Kamis, 28 April 2011


Mengenal Wilayah Fasilitasi LBBT
Menuju Advokasi Masyarakat Adat Mandiri

Sejak tahun 1997, LBBT telah memposisikan diri sebagai lembaga non formal yang pertama di Kalimantan Barat untuk melakukan pengorganisasian pada tingkat basis (masyarakat adat akar rumput). Hingga tahun 2010 adat 8 wilayah fasilitasi LBBT tersebar di 5 Kabupaten, yakni Bengkayang, Sanggau, Sekadau, Kapuas Hulu dan Melawi.

Penetapan wilayah fasilitasi ini didasarkan pada kriteria, yakni adanya inisiatif masyarakat adat untuk memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak mereka atas tanah dan sumber kekayaan alamnya; adanya konflik hak antara masyarakat adat dengan perusahaan-perusahaan skala besar (sawit, HTI, HPH/IUPHHK, pertambangan); adanya konflik antara hukum adat dan hukum negara atas kepemilikan tanah dan sumber daya alam.

1. Wilayah Belimbing Kec. Lumar dan Desa Pisak Kec. Tujuh Belas Kab. Bengkayang
Hadirnya LBBT di wilayah ini pada tahun 1997 berawal dari konflik masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan hutan tanaman industri PT. Nityasa Idola. Konflik ini terjadi karena perusahaan mencaplok lahan masyarakat adat seluas 500 hektar sebagai areal pembibitan HTI tanpa adanya musyawarah dengan masyarakat adat pemilik lahan. Masyarakat adat menolak kehadiran perusahaan ini dan telah beberapa kali mengirimkan surat protes penolakan kepada instasi terkait dan perusahaan, tapi tidak pernah ditanggapi serius. Dan tahun 1995, masyarakat adat mendatangi bascamp tempat pembibitan HTI lalu membakarnya. Hingga kini perusahaan tidak beroperasi lagi.

Wilayah Belimbing secara administratif pemerintahan merupakan sebuah Desa yang terdiri dari 3 Dusun, yakni Dusun Sempayuk, Sekinyak dan Sei Sibo. Masyarakat yang mendiami wilayah Belimbing adalah Masyarakat Adat Sub Suku Bekati', dengan mata pencaharian utama mereka adalah Ba Oma' (beladang), sawah, menyadap karet, kebun jagung. Untuk memenuhi kebutuhan protein sehari-hari, mereka berburu binatang liar di hutan, menangkap ikan, mereka juga beternak ayam, sapi dan babi. Mereka yang menempati wilayah adat ini sebelumnya berasal dari wilayah "Lampahuk" (kampung Mabuluh sekarang).

Tahun 2005 LBBT memperluas wilayah fasilitasi di Kabupaten Bengkayang, tepatnya di Desa Pisak, Kecamatan Tujuh Belas. Desa Pisak sendiri terdiri dari 4 Dusun/Kampung, yakni Dusun Segonde, Segiring, Dawar dan Semadem. Pusat pengorganisasian LBBT terletak di Dusun Segiring yang juga merupakan pusat Pemerintahan Desa Pisak. Hingga tahun 2010, kedua wilayah ini masih menjadi wilayah fasilitasi karena masih banyak ancaman atas hak-hak masyarakat adat oleh investasi besar (sawit, pertambangan, IUPHHK).

Walaupun secara mayoritas mereka sudah memiliki agama baru (Kristen, Khatolik), mereka juga masih aktif melaksanakan dan mempratikkan ritual-ritual adat, khusunya ritual adat Ba Oma (berladang) dan gawa adat (tutup tahun padi). Mereka memiliki struktur kepengurusan adat adat yang dipercaya untuk mengurus adat istiadat dan hukum adat di wilayah mereka. Struktur adat ini sangat terpisah dari struktur kepemerintahan desa/dususn.

Pembelajaran penting di dua wilayah ini antara lain, munculnya kelompok-kelompok perempuan adat sebagai sarana berkomunikasi dalam membela hak-hak perempuan adat; adanya Pendamping Hukum Rakyat yang siap dan proaktif melakukan pengorganisasian dan teman masyarakat adat dalam memperjuangkan kasus pelanggaran hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam; adanya dokumentasi kesepakatan adat tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan DAS Ledo di Benua Lumar; munculnya kelompok Perempuan Adat untuk merespon issu-issu pelanggaran hak mereka; munculnya kesadaran kritis masyarakat adat dalam bernegosiasi (posisi tawar tinggi) dengan pihak luar (perusahaan) yang ingin menguasai wilayah adat mereka.

2. Wilayah Kotub, Kecamatan Bonti Kabupaten Sanggau
LBBT masuk ke wilayah ini karena adanya konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan hutan tanaman industri PT. Finantara Intiga. Masyarakat adat menolak kehadiran perusahaan tersebut di wilayah adat mereka. Akhirnya perusahaan membatalkan untuk beroperasi di wilayah adat mereka.

Wilayah Kotub secara administratif pemerintahan masuk dalam wilayah Kedesaan Tunggul Boyok. Kotup sendiri merupakan sebuah Dusun, terdiri dari 3 Kampung, yakni: Kotub, Temawang dan Tebilai. Berdasarkan cerita lisan yang masih dipercaya, mereka bersal dari daerah Sungkung di Kabupaten Sambas Kal-Bar. Mata pencaharian utama mereka adalah berladang bukit dan dataran rendah, menyadap karet. Mereka juga berburu binatang liar di hutan, menangkap ikan, beternak babi, sapi dan ayam untuk memenuhi kebutuhan protein sehari-hari.

Selain di wilayah Kotup, wilayah fasilitasi LBBT di sekitar Kecamatan Bonti, yakni Kampung Upe, Kelompu, Lanong, Kadak, Entiop, Engkayuk dan Terusan. Wilayah-wilayah ini hingga kini (akhir 2010) masih difasilitasi karena ancaman terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya masih gencar-gencar dilakukan oleh pihak-pihak luar (perusahaan); belum adanya kebijakan Pemerintah (Daerah dan Nasional) yang mengakui hak-hak masyarakat adat atas kepemilikan tanah, hutan dan sumber daya alam.

Tidak berbeda dengan masyarakat adat Dayak pada umumnya, masyarakat adat di wilayah ini masih memegang teguh dan mempratikkan adat istiadat dan hukum adat mereka. Masih berfungsinya struktur adat asli semakin memperkuat mereka untuk menjalankan ritual-ritual adat yang berlaku.

Pembelajaran penting yang dapat dipetik selama memfasilitasi wilayah ini, yakni: terbentuknya organisasi masyarakat adat (POMMA), kelompok perempuan adat, dan para Pendamping Hukum Rakyat yang mampu dan proaktif mengorganisir masyarakat adat dalam berjuang membela hak-hak mereka atas tanah dan sumber daya alam; adanya kesepakatan tertulis tentang pengelolaan dan pemanfaatan tanah (Tana Poya Tona); adanya kesadaran kritis (mandiri) masyarakat adat dalam bernegosiasi dengan pihak luar (investor) yang ingin menguasai wilayah adat mereka; kampung-kampung lain yang pernah ikut dalam berbagai pertemuan di wilayah ini mampu mensosialisasikan hasil pertemuan kepada masyarakat adat di kampungnya. Dampak lainnya adalah masyarakat adat sudah secara aktif menahan lajunya proses pengerusakan hutan, tanah oleh investasi-investasi skala besar.

3. Wilayah Tapang Sambas - Kemayau, Kecamatan Sekadau Hilir Kabupaten Sekadau.
Pusat pengorganisasian LBBT terletak di Tapang Sambas - Kemayau, difasilitasi sejak tahun 1997. Secara administratif wilayah ini terletak di Desa Tapang Semadak, Kecamatan Sekadau Hulu, Kabupaten Sekadau. Desa Tapang Semadak memiliki luas 5.382 hektar dengan jumlah penduduk 2.997 jiwa (data desa 2010). Ada 10 Kampung yang fokus difasilitasi LBBT di wilayah ini, yakni: Tapang Semadak/Sebadu, Tapang Sambas, Tapang Kemayau, Perupuk Mentah, Janang Sebatu, Batu Bedan, Merunjau, Tanah Putih, Junjung Tani dan Sungai Aur.

Mayoritas masyarakat adatnya adalah sub Suku Dayak De'sa, disusul Dayak Ketungau, Melayu/Senganan, Mualang, China, Jawa dan Batak. Dengan mata pencaharian utama mereka adalah beuma (ladang) bukit dan payak, menyadap karet. Untuk memenuhi kebutuhan protein sehari-hari, mereka berburu binatang liar di hutan, menangkap ikan, ternak sapi, ayam dan babi serta membuat kolam ikan.

LBBT hadir di wilayah ini atas permintaan masyarakat adat yang pada waktu ini berkonflik dengan perusahaan kelapa sawit PT. Multi Prima Entakai; dan juga ancaman terhadap hak-hak mayarakat adat atas tanah dan sumber daya alam lainnya. Selain LBBT, lembaga lain yang terlibat antara lain: Lembaga Ekonomi Kerakyatan (CU Keling Kumang), PPSDAK, Walhi Kalbar, GRPK Sanggau, AMAN Kalbar, PORT, Sawit Watch Bogor.

Pembelajaran penting dari proses pengorganisasian di wilayah ini adalah, munculnya organisasi masyarakat adat (STADES, KEPPADES) sebagai sarana advokasi mandiri dalam membela hak-hak mereka; adanya para Pendamping Hukum Rakyat (PHR) yang proaktif bersama masyarakat adat melakukan pembelaan kasus pelanggaran hak-hak masyarakat adat oleh investasi skala besar; PHR mampu melakukan loby, negosiasi dengan pihak luar (Pemda dan Perusahaan) dalam membela hak-hak masyarakat adat; disepakatinya aturan tertulis tentang "Mempertahankan Tanah dan Sumber Daya Alam (Bepekat Bat Ngetan Tanah Ai'). Sedangkan dampak secara luas adalah masyarakat adat sudah berkontribusi dan mampu menahan lajunya kerusakan hutan, tanah dari investor-investor skala besar.

4. Wilayah Boti dan Sekitarnya, Kecamatan Sekadau Hulu, Kabupaten Sekadau
Secara administratif wilayah Boti dibawah kedesaan Boti Kecamatan Sekadau Hulu, Kab. Sekadau. Wilayah yang luasnya 43,73 Km2 didiami oleh Masyarakat Adat Dayak Jawant. Desa ini terdiri dari 4 Kampung, yakni: Roca, Boti, Tapang Birah dan Natae Kelampe. Selain Desa Boti, Desa lainnya yang sering dikunjungi dan proaktif kegiatan-kegiatan lembaga serta memiliki kemampuan dalam mengorganisir masyarakat adat, yakni: Desa Sei Sambang (5 Kampung: Sulang Betung, Engkorong, Setongang, Tanjung Gontin dan Bongkit); Desa Mondi (ada 4 Kampung: Mondi, Jangkak, Sengiang dan Pengansah).

Wilayah ini telah difasilitasi LBBT sejak tahun 1997, dengan pusat pengorganisasian di Boti. Hal ini disebabkan permintaan masyarakat adat karena adanya ancaman dari perusahaan perkebunan kelapa sawit, yakni PT. MPE, MJP dan pertambangan emas serta penebangan kayu di hulu sungai menterap. LBBT juga bekerjsama dengan lambaga lainnya di wilayah ini, yakni: PPSDAK Pancur Kasih, Credit Union Manteare, GPPK Sanggau.

Mayoritas mata pencaharian utama penduduk adalah behuma (ladang) dan nyadap karet. Selain itu, mereka juga berdagang, berkebun sayur, ternak babi, ayam, sapi, berburu binatang liar di hutan dan menangkap ikan serta ngojek sebagai mata pencaharian tambahan.

Dampak dari proses pengorganisasian antara lain: terbentuknya organisasi masyarakat adat dan kelompok perempuan sebagai sarana advokasi bersama, yakni: Pusat Advokasi Kampung (Pusaka), lahirnya Credit Union Manteare sebagai sarana ekonomi rakyat, adanya PHR-PHR yang mampu dan proaktif bersama masyarakat adat dalam mempertahankan hak-hak mereka atas hutan, tanah dan sumber daya alam yang dirampas oleh perusahaan skala besar. Dampak secara luas adalah masyarakat adat telah mampu menahan lajunya pengerusakan hutan, perluasan perkebunan sawit di wilayah adat mereka.

5. Wilayah Jalai Lintang, Kecamatan Ambaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu
Masyarakat adat yang mendiami wilayah Jalai Lintang adalah Dayak Iban. Jalai Lintang sendiri merupakan wilayah Ketemenggungan, yakni Ketemenggungan Jalai Lintang yang meliputi 7 kampung yaitu: Kampung Lauk Rugun, Mungguk, Sungai Utik, Kulan, Ungak, Apan dan Sungai Tebelian. Secara administrasi pemerintahan, Ketemenggungan ini terletak di 3 Desa, yakni: Desa Menua Tengah, Batu Lintang dan Langan Baru, Kecamatan Embaloh Hulu Kabupaten Kapuas Hulu.

Wilayah yang sudah difasilitasi LBBT sejak tahun 1997 dengan pusat pengorganisasian terletak di Rumah Panjang Sungai Utik. Mayoritas MA Iban menghuni rumah panjang yang terdiri dari bilik-bilik. Setiap bilik dihuni oleh satu atau dua kepala keluarga. Wilayah Ketemenggungan ini memiliki sekitar 70% hutan primer yang masih terpelihara dengan baik, memiliki berbagai jenis pohon/kayu serta dihuni berbagai jenis binatang liar.

Mata pencaharian utama mereka adalah memanfaatkan tanah dan hutan dengan bercocok tanam seperti berladang, menyadap karet, berkebun sayur-sayuran, mencari kayu untuk kayu bakar dan bahan bangunan serta sebagian dijual. Mereka juga berburu binatang liar di hutan dan menangkap ikan di air. Selain itu, untuk mengisi waktu luang dan menambah keperluan hidup sehari-hari, kaum perempuan adat Iban menenun dan mengayam. Dan ada sebagian kecil warga memilih untuk bekerja di Malaysia sebagai buruh pabrik, karyawan pekebunan dan tukang rumah.

Ada beberapa hal penting dari proses pengorganisasian yang berlangsung lama, yakni: munculnya kesadaran kritis masyarakat adat untuk mempertahankan wilayah adatnya, adanya ekonomi kerakyatan, terbentuknya organisasi masyarakat adat, para PHR yang mampu dan proaktif bersama masyarakat adat dalam meperjuangkan hak-hak mereka atas wilayah adatnya, Kampung Sungai Utik sendiri mendapat penghargaan dari Menteri Kehutanan RI atas jasanya mempertahankan wilayah adatnya.

6. Wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Mendalam
DAS Mendalam secara administratif berada di Kecamatan Putusibau, Kab. Kapuas Hulu. Mayoritas masyarakat adatnya adalah Suku Dayak Kayaan Mendalam. Mereka berada di 3 (tiga) Desa, yakni Desa Padua, Teluk Telaga dan Datah Dian. Wilayah pemerintahan adat diberada pada Ketemenggungan Kayaan Mendalam, terdiri dari kampung-kampung, yakni Sungai Ting, Tanjung Karang, Teluk Telaga dan Datah Dian (Panggung, Uma Tadaan dan Uma Suling).

Wilayah ini telah difasilitasi lembaga (LBBT) sejak tahun 2003, dengan pusat Pengorganisasian di Kampung Tanjung Karang dan Teluk Telaga. Namun demikian masyarakat adat di sini sudah mengenal LBBT sejak tahun 1997 yakni berawal dari kasus HTI yang secara sepihak mengklaim wilayah adat mereka. Kasus HTI sendiri hingga kini sudah tidak ada lagi.

Tidak berbeda dengan masyarakat adat Dayak pada umumnya, Orang Kayaan Mendalam juga mengandalkan sumber daya alam sebagai sumber kehidupan mereka. Tanah dan hutan mereka gunakan untuk bercocok tanam, seperti berladang, menyadap karet, berkebun sayur-sayuran, berkebun buah-buahan, mencari kayu untuk bahan bangunan rumah, berburu binatang liar dan lain sebagainya.

Keberadaan sumber daya alam mereka sekarang mulai terusik dengan kehadiran perusahaan HPH/IUPHHK PT. Toras Banua Sukses. Masyarakat adat sudah melakukan berbagai selaga upaya agar ijin perusahaan ini dicabut dari wilayah adat mereka. Usaha mereka tidak hanya dilakukan tingkat daerah (Pemda Kapuas Hulu, Propinsi) saja, tapi juga ke Menteri Kehutanan RI, bahkan mereka melakukan aksi demo di Bundaran HI Jakarta agar mendapat dukungan publik untuk mendesak Pemerintah Pusat mencabut ijin PT. Toras tersebut. Tapi belum ada hasilnya yang konkrit dari Pemerintah.

Beberapa catatan pembelajaran penting dari proses Pengorganisasian LBBT di wilayah ini yakni: lembaga masih dipercaya oleh masyarakat adat sebagai tempat konsultasi, pendidikan hukum kritis dan selalu diundang kalau ada hal-hal penting yang didiskusikan oleh masyarakat adat. Munculnya rasa kebersamaan, kekompakan dan kekritisan masyarakat adat dalam menyikapi persoalan yang ada di wilayah adat mereka. Konflik pelanggaran hak masih dapat mereka selesaikan melalui aturan lokal/adat. Munculnya para PHR yang proaktif bersama rakyat memperjuangkan hak-hak mereka atas tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya.

7. Wilayah DAS Kapuas
Wilayah DAS Kapuas yang mejadi wilayah fasilitasi terletak di perluan sungai kapuas, merupakan bagian dari Kabupaten Kapuas Hulu. Wilayah DAS Kapuas sudah difasilitasi lembaga sejak tahun 2003, terdiri dari 5 Kampung, yakni: Nanga Enap, Nanga Erak, Nanga Balang, Nanga Sepan dan Nanga Salin. Secara administratif kampung-kampung ini terletak di Kedesaan Campaka Baru, Kecamatan Kedamin. Secara adat wilayah kampung-kampung ini berada di bawah Ketemenggungan Uheng Kereho. Pusat pengorganisasian lembaga terletak di Kampung Nanga Enap.

Mayoritas penduduk di wilayah ini adalah masyarakat adat Dayak Punan, dengan mata pencaharian utama adalah memanfaatkan sumber daya alam untuk berladang, menyadap karet, berkebun sayur-sayuran, menangkap ikan, berburu binatang liar di hutan, mengambil kayu untuk bangan bangunan dan untuk dijual. Selain itu, untuk mengisi waktu luang dan menambah kebutuhan hidup sehari-hari, khususnya dilakukan oleh kaum perempuan adat Punan menenun dan mengayam. Ada juga sebagian warga masyarakat adat bekerja sebagai pegawai negeri dan karyawan swasta.

Konflik sumber daya alam di wilayah ini antara lain: masuknya perusahaan kayu PT. Toras Banua Sukses, PT. Kwedar, pertambangan rakyat aliran sungai kapuas, perebutan sarang burung walet, perebutan batas wilayah adat, pertambangan batu bara. Upaya yang dilakukan masyarakat adat adalah dengan melakukan musyawarah antar kampung, penataan tata batas, dialog/audensi dengan Pemda.

Proses pembelajaran penting selama mengorganisir masyarakat adat di wilayah ini antara lain: tumbuhnya kesadaran kritis masyarakat adat terhadap hak-hak mereka atas sumber daya alam, munculnya keberanian masyarakat adat untuk memperjuangkan hak-hak mereka menggunakan aturan lokal/adat, lahirnya para PHR yang proaktif bersama rakyat untuk memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak masyarakat adat atas sumber daya alam.

8. Wilayah Menukung Kabupaten Melawi
Di Kecamatan Menukung ada 3 wilayah yang menjadi fokus wilayah fasilitasi lembaga, yakni: 1) Menukung Jalur Darat Sintang - Serawai; 2) Menukung Darat; dan 3) Menukung Jalur PT. Sari Bumi Kusuma. Selain di Menukung lembaga juga memperluas wilayah fasilitasi ke wilayah Kecamatan Serawai, yakni Mentibar dan sekitarnya Kabupaten Sintang.

1. Menukung Jalur Darat Jalan Raya Sintang - Serawai.
Wilayah Menukung jalur darat jalan raya dari Sintang - Serawai difasilitasi lembaga sejak tahun 2003. Secara administratif pemerintahan, ada 3 Desa yang menjadi fokus fasilitasi, yakni Desa Pelaik Keruap dengan pusat pengorganisasian di Kampung Pelaik Keruap; Desa Tanjung Beringin dengan pusat pengorganisasian di Kampung Teluk Rabin; Desa Landau Leban dengan pusat pengorganisasian di Kampung Bunyau. Semua wilayahnya terletak di Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi.

Sedangkan secara adat, wilayah ini terdiri dari 2 Ketemenggungan yakni: Ketemenggungan Pelaik Keruap dan Ketemenggungan Batas Nangka dengan 8 Kampung yang terlibat aktif dalam proses pengorganisasian, yakni: Kampung Lanjau, Terapau Mawan, Batas Nangka, Bunyau, Pelaik Keruap, Teluk Rabin, Entubu dan Sungai Lalau.

Mayoritas masyarakat adat yang mendiami wilayah ini adalah masyarakat adat Dayak Limbai, dengan mata pencaharian utama berladang (bukit dan sawah), menyadap karet. Sebagai mata pencarian tambahan mereka berkebun sayur-sayuran, ternak ayam dan sapi, mencari kayu untuk bahan bangunan dan untuk dijual sebagian, berburu binatang dan menangkap ikan.

2. Menukung Darat.
Tidak berbeda dengan Menukung Jalur Darat Sintang - Serawai, wilayah Menukung Darat difasilitasi lembaga sejak tahun 2003. Secara administratif pemerintahan terletak di Desa Laman Mumbung, Kecamatan Menukung. Dengan pusat pengorganisasian terletak di Kampung Laman Mumbung. Sedangkan secara adat, wilayah ini berada di bawah Ketemenggungan Ransa, meliputi 6 Kampung yang menjadi fokus pengorganisasian, yakni: Kampung Guhung Trapau, Laman Mumbung, Pondok Bayan, Mehola Bangis, Sungai Dungan 2 dan Sungai Dungan 1.

Mayoritas masyarakat adatnya adalah masyarakat adat Dayak Ransa dan Kenyilu (Guhung Trapau). Untuk memenuhi sumber kehidupan sehari-hari, mereka memanfaatkan sumber daya alam yang digunakan untuk berladang, bersawah, menanam/menyadap karet, berkebun sayur-sayuran, menangkap ikan, berburu binatang liar di hutan dan mengambil kayu di hutan untuk bahan bangunan dan sebagian untuk dijual. Ada juga masyarakat adat yang bekerja sebagai pegawai negeri dan karyawan swasta.

3. Menukung Jalur Perusahaan PT. SBK
Wilayah Menukung Jalur ini, pusat pengorganisasian terletak di Kampung Sungkup Desa Belaban Ella, Kecamatan Menukung. Ditetapkan sebagai wilayah fasilitasi sejak tahun 2007. Secara pemerintahan adat, wilayah ini masuk dalam Ketemenggungan Siyai, terdiri dari 6 Kampung yakni: Kampung Landau Mumbung, Nanga Apat, Nanga Siyai, Ncana, Sungkup dan Belaban Ella.

Wilayah Ketemenggungan Siyai ini didiami oleh 3 sub Suku Dayak, yakni: Suku Limbai, Ransa dan Kenyilu. Mayoritas masyarakat adatnya memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti untuk berladang, bersawah, menyadap karet, berburu binatang liar di hutan, menangkap ikan dan mengambil kayu di hutan untuk bahan bangunan rumah pribadi. Selain itu, masyarakat adat juga beternak ayam, sapi, babi. Ada juga warga masyarakat adat yang bekerja sebagai pegawai negeri dan karyawan swasta.

Ancaman terhadap wilayah adat dan keberadaan masyarakat adat di Kecamatan Menukung sekarang adalah:
- terdapat 3 ijin perusahaan perkebunan kelapa sawit, yakni PT. SMS, BPK dan Citra Mahkota,
dengan luas areal rata-rata 10.000 hektar;
- terdapat 7 jijin eksploirasi perusahaan pertambangan batu bara, yakni: PT. Duta Makasar
Mining; PT. Makasar Megah Mining; PT. Louis Josua Internasional Invesment; PT. Grand LJ
Fullerton Succesfull; PT. Melawi Rimba Mineral; PT. Sumber Rezki Lestari; PT. Sindo
Resources.
- pengklaiman sepihak wilayah adat oleh taman nasional (BBBR)
- selain itu, masyarakat adat juga dihadapkan pada lahan yang gersang dengan ditumbuhi
padang ilalang yang setiap musim kemarau terbakar. Hal ini sangat menyulitkan masyarakat
adat untuk dapat berladang dan menanam karet.

Dalam menyikapai ancaman sumber daya alam tersebut, masyarakat adat melakukan berbagai usaha dan upaya, yakni: membuat surat penolakan yang dicap jempol dan dikirimkan kepada Pemda, Pemprov, Pemerintah Pusat dan instansi Pemerintah lainnya yang terkait; melakukan aksi damai dan audensi ke Pemda dan DPRD setempat; pemetaan partisipatif atas wilayah adat; mengadakan pertemuan/musyawarah antar kampung, desa dan kecamatan untuk menyatukan kekuatan dalam penolakan investasi besar di wilayah adat mereka; mengadakan pelatihan, pendidikan hukum kritis dan lokakarya lainnya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat adat.

Catatan penting pembelajaran bersama masyarakat di wilayah ini, yakni: - tumbuhnya rasa keberanian dan kebersamaan masyarakat adat dalam memperjuangkan dan mempertahankan wilayah adatnya; - munculnya organisasi masyarakat adat (OMA) seperti JAKA, PERMADALI, PERMADAR, GEMA KAMI sebagai sarana berjuang bersama; adanya PHR yang siapa bersama masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-haknya atas tanah dan sumber daya alam; masyarakat sudah mandiri melakukan negosiasi, loby ke Pemda dan DPRD setempat untuk mendorong adanya pengakuan atas wilayah adat mereka; masyarakat adat mampu mendesak Bupati Melawi untuk mengeluarkan ijin pertambangan batu bara di wilayah adat mereka dan sudah ada surat dari Bupati tersebut.

4. Wilayah Mentibar Kecamatan Serawai Kabupaten Sintang
Wilayah Mentibar difasilitasi sejak tahun 2007, pada waktu terjadinya konflik masyarakat adat dengan perusahaan kayu PT. Panggar Begili. Namun demikian sejak tahun 2005, lembaga telah diminta oleh masyarakat adat Serawai untuk memberikan pelatihan/pendidikan hukum kritis.

Secara administrasi pemerintahan, wilayah ini terletak di Desa Gurung Sengiang, terdiri dari 4 Dusun yakni: Dusun Mentibar, Sungai Garong, Laman Gurung dan Melako Kanan, Kecamatan Serawai. Sedangkan secara adat, wilayah ini dibawah pemerintahan Ketemenggungan Bedaha. Ketemenggungan Bedaha memimpin 2 wilayah kedesaan, yakni Desa Gurung Sengiang dan Desa Bedaha yang terdiri dari 4 dusun juga, yakni: Dusun Batu Seladang, Nanga Seguyang, Laman Randu dan Laman Krangan.

Mayoritas masyarakat adat adalah sub Suku Dayak Melahui, dengan mata pencaharian utama sehari-hari adalah berladang (bukit dan tanah dataran rendah), menyadap getah, berkebun sayur-mayur, menangkap ikan, berburu binatang liar di hutan, meramu untuk bahan bangunan sendiri dan sebagian untuk dijual. Ada juga warga masyarakat adat yang bekerja sebagai pegawai negeri, guru, dan karyawan swasta. Di kampung mereka beternak ayam, babi, ikan, sapi baik untuk dikonsumsi sehari-hari maupun untuk dijual.

Mayoritas rumah penduduknya adalah rumah tunggal yang berderet mengikuti jalan raya kampung. Tempat tinggal mereka tidak jauh dari sungai besar (sungai melawi) dan anak sungai lainnya. Dan kondisi ini sudah lama berlangsung. Hal ini disebabkan karena sungai merupakan satu-satunya sarana transportasi baik antar kampung maupun ke kota-kota kecamatan dan kabupaten.

Ancaman terhadap perampasan hak ada mereka sekarang adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit, yakni PT. Sumber Hasil Prima (SHP) dan PT. Sinar Sawit Andalan (SSA) serta perusahaan pertambangan batu bara, yakni PT. Heravika Kalsindo. Sedangkan usaha dan upaya yang telah dilakukan masyarakat adat untuk menyikapi berbagai perusahaan ini antara lain: membuat surat pernyataan penolakan yang ditandatangani/cap jempol oleh warga masyarakat adat; melalukan konfrensi pers di kantor LBBT Pontianak; melakukan aksi dan audensi dengan Pemda dan DPRD Sintang, melakukan audensi dengan Komnas Dearah Kalbar sekaligus menyerahkan surat pernyataan penolakan.

Pelajaran penting selama melakukan pengorganisasian di wilayah ini antara lain: terbentuknya organisasi masyarakat adat (GEMAS) sebagai sarana diskusi bersama; tumbuhnya sikap kritis masyarakat adat dalam menyikapi berbagai bentuk pembangunan yang tidak pro lingkungan; adanya PHR yang handal dan proaktif bersama masyarakat adatnya dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat; PHR bersama masyarakat adat sudah berani melakukan negosiasi, dialog dengan para pengambil keputusan di tingkat kecamatan, kabupaten dan propinsi.



Jumat, 08 April 2011

Pembelajaran Dari Masyarakat Adat Dalam Menyikapi Perubahan Iklim

Ketemenggungan Desa Tapang Semadak dan Kampung Resak Balai di Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat


Gambaran Umum Dampak Perubahan Iklim Bagi Masyarakat Adat Ketemenggungan Desa Tapang Semadak dan Kampung Resak Balai

Tidak bisa disangkal lagi bahwa dampak perubahan iklim mulai dirasakan oleh masyarakat adat sekitar 4 (empat) tahun yang lalu. Begitu juga yang dirasakan oleh masyarakat adat di Kabupaten Sekadau, khususnya di Ketemenggungan Desa Tapang Samadak dan Kampung Resak Balai. Dengan adanya perubahan iklim yang terjadi sekarang, banyak-sedikit sangat mempengaruhi sistem bercocok bertanam masyarakat adat di ladang. Adanya perubahan kalender musim (siklus) kebiasaan masyarakat adat dalam memanfaatkan tanah, hutan terutama untuk berladang (beuma/beumo bahasa daerah) dan bercocok tanaman lainnya di ladang.

Berdasarkan kalender musim (siklus) berladang yang dipercaya secara turun-menurun oleh Masyarakat Adat Dayak, baik Dayak De’sa di Tapang Semadak maupun Dayak Mualang di Kampung Resak Balai bahwa kegiatan berladang dilakukan pada akhir Bulan Mei hingga akhir Bulan Maret tahun berikutnya. Bulan Mei mereka mulai turun menebas (mangul bahasa daerah) lahan yang akan dijadikan ladang, bulan Juni mereka menebang kayu diladang, akhir bulan Juli hingga awal Agustus membakar lahan (uma/ladang), akhir bulan Agustus hingga awal September menanam padi (nugal uma) dan menanam berbagai jenis tanaman sayur-sayuran di ladang, bulan Oktober merumput (membersihkan rumput diladang), November, Desember dan bulan Januari menunggu padi menguning/masak, bulan Pebruari-Maret panen (Ngetau/Ngetam) padi di ladang. Dengan luas ladang rata-rata antara 1 – 1,5 hektar dalam satu musim, dapat menghasilkan 800 kilogram hingga 1.500 kilogram, tergantung pada luas dan vegetasi (kesuburan) tanahnya. Selain berladang, mereka juga membuat sawah, dengan hasil rata-rata dalam satu musim berkisar antara 500 – 700 gantang (1 gantang = 1,6 ons/kurang lebih 800 – 1.120 kilogram), tergantung pada luas sawah yang dikelola.

Dengan adanya perubahan iklim yang terjadi, maka dampaknya sangat mempengaruhi aktivitas masyarakat adat untuk berladang dan bercocok tanaman lainnya. Berdasarkan informasi di masyarakat adat telah terjadi perubahan jadwal (siklus musim) berladang dan bercocok tanam. Kegiatan menebas lahan dan menebang kayu di ladang masih tetap dilakukan pada bulan Mei, Juni dan Juli. Namun kegiatan membakar lahan di ladang yang tidak menentu atau tidak pasti. Bahkan ada masyarakat adat yang tidak dapat meneruskan ladangnya karena tidak ada musim panas/kemarau untuk membakar lahan di ladang, sementara rumput dan kayu yang sudah ditebang menjadi tumbuh seperti biasa lagi (hutan muda lagi). Untuk membakar ladang paling cepat dilakukan pada bulan Agustus/September dan paling lambat pada bulan Oktober. Otomatis bulan November musim menanam padi (nugal) dan menanam berbagai jenis tanaman sayur-sayuran di ladang. Implikasinya, meningkatnya berbagai jenis hama dan penyakit padi, seperti tikus, burung pipit, wereng sangit (empangau bahasa Dayak), belalang, dan tanaman rumput di ladang yang cepat subur. Sehingga hasil padi diladang mengalami penurunan, yakni berkisar antara 100 kg hingga 200 kg.

Bukan hanya pendapatan dari berladang dan bersawah yang mengalami penurunan. Kegiatan menyadap (noreh/motong) karet juga mengalami penurunan. Biasanya mereka mampu menyadap karet antara 500 – 1000 batang, dengan berat antara 8 – 10 kilogram persetengah hari, tapi karena cuaca tidak menentu dan kadang setelah karet disadap tiba-tiba turun hujan maka berat karet yang dihasilkan juga berkurang karena air karet sudah menjadi air hujan. Yang lain, adalah musim buah-buahan yang tidak menentu dan hasilnya kurang bagus. Misalnya, musim buah-buahan dapat dinikmati pada bulan Desember – Maret, tapi sekarang susah ditentukan, ada yang pada bulan Agustus, Oktober, November, dan tidak serempak serta kwalitas buahnya kurang memuaskan.

Selain itu, apabila musim hujan maka terjadi banjir tiba-tiba dengan arus sungai yang deras beserta sampah batang kayu yang banyak, seperti air bah datang. Tapi kalau banjir sekarang tidak pernah lama, hanya berkisar antara 1 – 2 jam saja, setelah itu air sungai akan kembali seperti biasa. Kalau sudah musim hujan maka langit kelihatan sangat gelap sekali, angin kadang-kadang kencang disertai petir bersahut-sahutan, tapi hujannya hanya gerimis saja. Sebaliknya, kalau musim panas/kemarau maka cuaca terasa panas sekali. Kalau kita kebetulan lagi memanen padi diladang maka badan terasa dipanggang api kena panas, air sungai cepat kering, susah mencari air bersih, kekeringan lahan sehingga mudah terbakar (kebakaran lahan dan hutan), banyak debu dan lainnya. Menimbulkan berbagai jenis penyakit baru yang dialami oleh masyarakat adat, seperti infeksi saluran pernapasan (ISPA), diare, desentri, muntahber, demam panas tinggi secara tiba-tiba, malaria, demam berdarah dan tekanan darah tinggi. Penyakit ini menimbulkan sakit yang merata di setiap kampung.

Keterlibatan Masyarakat Adat serta Perhatian Pemerintah Daerah Atas Perubahan Iklim.

Sebenarnya masyarakat adat sudah lama mengetahui dan mengamati adanya perubahan iklim beserta dampaknya terhadap kehidupan mereka. Pada waktu itu mereka memahaminya dengan nama perubahan cuaca. Mereka selalu mengamti perubahan cuaca setiap tahunnya yang didasarkan pada perubahan suhu, jumlah dan kwalitas curah hujan serta dengan meilhat tibulnya bulan di langit. Namun perubahaan cuaca pada waktu itu masih bersifat lambat dan tidak menantang seperti yang terjadi pada sekarang ini. Dulunya mereka menganggap bahwa terjadinya perubahan cuaca karena adanya proses alam atau bersifat alami, kehendak Tuhan katanya.

Lain dahulu, lain sekarang, di mana perubahan iklim yang terjadi sekarang sangat cepat dan menantang bagi masyarakat adat. Mereka memang mengetahui adanya perubahan iklim yang cepat (lihat dampak perubahan iklim di atas), tapi mereka belum mengetahui penyebabnya secara jelas. Yang tidak dimengerti oleh mereka berkaitan dengan perubahan iklim adalah issu pemanasan global dan program REDD. Apa itu pemanasan global dan REDD? Apa hubungannya dengan terjadinya perubahan iklim sekarang ini. Mereka mengetahui adanya perubahan iklim yang begitu cepat dari berbagai media informasi, yakni televisi, radio, baca koran dan diceritakan kawan/orang luar yang berkebutulan datang ke kampung mereka.

Pengetahuan mereka semakin bertambah mengenai perubahan iklim, pemanasan global dan REDD yang mengancam sumber-sumber kehidupan setelah mereka mengikuti kegiatan diskusi terfokus (FGD) tentang Partisipasi Multipihak dalam Mendukung Upaya Mengurangi Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Kota Kabupaten Sekadau. Kegiatan FGD yang dilaksanakan pada bulan Maret 2010, diselenggarakan oleh LBBT berkerjasama dengan Samdhana Institute, dengan peserta dari berbagai daerah di Kabupaten Sekadau. Berdasarkan hasil FGD, peserta yang ikut agak terkejut setelah mengetahui adanya ancaman perubahan iklim yang disebabkan oleh “angkuhan manusia” dalam memanfaatkan hutan dan sumber daya alam. Sehingga masyarakat adat yang menjadi korban utamanya karena mengandalkan hutan dan sumber daya alam sebagai sumber kehidupan utama.

Pelajaran Penting dari Masyarakat Adat dalam Menyikapi Perubahan Iklim.

Walaupun sekarang terjadinya perubahan iklim yang cepat dan menantang, bahkan menyebabkan terjadinya pegeseran kalender musim (siklus) berladang (beuma-betaun) di masyarakat adat, tapi kebiasaan berladang tetap mereka lakukan. Seperti yang ada di Ketemenggungan Desa Tapang Semadak. Dalam hal berladang (beuma beta’un) tetap didasarkan pada aturan adatnya, biasa disebut dengan Adat Beuma Beta’un. Secara singkat prosesnya dimulai dengan Ngansau babas (mencari tempat yang cocok untuk berladang), Mangul (tempat yang akan dijadikan ladang diberi tanda), Nebas (membersihkan) lahan yang akan dijadikan ladang, Nebang kayu dilahan yang sudah ditebas, Beladak (membersihkan pinggir-pinggir ladang agar api tidak menjalar ke luar ladang sehingga menghanguskan lahan lainnya), Nunu Nungkun (membakar ladang), Nayak (membersihkan sisa-sisa kayu yang tidak terbakar), Nugal (menanam padi di ladang), Mabau (membersihkan rumput di ladang), dan Negetam (panen padi di ladang). Setiap tahapan proses berladang tersebut di atas memiliki adatnya masing-masing.

Masyarakat adat baik yang ada di Ketemenggungan Desa Tapang Semadak maupun di Kampung Resak Balai telah membuat kesepakatan-kesepakat tentang pengelolaan hutan dan sumber daya alam lainnya. Mereka juga memiliki sistem pengelolaan (tata guna lahan) asli dalam mengelola dan memanfaatkan hutan dan sumber daya alam. Mereka percaya bahwa kesepakatan-kesepakatan dan sistem pengelolaan asli yang ada dalam mengelola hutan dan sumber daya alam telah terbukti mampu menjaga kelestarian dan keberlangsungan sumber daya hutan. Apabila mereka membuka lahan untuk berladang, mereka akan menanam berbagai jenis pohon di ladang tersebut, seperti karet, durian, tengkawang, belian (ulin), dan kayu lainnya. Intinya tidak ada lahan kosong bekas ladang masyarakat adat.

Selain itu, masyarakat adat tidak hanya menggantungkan ekonominya dari satu sumber saja. Karena selain membuat ladang, sawah sebagai sumber padi (beras), mereka juga menyadap karet, menjual hasil sayur-sayuran dari ladang dan kebun sendiri, mereka juga beternak ayam, babi, sapi yang dapat menghasilkan uang untuk membeli beras dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Hal inilah yang membuat mereka hingga sekarang tetap eksis dalam memenuhi kehidupan sehari-hari yang semuanya bersumber pada alam (tanah dan hutan).

Kemudian pada tahun 2010 dan 2011, masyarakat adat di Tapang Sambas – Kemayau mengajukan proposal bibit karet unggul ke Pemda Kabupaten Sekadau. Dari proposal tersebut mereka mendapat 60.000 bibit karet dengan luas lahan yang ditanam 100 hektar. Mereka juga mendapat bantuan bibit gaharu sebanyak 4.000 batang dan bibit kayu mahoni sebanyak 11.000 bibit.

Namun demikian di kalangan masyarakat Kabupaten Sekadau secara umum belum mengetahui dan memahami sepenuhnya tentang issu perubahan iklim. Mereka hanya mengetahui telah terjadi perubahan cuaca yang disebabkan oleh alam itu sendiri. Banjir besar yang terjadi kalau musim hujan dan kebakaran lahan yang terjadi kalau musim panas/kemarau, masyarakat anggap sudah biasa dan dianggap kejadian alam saja. Kekurangan pengetahuan masyarakat terhadap perubahan iklim yang terjadi disebabkan juga oleh kurang pekanya Pemerintah Daerah khususnya Pemda Kabupaten Sekadau dalam menyikapi perubahan iklim. Pemerintah sendiri tidak pernah melakukan diskusi/sosialisasi kepada masyarakat tentang ancaman dari perubahan iklim terhadap keberlangsungan hidup manusia.

Di Pemda Kabupaten Sekadau belum ditemukan kebijakan dan program signifikan dalam merespon terjadinya perubahan iklim yang menyebabkan pemanasan global. Issu perubahan iklim sepertinya belum menjadi issu prioritas di Pemda Sekadau. Hal ini dapat dilihat dari belum pernah dilakukannya sosialisasi tentang perubahan iklim kepada masyarakat adat yang ada di Kabupaten Sekadau. Kebijakan Pemda yang masih memberikan ijin lokasi/lahan kepada berbagai perusahaan sawit. Tidak kurang dari 17 buah perusahaan sawit yang hingga tahun 2010 masih aktif beroperasi di Kabupaten Sekadau. Hanya Kantor Lingkungan Hidup yang baru memiliki program dalam menyikapi perubahan iklim yakni program pengadaan bibit pohon. Program ini sendiri baru diberitahu kepada masyarakat adat tahun 2010. Sedangkan dinas-dinas lain belum diketahui programnya.

Di kalangan Pemda memandang penanganan dampak perubahan iklim yang diprogramkan oleh Pemerintah Pusata melalui berbagai skema seperti skema REDD adalah sebuah proyek besar yang bisa mendatangkan keuntungan. Selain itu, ketidaksiapan Pemda menghadapi dampak perubahan iklim juga mempengaruhi sikap Pemda yang lambat dalam merespon dampak dari perubahan iklim yang terjadi. Belum pernah masyarakat menerima bantuan dari Pemda apabila ada masyarakat yang terkena banjir besar yang mengenangi rumah.