Senin, 16 Desember 2013

ADAT DAN KEBIASAAN

Perlengkapan Ritual AdatRitual Adat Ngokoh Nyongkolan

Bagi Masyarakat Adat, terutma Dayak di Kalbar mengenal berbagai jenis ritual adat, seperti ritual adat kelahiran, ritual adat kematian, ritual adat behuma-betaun (berladang-bertahun), ritual adat menyambut tamu, dan lain sebagainya. Ritual-ritual adat ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan, sudah mejadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari Masyarakat Adat.
Begitu halnya dengan Masyarakat Adat Dayak Melahui yang bermukim di perhuluan Sungai Melawi tepatnya di Kampung Sungai Garung, Desa Gurung Sengiang, Kecamatan Serawai. Salah satu ritual adat yang kini masih dipraktikan Masyarakat Adat Sungai Garung adalah Ritual Adat Ngokoh Nyongkolan atau Ritual Adat Menguatkan Semangat. 
Menurut Ibu Meni (50), sebagai pemimpin Ritual Adat Ngokoh Nyongkolan mengatakan: “ritual adat ini bertujuan untuk menguatkan semangat (somongat) seseorang/kelompok orang. Agar somangat tetap kokoh atau kuat sehingga terhindar dari segala penyakit, mara-bahaya atau pembawa sial lainnya”. “Ritual adat ini bisa dilakukan kapan saja, tapi biasanya diperuntukan bagi tamu-tamu yang baru datang ke Kampung Sungai Garung. Biar semangat (somongat) para tamu tadi tetap kokoh/kuat atau agar tetap sehat selalu di Kampung”, tambah Ibu Randa (60) yang juga pemimpin ritual adat ini.
Adapun perangkat adat yang diperlukan untuk ritual adat ini terdiri dari: 1 (satu) ekor ayam, 1 (satu) mangkok beras biasa (bahasa Melahui beras Sabur), 1 (satu) mangkok beras pulut/ketan, 1 (satu) bilang parang Mandau, dan Tali Akar Tongang (Siro) secukupnya. Perangkat ritual adat ini disusun berdampingan secara rapi dan teratur di lantai rumah. Dan orang-orang atau tamu yang akan di-Ritual Adat ini disuruh duduk mengelilingi perangkat adat tersebut.
Menurut Ibu Meni, masing-masing perangkat adat ini memiliki fungsi dan artinya tersendiri. Ayam disebut Manuk Petopas, yakni sebagai alat/perantara untuk membuang sial, mengusir penyakit, mengusir hantu-setan, dan juga sebagai perantara meminta hal-hal yang baik, yang memberikan kesehatan dan kekuatan kepada setiap/kelompok orang. Prosesnya adalah Ayam Petopas ini dikibau ke matahari tenggelam dan matahari timbul. Ayam ditopas/Kibau ke matahari tenggal dimaksudkan untuk membuang hal-hal yang buruk, membuang penyakit atau pembawa sial, sebaliknya ditopas/kibau ke matahari timbul untuk meminta hal-hal yang baik, yang menyehatkan, membangkitkan semangat dan lainnya. Setelah dikibau ke matahari tenggelam dan terbit, ayam ini kemudian diletakan di kepala orang-orang yang mengikuti ritual adat ini.
Sedangkan Beras Biasa atau disebut dengan Beras Sabur digunakan sebagai alat untuk menguatkan/mengokohkan semangat (somongat) kepada seseorang/sekelompok orang sehingga terhindar dari mara-bahaya, sial atau pun berbagai jenis penyakit. Prosesnya adalah beberapa butir Beras Sabur ini ditaburkan ke setiap kepala orang yang mengikuti ritual adat. Begitu juga dengan Beras Ketan/Pulut yang berfungsi sebagai alat penguat atau pelekat. Beras Ketan digunakan karena daya lekatnya sangat kuat dibandingkan dengan beras biasa (sabur). Setiap melakukan Ritual Adat Ngokoh Nyongkolan, antara Beras Sabur dan Beras Ketan tidak dapat dipisahkan, keduanya harus ada karena keduanya saling melengkapi.
Parang Mandau atau dapat juga menggunakan besi lainnya, merupakan alat penguat juga bagi semangat (somongat) orang-orang yang mengikuti ritual adat. Prosesnya, parang Mandau atau besi digigit (kokah) oleh orang-orang yang ikut ritual adat ini. Dan terakhir adalah Tali Akar Tongang atau Siro, digunakan sebagai pengikat semangat agar tetap kuat/kokoh dalam menghadang segala bentuk penyakit, pembawa sial. Menurut Masyarakat Adat Sungai Garung, tali tongang ini merupakan tali yang berasal dari sebuah akar yang sangat kuat. Prosesnya, pada akhir ritual adat, Tali Siro ini diikatkan ke tangan kanan orang-orang yang mengikuti ritual adat ini. Tali ini boleh ditanggalkan atau dibuka dari tangan setelah 3 (tiga) hari lamanya, tapi kalau merasa senang menggunakannya tidak dibuka dari tangan juga tidak jadi masalah. Pada jaman dulu, sebelum mengenal paku sebagai alat untuk memaku rumah, orang-orang tua menggunakan akar tongang ini sebagai pengikat tiang-tiang dan atap rumah. Dan sekarang ini, tali akar tongang digunakan untuk mengikat pondok-pondok ladang.
Komitmen dan kepatuhan Masyarakat Adat Sungai Garung untuk tetap mempraktikan ritual-ritual adat ini patut didukung dan dihormati. Agar ritual adat seperti ini tetap eksis, maka sumber daya alam juga harus tetap lestari dan berkelanjutan, karena sumber dari terlaksananya ritual adat ini semuanya berasal dari sumber daya alam yang masih utuh.
*******

Senin, 24 Juni 2013

Hukum Adat Dayak Limbai Pelaik Keruap

Adat Pelanggar Dayak Limbai 
Di Pelaik Keruap

by Agus.Mualang




Pelaik Keruap merupakan sebuah Kampung yang secara administratif Pemerintahan Kabupaten Sintang terletak di Desa Pelaik Keruap Kecamatan Menukung. Mayoritas penduduknya adalah Suku Dayak Limbai, yang secara kuantitas merupakan Suku terbesar di Kecamatan Menukung. Kehidupan Dayak Limbai ini, sama saja dengan Suku Dayak pada umumnya yang ada di Kalimantan Barat, yang memiliki Aturan (Hukum) Adat sebagai pedoman hidup sehari-hari. Salah satu Hukum Adat yang hingga kita masih eksisi dan dipraktikan mereka adalah Adat Pelanggara atau Hukum Adat Pelanggara.
Hukum Adat Pelanggar ditujukan kepada setiap orang, kelompok orang atau perusahaan yang masuk ke suatu tempat atau suatu wilayah adat tanpa meminta izin atau tanpa musyawarah dahulu dengan tetua adat, pengurus kampung, atau warga Masyarakat Adat sebagai pemilik kampung atau wilayah adat. Pak Ronti (80), Temenggung Adat di Ketemenggungan Pelaik Keruap mengatakan: "Hukum Adat Pelanggar adalah sanksi adat bagi seseorang, kelompok orang atau perusahaan yang tidak mematauhi, menghormati hak-hak Masyarakat Adat yang bermukim di wilayah adat. Karena mereka masuk atau datang ke Kampung atau Wilayah Adat kami tanpa permisi, maka harus diganjar dengan Hukum Adat, yakni Hukum Adat Pelanggar". "Hukum Adat Pelanggar terdiri dari beberapa sub, yaitu: Adat Pelanggar Kesupan Kampung, Kesupan Temenggung, Kesupan Ketua Adat, Kesupan Pengurus Kampung. Sanksi Adat yang dijatuhkan juga berbeda-beda, tergantung pada kesalahan yang dilakukan oleh orang, kelompok orang atau perusahaan tersebut", tambah Pak Ronti lagi.
Hukum Adat Pelanggar inilah yang dijatuhkan kepada Pak ANU dan Pak AJA (bukan nama sebenarnya), yang secara sembunyi-sembunyi menuba ikan dengan zat kimia beracun (Potas) dialiran Sungai Keruap, tepatnya di Kampung/Wilayah Adat Orang Pelaik Keruap. Perbuatan kedua orang tersebut di atas, secara tidak sengaja diketahui seorang Warga Pelaik Keruap yang kebetulan sedang berburu binatang liar di hutan pada malam hari. Oleh warga Pelaik Keruap tersebut, Pak ANU dan Pak AJA dilaporkan ke Pengurus Adat dan Pengurus Kampung Pelaik Keruap.
Pak ANU dan Pak Aja ditanya mengenai perbuatannya, termasuk perbuatan yang tidak meminta izin atau tidak permisi dulu kepada Pengurus Adat atau Pengurus Kampung di Kampung Pelaik Keruap. Dalam sidang Adat yang dilakukan di Kampung Pelaik Keruap, Pak ANU dan Pak AJA mengakui semua kesalahannya dan bersedia menerima sanksi adat yang jatuhkan oleh Ketua Adat dan Pengurus Kampung Pelaik Keruap. Atas perbuatannya, Pak ANU dan Pak AJA dijatuhi Hukum Adat Pelanggar, yakni Adat Pelanggar Kesupan Kampung.

Besarnya sanksi Adat Pelanggar Kesupan Kampung yang harus penuhi Pak ANU dan AJA sebesar 1 Ulun, dengan perangkat adat terdiri dari: 1 (satu) Buah Tempayan Tajau. Pak ANU dan AJA  juga dijatuhi Adat Kokoh Sengkolan yang besarnya 2 Ulun, terdiri dari: 2 (dua) buah tempayan tajau, babi 22,2 kilogram, parang satu buah dan satu ekor ayam. Menurut Pak Ronti (Temenggung Adat Pelaik Keruap), “Adat Kokah Sengkolan merupakan sanksi adat tambahan yang dibebankan kepada orang yang telah melanggar hukum adat. Adat ini dimaksudkan agar Semongat (baca: semengat/semangat) tetap kuat, terhindar dari mara bahaya, sial dan tidak sakit dikemudian harinya”.

Hukum Adat Pelanggar di atas memandatkan bahwa Masyarakat Adat Pelaik Keruap hingga kini dan akan datang masih taat pada aturan adat. Untuk itu, bagi kita yang ingin datang ke suatu Kampung Dayak tidak hanya Kampung Pelaik Keruap harus permisi atau meminta izin dulu kepada Pengurus Adat atau dan Pengurus Kampung. Hormatilah adat istiadat dan hukum adat yang berlaku pada Masyarakat Adat Dayak. Bagi Masyarakat Adat Pelaik Keruap, pertahankan dan lestarilah tradisi, adat istiadat dan hukum adat yang telah diwariskan nenek moyang terdahulu. Tegakkan hukum adat yang telah ada ini, tidak hanya pada orang perorang, kelompok orang, tapi juga terhadap perusahaan skala besar yang secara sewenang-wenang ingin merampas hak-hak kalian atas sumber daya alam.*******