Senin, 22 Desember 2014

Pemda Kab. Melawi 'Takut' Mengakui Hak Masyarakat Adat Kec. Menukung Atas Wilayah Adat.

by. agustinus


Lebih dari 20 orang pengurus dan perwakilan anggota Jaringan Komunikasi Antar-Kampung (JAKA) di Kabupaten Melawi, pada 2 Oktober 2013 lalu mendatangi kantor Pemda Kabupaten Melawi. Mereka dari berbagai kampung di Kecamatan Menukung, diantaranya Kampung Bunyau, Sungkup, dan Belaban Ella. Kedatangan mereka diterima langsung oleh Wakil Bupati, Sekretaris Daerah (Sekda), para Asisten dan Kepala Bagian, beserta Pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Para Pengurus dan Perwakilan JAKA ini ingin mempertanyakan komitmen Pemda Melawi atas tuntutan atau aspirasi bersama setahun yang lalu. Tuntutan tersebut disampaikan pada 22 Mei 2012 lalu.

Tuntutan Masyarakat Adat dari beberapa kampung anggota JAKA  ini pada prinsipnya adalah adanya pengakuan hukum dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) atau Surat Keputusan (SK) Bupati terhadap hak-hak Masyarakat Adat atas wilayah adat mereka. Pada pertemuan ini, Pemda Kabupaten Melawi yang diwakili oleh Wakil Bupati beserta Perangkat Dinasnya menanggapi secara tertulis poin per-poin atas 5 tuntutan JAKA.

Pertama: Pemerintahan Kabupaten Melawi harus menghormati hak-hak adat Bunyau, Sungkup dan Belaban Ella. Tuntutan ini ditanggapi Pemda Kabupaten Melawi bahwa Pemda Kabupaten Melawi sangat menghormati dan menghargai adat istiadat masyarakat dengan telah dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Bupati tentang Pengangkatan Temenggung/Punggawa di Lingkungan Pemda Kabupaten Melawi.

Kedua, Pemerintah Kabupaten Melawi harus mengeluarkan Perda/SK Bupati tentang Pengakuan dan Perlindungan Wilayah Adat Bunyau, Sungkup dan Belaban Ella. Tuntutan ini tidak bisa dipenuhi. Pemda Kabupaten Melawi mohon maaf.  Alasan Pemda, untuk memenuhi hal itu, harus dilakukan telaah dan kajian mendalam agar tidak melanggar Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Ketiga, Pemda Kabupaten Melawi harus mendukung usaha-usaha Masyarakat Adat Bunyau, Sungkup dan Belaban Ella dalam mengembangkan perkebunan karet, pertanian organik, perternakan dan perikanan. Menanggapi tuntutan ketiga, Pemda Kabupaten Melawi menyampaikan bahwa proyek-proyek kegiatan sektor pertanian dan perkebunan dilakukan melalui kelompok-kelompok di tiap desa, termasuk program penerima Bansos SLPTT (Sekolah Lapangan Pertanian Tanaman Terpadu).

Keempat, Pemda Kabupaten Melawi harus memposisikan diri sebagai fasilitator dalam menyelesaikan konflik tanah dan sumber daya alam yang terjadi di Masyarakat. Dalam hal ini, Pemda Kabupaten Melawi menyikapi sebagai permasalahan sosial masyarakat, dan Pemda akan melakukan upaya menetralisasi sekaligus meminimalisir melalui musyawarah mufakat.
 

Kelima, Pemda Kabupaten Melawi tidak lagi mengeluarkan izin-izin investasi besar (sawit, tambang batu bara, HPH/IUPHHK) termasuk kawasan konservasi di wilayah Masyarakat Adat Bunyau, Sungkup dan Belaban Ella. Pemda membuat penjelasan bahwa sampai saat ini (2013) belum ada mengeluarkan/menerbitkan izin baru untuk bidang pertambangan dan perkebunan khususnya di daerah Bunyau, Sungkup dan Belaban Ella. Yang ada Pemda Kabupaten Melawi hanya mengeluarkan perpanjangan izin lokasi: An. PT. Satria Manunggal Sejahtera (SMS), PT. Citra Mahkota (CM) dan PT. Bintang Permata Khatulistiwa (BPK). Perusahaan-perusahaan ini merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang wilayah konsesinya berada di Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi.

Atas respon Pemda Kabupaten Melawi tersebut, Pengurus dan Perwakilan Anggota JAKA beranggapan bahwa jawaban Pemda Kabupaten Melawi tersebut jauh dari rasa memuaskan, bahkan hanya formalitas semata. Kihon, salah seorang peserta pertemuan dari Kampung Sungkup mengungkapkan kekecewaanya atas jawaban Pemda Kabupaten Melawi yang sangat tidak sesuai dengan harapan warga Masyarakat Adat Sungkup. Kita telah meminta Pemda Melawi sejak 2012 agar segera merealisasikan tututan JAKA tersebut. Jawaban mereka tidak kita tandatangani karena masih dipermasalahkan,ujar Kihon.

Untuk itu, Pengurus dan Perwakilan Anggota JAKA tidak mau menandatangani surat tanggapan Pemda Kabupaten Melawi tersebut. “Kami ini mewakili lebih dari 40 Kampung di Kecamatan Menukung yang menjadi anggota JAKA. Kami harus mampu mempertanggungjawabkan apa yang dimandatkan oleh anggota JAKA. Jawaban Pemda Kabupaten Melawi ini sangat-sangat tidak sesuai dengan keinginan Masyarakat Adat Anggota JAKA,” kata Pak Mijar, Ketua JAKA.
 
Ini merupakan pembelajaran bagi Masyarakat Adat yang berhadapan dengan Pemerintah Daerah. Banyak birokrasi dan kepentingan yang dipelihara serta dilindungi oleh Pemerintah. Pemerintah bukan pelindung yang bisa menjadi tumpuan Masyarakat Adat. Bagi mereka  kepentingan Masyarakat Adat hanyalah karung kosong, walaupun warga Masyarakat Adat-nya lapar (miskin), dikriminalkan, tanah/lahannya digusur perusahaan, itu bukan tanggung jawab pemerintah.  Sikap Pemerintah yang antipati mencerminkan kehadiran pemerintah hampir tidak berfungsi bagi Masyarakat Adat, karena terkesan kaku, birokratik, protokoler, dan pro investor.  Masyarakat Adat masih harus terus berjuang dari turun-temurun, karena sampai kapan pun setiap hak yang melekat pantas untuk diperjuangkan. ***

Senin, 06 Oktober 2014

Melawan Klaim Negara atas Wilayah Adat

Perjuangan Masyarakat Adat Kampung Sungkup dan Belaban Ella atas Wilayah Adat

by agustinus


Masyarakat adat yang mendiami Kampung Sungkup dan Belaban Ella mayoritasnya Suku Dayak, yakni Sub Suku Dayak Limbai dan Dayak Ransa. Kedua Kampung ini berdampingan, hanya dipisahkan oleh kebun karet, durian, tengkawang. Secara administratif Pemerintahan, Kampung Sungkup dan Belaban Ella masuk dalam Kedesaan Belaban Ella, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi. Secara Pemerintahan Adat, kedua Kampung ini berada dibawah Ketemenggungan Siyai.

Dengan batas-batas wilayah adat adalah: sebelah Utara berbatasan dengan Dusun Laman Oras, Desa Batu Badak, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi; sebelah Selatan berbatasan dengan Dusun Sungai Krosit, Sungai Lalau, Desa Perembang Nyuruh Kecamatan Ella Hilir dan Desa Tumbang Keburai, Kecamatan Bukit Raya, Kabupaten Katingan Hulu, Kalimantan Tengah; sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sungai Sampak, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi; dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Nanga Siyai, Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi. Batas wilayah ini ditandai dengan tanda-tanda alam yang telah disepakati dan ditaati secara turun temurun oleh masing-masing kampung, seperti sungai, lereng bukit, pohon bambu, kebun karet, kayu ulin.

Berdasarkan pemetaan partisipatif tahun 1998, Kampung Sungkup dan Belaban Ella memiliki luas 14.259,00  ha, terdiri dari Bawas 741,05 ha, Gupung 136,00 ha, Kebun Karet 424,00 ha, Tempat Berladang (umo) 308,00 ha, Sawah 36,75 ha, Lahan yang belum diolah (alang-alang) 3.096,97 ha, Rimak (hutan) Adat 9.514,78 ha. Berdasarkan data Kepala Dusun Kampung Sungkup, jumlah penduduk Kampung Sungkup dan Belaban Ella adalah 478 Kepala Keluarga, terdiri dari laki-laki  750 Jiwa, perempuan 676 Jiwa.

Sebagian Masyarakat Adat Kampung Sungkup dan Belaban Ella masih menempati rumah panjang dan sebagiannya menempati rumah tunggal. Kehidupan mereka sehari-hari masih kental dengan rasa kekeluargaan dan gotong royong, terutama pada acara-acara besar di kampung, seperti gotong royong ke umo/ladang, acara pesta perkawinan, pesta menempati rumah baru, membuat rumah, gawai adat syukuran panen padi, membuat sarana-prasarana umum, dan lain sebagainya. Adat istiadat dan hukum adat menjadi pedoman, pegangan mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk mengatur dan menegakan adat istiadat, hukum adat, Masyarakat Adat Kampung Sungkup dan Belaban Ella memiliki kelembagaan adat, yang didasarkan pada Pemerintahan Ketemenggungan. Pada sistem ini, struktur pemerintahan ketemenggungan terdiri dari Temenggung sebagai pemimpin tertinggi; Pateh sebagai wakil Temenggung; dan Dandai berada disetiap kampung yang bertugas mengurus adat istiadat dan hukum adat yang ada diwilayah adatnya/kampungnya. Jabatan pengurus adat di atas memiliki tugas dan kewenangan masing-masing yang didasarkan pada aturan adat, seperti Temenggung, kewenganan dan tanggungjawabnya meliputi seluruh wilayah kekuasaannya. Temenggung menyelesaikan sanksi adat, apabila sanksi adat itu berat (pembunuhan) dan sanksi ada yang tidak mampu diselesaikan oleh pengurus adat tingkat kampung. Sedangkan Pateh, dia diberi kewenangan untuk mengurus adat istiadat dan sanksi adat apabila seorang Temenggung berhalangan atau tidak bisa hadir. Sedangkan Dandai, kewenangannya hanya mengurus adat istiadat dan hukum adat di wilayah kampung.

Dengan potensi sumber daya alam yang luas dan subur, Masyarakat Adat Kampung Sungkup dan Belaban Ella memanfaatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, yakni berladang (umo), menanam karet, mencari rotan, binatang liar, ikan dan lain sebagainya. Di rimba/hutan adat, tumbuh berbagai jenis kayu, seperti kayu ulin, keladan, meranti, kenyauk, bengkirai, rotan dan lainnya. Tumbuhan kayu ini dimanfaatkan mereka untuk bahan bangunan dan sebagian dijual. Selain itu, hidup berbagai jenis binatang liar dan ikan yang kadang-kadang diburu mereka untuk memenuhi protein sehari-hari. Di rimak adat tumbuh berbagai macam tanaman obat-obatan dan berbagai jenis buah-buahan serta rebung dan lain sebagainya. Pemanfaatan rimak adat, tetap didasarkan pada aturan adat yang telah disepakati turun-temurun dan mereka sangat memahami bagaimana cara memanfaatkan isi wilayah/hutan adat sehingga tetap memberikan keberlangsungan sehari-hari mereka.

Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam (hutan) oleh Masyarakat Adat Kampung Sungkup dan Belaban Ella, mulai terganggu sejak tahun 1992. Hutan adat mereka, oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia ditunjuk sebagai kawasan konservasi dengan nama taman nasional bukit baka bukit raya (TNBBBR). Penunjukan tersebut tanpa melalui sosialisasi maupun musyawarah dengan Masyarakat Adat Sungkup dan Belaban Ella selalu pemilik hutan turun-temurun. Dampak adanya TNBBBR adalah akses Masyarakat Adat terhadap sumber daya alam (hutan) dibatasi, yang akhirnya menimbulkan konflik dengan pengelolaan TNBBR. Konflik memuncak ketiga 2 (dua) orang warga Sungkup dikriminalkan oleh pengelolaan TNBBBR tahun 2007 lalu. Tentu saja Masyarakat Adat tidak terima dengan tindakan aparat pengelolaan TNBBBR yang hingga tahun sekarang terus melakukan intimidasi terhadat warga Sungkup dan Belaban Ella.

Untuk itu, Masyarakat Adat Sungkup dan Belaban Ella hingga sekarang terus berjuang untuk merebut kembali wilayah/rimak adat yang diklaim sepihak oleh pengelola TNBBR. Pada 2012, mereka melakukan dialog dengan Pemerintah Dearah (Pemda) Kabupaten Melawi untuk mendesak Bupati Melawi agar mengeluarkan kawasan TNBBBR dari wilayah adat mereka. Sekretaris Daerah Kabupaten Melawi bersedia menandatangani tuntutan Masyarakat Adat Sungkup dan Belaban Ella. Pada 2014, mereka melakukan dialog lagi dengan Bupati Melawi. Hasilnya, Bupati Melawi mengeluarkan surat rekomendasi yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan RI agar mengeluarkan kawasan TNBBBR dari wilayah adat Sungkup dan Belaban Ella yang didasarkan pada peta partisipatif 1998.

Perjuangan Masyarakat Adat Sungkup dan Belaban untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum atas wilayah adat tidak hanya pada tingkat Kabupaten. Pada Mei 2014, mereka mendatangi Kementerian Kehutanan RI, Menteri Dalam Negeri dan Komnas HAM. Mereka meminta Menteri Kehutanan dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan kawasan TNBBBR dari wilayah adat mereka yang didasarkan pada peta partisipatif 1998 lalu.

Dengan adanya komitmen Pemda Kabupaten Melawi tersebut, maka strategi advokasi lanjutannya adalah memastikan Pemda Kabupaten Melawi merealisasikan kometmen itu dalam bentuk Surat Keputusan/Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat. Untuk itu, perlu melakukan dialog, komunikasi yang intens dengan Pemda Kabupaten Melawi. Selain itu, terus mamastikan komitmen  Masyarakat Adat Sungkup dan Belaban Ella dalam menjaga dan melestarikan wilayah adat.