang mengatakan ingin pergi ke kota Gudek atau kota Pelajar atau Kota Raja, orang sudah tahu bahwa itu adalah Kota Yogyakarta. Menurut cerita kawan-kawan, selain terkenal dengan sebagai kota yang di sebut di atas, kota ini sendiri memiliki banyak berbagai macam tempat rekreasi, tempat wisata.

Tidak terasa bus yang membawa kami tiba-tiba berhenti, kami pun berhenti becerita. Ternyata kami sudah sampai di tempat tujuan, yaitu di Pasar Seni dan Gabusan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarat. Perjalanan kami hanya ½ jam saja dari bandara Adi Sucipto ke Pasar seni dan Gabusan. Di tempat ini kami disambut para panitia pertemuan dan orang kampung yang ada di wilayah gabusan. Kami mengisi daftar hadir sebagai tanda bahwa kami sudah berada di tempat itu. Daftar ini juga digunakan panitia untuk membagi kami dalam beberapa tempat penginapan. Penginapan yang disediakan adalah di rumah-rumah warga kampung gabusan. Setelah sekian lama menunggu pembagian penginapan, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan andong (transportasi khas Yogya) untuk diantarkan ke tempat penginapan.

Saya dan 2 orang teman menginap di rumah Pak Harjono, biasa dipanggil Harjo saja dan Ibu Sudilah yang terletak di Jalan Parang Tritis, Kabupaten Bantul, Km 9,5 dari ibu kota Yogya. Pak Harjono adalah Kepala Dusun, sedangkan Ibunya (Ny. Sudilah) sebagai penyiar di RRI Yogyakarta. Wilayah ini terkenal dengan sebutan wilayah Pasar Seni dan Gabusan. Ternyata tuan rumahnya sangat baik dan ramah menyambut kedatangan kami. Kami disambut dengan seyum keramah-tamahan, seolah-olah tak ada beban bagi mereka walaupun telah tekena musibah gempa bumi. Bahkan tuan rumah langsung mempersilakan kami masuk, mandi, makan dan minum. Sebelumnya saya tidak membayangkan tuan rumah yang seramah itu. Saya membayangkan kedatangan kami ”jangan-jangan merepotkan tuan rumah”, karena sebelumnya saya sudah mendapat informasi sedikit bahwa di wilayah ini merupakan salah satu korban gempa bumi pada tahun 2005 silam. Selain tempat penginapan, rumah ini juga sebagai posko bagi peserta yang baru datang. Hampir tiap waktu, tiap saat pasti ada orang yang ingin bertanya mengenai kegiatan dan tempat tinggal bagi peserta lainnya yang baru datang di rumah ini. Otomatis rumah ini jarang kosong.

Pada malam harinya (tanggal 16/4/2008) kami melanjutkan cerita yang sempat terputus semasa masih di bus. Cerita kami bertambah asyik setelah tuan rumah nimbrung dalam bercerita tersebut. Nah, saya sudah mulai berpikir untuk menanyakan mengenai situasi yang ada di kota gudek. Bagaimana perasaan bapak dan ibu pasca gempa bumi dua tahun silam? Saya membuka pertanyaan awal untuk mulai bercerita.

Jawaban Pak Horjo dan Ibu: ”karena sudah cukup lama, maka rasa trauma hampir hilang. Apalagi setelah walhi memutuskan bahwa kampung ini menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan (maksudnya PNLH X). ”Sewaktu gempa rumah kami kebetulan kosong, jadi tidak ada korban, hanya atap, dinding rumah yang roboh. Coba adek-adek liat rumah ini belum sepenuhnya diperbaiki’, tambah ibu lagi sambil menunjukan bekas dinding yang roboh. ”Kami cukup beruntung, karena rumah kami tidak separah seperti rumah yang lainnya. Ada beberapa rumah warga di sekitar sini yang ambruk semua. Bahkan ada keluarga yang semuanya meninggal tertimpa atap dan beton rumah. Banyak pohon-pohon yang tiba-tiba roboh. Jalan raya seperti berkelok-kelok sehingga kalau mengendara motor atau mobil sulit untuk dikendalikan. Dan banyak para pengendara yang menabrak kayu dan batas jalan”, penjelasan Pak Harjono panjang lebar. Saya merasa sedih mendengarkan cerita tersebut, sehingga saya tidak melanjutkan pertanyaan yang lebih dalam karena saya tidak mau mereka menjadi trauma lagi mengingat kejadian tersebut. Untuk itu saya mengalihkan dengan bertanya: ”Bagaimana perasaan bapak dan ibu menjadi tuan rumah pertemuan Walhi ini?

Jawaban: ”kami merasa senang, karena dapat menjadi tuan rumah pertemuan Walhi ini. Dari sini kami dapat mengetahui lebih dekat mengenai kegiatan dan aktivitas yang dilakukan oleh Walhi. Jujur aja, sebelumnya saya tidak mengenal apa itu Walhi, apa kegiatan Walhi sebenarnya, baru ini saja saya mengenal adanya Walhi yang katanya peduli terhadap lingkungan dan korban bencana alam. Dengan adanya pertemuan seperti ini, apalagi kalau melibatkan masyarakat secara menyeluruh maka Walhi akan dikenal oleh masyarakat di mana-mana”, kata Pak Harjono. ”Saya sangat bersyukur dengan adanya pertemuan ini, karena saya dapat mengenal adek-adek yang jauh dari Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, Palangkaraya dan Samarinda). Sebelumnya saya tidak pernah bermimpi bisa ketemu dan kenalan dengan kalian semuanya. Mungkin ini hikmah yang diberikan oleh Tuhan kepada kami setelah adanya gempa bumi, sehingga kami bisa ketemu dengan orang-orang Kalimantan”, Ibu menambahkan bapak Harjo.

Untuk menambah asyiknya diskusi, kami bertanya mengenai tempat-tempat yang biasanya ramai dikunjungi tamu-tamu dari luar. Atau tempat-tempat rekreasi lainnya. ”Di sini banyak tempat rekreasi”, kata bapak Harjo. Salah satunya yang cukup tekenal adalah pantai parang tritis, tempat pelelangan ikan, pantai samas, candi brobudur. Pantai parang tritis merupakan pantai yang banyak menyimpan hal-hal misteri dan mistik. Di pantai inilah tempat tinggalnya Nyi Loro Kidul. Tidak mengherankan setiap malam Jumat Kiliwon pasti ada orang-orang baik dari kota Yogya sendiri maupun orang luar yang melakukan upacaya adat di pantai ini. Bahkan di pantai ini telah didirikan sebuah tempat khusus dan permanen oleh Pemda Yogya untuk melakukan upacara adat.

Pantai ini sendiri dianggap angker bagi orang Yogya, karena banyak kejadian-kejadian aneh yang sering terjadi menimpa para pengunjung. Menurut cerita Pak Harjo ”ombak di pantai dapat menyebabkan orang hilang. Dan kalau udah hilang sulit untuk ditemukan. Penyebabnya adalah ombak yang berkulung-gulung ternyata membawa pasir batu, sehingga kalau orang tena ombak, maka dia akan tertimpa oleh pasir batu tersebut”. Dulu pernah kejadian, kata Pak Harjo: ”sebuah bus pariwisata yang membawa rombongan wisata tenggelam dibawa ombak pasir batu. Makin lama, makin bus itu tertimbun oleh pasir batu yang dibawa oleh ombak”. Sehingga dia memberikan saran kepada kami. Kalau ingin ke pantai, jangan berenang di ombak dan jangan bicara yang macam-macam. Saya jadi takut bercampur penasaran mendengar cerita bapak tersebut. Dan banyak lagi tempat-tempat yang dianggap keramat oleh orang-orang Yogya. Saking asyiknya bercerita tidak terasa hari pun sudah larut malam, kami pun memutuskan menghentikan dulu pembicaraan. Akhirnya saya dan teman-teman meneruskan cerita kota gudek dalam mimpi masing-masing. Kami pun melangkahkan kaki menuju tempat pembaringan yang sudah disiapkan tuan rumah.

Tarian Adat Penyambut Tamu


Masyarakat adat Dayak Limbai memiliki tradisi tersendiri untuk menyambut tamu yang akan datang ke wilayah mereka. Salah satu tradisi yang sampai sekarang masih dilestarikan dan dipraktekan adalah tarian adat. Setiap ada pelaksanaan kegiatan yang melibatkan orang ramai dan mengundang tamu dari luar biasanya dilakukan upacara adat penyambutan tamu yang dimeriahkan dengan tarian adat.

Perempuan Dayak Iban Menenun

Menenun merupakan tradisi masyarakat adat. Biasanya kegiatan ini dilakukan untuk mengisi waktu luang, setelah pulang melakukan aktivitas sehari-hari. Seperti yang ada dalam gambar seorang ibu setengah baya Dayak Iban di Kampung Sei Utik, Kabupaten Kapuas Hulu sedang membuat kain tenun.

Kegiatan menenun hampir dilakukan oleh semua perempuan Dayak Iban, termasuk anak-anak perempuan. Apalagi kalau di Kampung Sei Utik yang hingga sekarang masih menempati rumah panjang (panjai). Sistem kekerabatan dan kekeluargaan yang masih sangat kental dilaksanakan oleh masyarakat adat di kampung tersebut. Kain tenun biasaya digunakan pada waktu acara-cara besar, baik itu di kampung tersebut maupun di luar kampung, seperti gawai (gawa'), upacara adat dan kegiatan-kegiatan penyambutan tamu.

Aktivitas menenun oleh masyarakat adat Iban sudah dilakukan secara turun-temurun dan merupakan warisan nenek moyang. Semua kegiatan menenun hampir dilakukan oleh masyarakat adat dalam rangka melestarikan tradisi mereka.