Rabu, 20 Agustus 2008

Musyawarah Adat I Masyarakat Adat Nanga. Pari


"Merumuskan Langkah-Langkah Strategis Dalam Menyikapi Masuknya Perusahaan Sawit ke Wilayah Adat".

Pada Pagi Jumat, 08 Agustus 2008, pada pukul 08’00 tepat, sekitar 300-an orang berdatangan dari berbagai kampung dan suku menuju Gedung Gereja Katolik yang terletak di Nanga Pari. Nanga Pari adalah sebuah ibu kota kedesaaan, Kecamatan Sepauk, Kabupaten Sintang. Kedatangan massa dari berbagai kampung dan sukut tersebut bukan untuk berunjuk/berdemo rasa karena “tidak mendapat jadah BLT/subsidi BBM dari Pemerintah, tapi untuk berkumpul bersama memabahas masalah/persoalan yang selama ini selalu menghantui mereka. Kedatangan mereka juga bukan atas paksaan dari pihak-pihak lain, melainkan atas kesadaran sendiri karena ada rasa kebersamaan dalam memecahkan masalah atau persoalan yang ada. Tidak hanya laki-laki dewasa saja yang datang, tetapi juga kaum perempuan, baik dewasa maupun anak-anak juga tidak ketinggalan untuk menghadiri pertemuan besar.

Pertemuan ini terselenggara atas prakarsa masyarakat adat sendiri, sehingga segala kebutuhan dalam memperlancar kegiatan semuanya merupakan hasil solidaritas warga masyarakat adat. Kesadaran ini muncul setelah masyarakat adat merasakan bahwa mereka selama ini dibohongi oleh pihak perusahaan yang sebelumnya pernah beroperasi di wilayah mereka. Seperti perusahaan PT. Kayu Lapis dan perusahaan lainnya yang secara "membabi-buta" membabat kayu di hutan mereka. Sedangkan kehidupan masyarakat adat tetap seperti biasanya alias tidak ada kemajuan, yang mereka dapatkan cuma kemiskinan, adat istiadat dan hukum adat yang hampir tidak dihargai oleh warga mereka sendiri. Selain itu yang menyedihkan adalah hutan (kayu) habis dan sumber-sumber penghidupan lainnya susah didapatkan lagi.

Ada beberapa persoalan yang sangat urgent untuk dibahas dalam Musdat I ini, yaitu: - wilayah adat mereka yang sudah dipetakan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit atas ijin Bupati Sintang kala itu Simon Djalil. Sedangkan Masyarakat Adat sendiri tidak tahu-menahu bahwa wilayah mereka sudah dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit. Ternyata perusahaan yang ingin menguasai lahan mereka adalah PT. JKS (Jake Sarana). Sebelumnya tidak pernah ada sosialisasi dengan Masyarakat Adat sebagai pemilik sahnya wilayah tersebut, baik itu oleh Pemda sendiri maupun oleh pihak perusahaan. Merasa wilayah adatnya akan dijadikan lahan perkebunan sawit, Masyarakat Adat merasa sudah dikianati, bahkan tidak menghargai aturan yang ada pada masyarakat.

Menanggapi akan masuknya perusahaan sawit tersebut berbagai komentar warga masyarakat adat di wilayah tersebut, ada pro (setuju), ada kontra (tidak setuju) dan ada yang ‘abu-abu alias tidak ada pendapat’. Melihat kondisi dan situasi yang berkembang tersebut, beberapa warga Masyarakat Adat mengambil inisiatif untuk melakukan diskusi bersama. Diskusi ini dilakukan untuk meminta pendapat dari warga Masyarakat Adat apa yang harus dilakukan untuk menyikapi persoalan tersebut. Dari diskusi ini, mereka sepakat untuk mengadakan Musyawarah Adat (Musdat). Masyarakat menyebutnya Musyawarah Adat I (Musdat I).

Dalam Musdat ini, dilakukan seminar dan lokakarya. Narasumber yang hadir dalam Musdat adalah para NGO, seperti WALHI Kalbar, LBBT, ID, AMAN Kalbar, ELPAGAR, CU Keling Kuman, Pemda Sintang (Kec. Sepauk), dan kaum Intelektual yang berasal dari wilayah Pari dan sekitarnya. Untuk memandu acara seminar adalah Pastor Miau yang juga berasal dari daerah tersebut. Seminar dimaksudkan untuk memberikan gambaran kepada peserta mengenai dampak buruknya apabila perusahaan sawit masuk dan mengambil tanah, hutan di wilayah adat. Selain itu untuk memberikan beberapa aturan hukum nasional yang dapat digunakan masyarakat adat dalam membela hak-haknya atas tanah dan wilayah adatnya.

Pada hari berikutnya (9 – 10 Agustus 2008) dilakukan lokakarya yang fasilitasi oleh Shaban dari Walhi Kalbar. Lokakarya ini dimaksudkan untuk menindak-lanjuti hasil dari seminar, sekaligus menentukan langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan oleh Masyarakat Adat dalam menyikapi dan mengamankan wilayah adat yang sudah mulai teracancam tersebut. Acara lokakarya dimulai dengan memaparkan point-point hasil seminar, kemudian dilanjutkan dengan diskusi kelompok untuk membahas lebih detiel dari point-point seminar tersebut. Yang manarik dari hasil lokakarya dan patut didukung oleh kita semua adalah Masyarakat Adat peserta sepakat untuk menolak perusahaan skala besar dan monukultur yang ingin masuk dan mengambil lahan, tanah, hutan dan sumber-sumber penghidupan mereka. Penolakan ini dituangkan dalam sebuah Surat Pernyataan Sikap yang ditandatangani oleh seluruh warga masyarakat adat. Surat Pernyataan ini ke Bupati Sintan, Perusahaan PT. JKS dan instansi terkait lainnya.

Tidak ada komentar: