Menghayutkan 200-an Rumah Penduduk dan 1000-an Rumah Lainnya Tenggelam Curah hujan yang tinggi di awal bulan September menyebabkan musibah bagi masyarakat yang bermukim di aliran sungai Melawi dan sungai Ella Hilir. Musibah banjir yang disertai dengan arus yang deras tidak hanya menghayutkan batang-batang kayu dari hulu sungai Ella, tapi juga disertai dengan kondisi air yang kotor dan berlumpur. Tapi yang cukup menyedihkan adalah bajir ini telah menghayutkan tidak kurang dari 200-an rumah penduduk dan 1.000-an rumah lainnya tenggelam. Masyarakat masih beruntung karena musibah banjir tersebut tidak menelan korban jiwa. Namun masyarakat tidak dapat menjalankan aktivitasnya seperti biasa, karena ladang, kebun karet dan tempat lainnya yang merupakan tempat mereka mencari sumber penghidupan juga ikut tenggelam. Masyarakat hanya bisa pasrah menghadapi banjir, karena tidak ada yang bisa dibuat selain menyelamatkan harta benda dari genangan air yang hampir mencapai 1 – 2 meter tersebut. Kerugian akibat musibah ini tidak kurang dari 500 Juta Rupiah.
Kejadian berawal dari curah hujan yang terjadi pada tanggal 4 – 9 September 2008 di Kecamatan Ella Hilir Kabupaten Melawi. Hampir seluruh rumah penduduk yang berada di pinggir sungai melawi dan sungai ella tenggalam. Berdasarkan pengamatan di lapangan pada tanggal 5 September, ada 2 buah rumah semi permanen di dekat jempatan penyeberangan sungai Ella Hilir hanyut terbawa arus air. Sehingga ke dua rumah tersebut sampai menyeberangi jalan raya yang menghubungkan kota Nanga Pinoh dan Kota Kecamatan Ella. Pada hal rumah tersebut selain digunakan untuk tempat tinggal juga sebagai toko yang menjual barang-barang makan pokok (sembako). Pemilik rumah masih sempat menyelamtkan dirinya, namun barang-barang yang ada di dalam rumah tidak bisa diselamatkan oleh penghuninya. Menurut bapak yang punya rumah, “kerugian akibat banjir tersebut tidak kurang dari 100-an Juta Rupiah”. “Tidak pernah mengalami banjir seperti ini selama hidupnya”, kata dia lagi sambil menunjukan bumbung rumah yang masih timbul.
Menurun beberapa warga yang sempat ditanya, bahwa ini merupakan banjir yang ke tiga kalinya. Banjir yang pertama kalinya terjadi pada tahun 1960-an dan disusul pada tahun-tahun berikutnya. Namun banjir sebelumnya tidak pernah seperti ini, kata mereka. “Mungkin ini yang dinamakan dengan banjir banding”, tambah warga yang lainnya. “Baru ini saja kami mengalami banjir besar seperti ini, sampai menghayutkan 100-an rumah penduduk yang ada diperhuluan sungai Ella. Dulu-dulunya tidak pernah ada banjir sampai begitu derasnya dan terjadinya pada malam hari lagi. Masih untuk warga yang rumahnya hanyut dapat menyelamatkan diri,” kata mereka lagi. Dilihat dari wajah dan tatapan warga pada waktu menceritakan musibah banjir, mereka masih ketakutan dan kwatir jangan-jangan kejadian pada tanggal 5 tersebut terulang kembali. Mengingat hingga ditulisnya beritanya, hujan masih tetap turun siang-malamnya. “Sekarang ini kami masih dalam keadaan trauma, kami berharap ada bantuan dari pemerintah setempat untuk menangani banjir ini,” harapan warga masyarakat.
Terjadinya musibah banjir tidak terlepas dari perubahan sumber daya alam, khususnya tidak ada lagi hutan sebagai penampung air hujan diperluan sungai Ella dan sungai Melawi. Hutan di perluan sungai tersebut sudah sangat menipis, sehingga tidak mampu lagi menampung curahnya air hujan. Menipisnya hutan tersebut bukan dikarenakan oleh perubahan alam itu sendiri, tapi karena ulah segelintir orang yang ingin memperkaya dirinya sendiri. Ternyata di hulu sungai Ella ada beberapa perusahaan HPH yang masih aktif melakukan penebangan kayu. Kayu-kayu yang ditebang tidak hanya kayu produksi yang ada di dataran rendah, tapi yang sangat menyedihkan adalah kayu-kayu yang difungsinya sebagai penyangga agar tidak longsor tidak ketinggalan untuk ditebang. Bukit-bukit yang berisi kayu di hulu sungai Ella sudah hampir habis ditebang oleh salah perusahaan yang bergerak di bidang HPH. Bukan hanya perusahaan HPH saja yang beroperasi, tapi para penambang emas di aliran sungai Ella dan Melawi juga ikut adil menyebabkan terjadinya musibah bajir.
Ibu Kota Pinoh sendiri tidak tertinggal dari genangan air. Pada tanggal 6 – 11 September 2008 puncaknya air menenggelamkan kota Pinoh. Di kota ini banjir sudah sampai di tugu persimpangan empat. Pada hal daerah tugu tersebut merupakan daerah dataran tinggi. Banjir ini menyebabkan banyak warga yang mengungsi tempat keluarganya di daerah-daerah yang lebih tinggi seperti ke jalan km 04 atau ke daerah-daerah lainnya. Selain mengungsi, ada juga warga yang bertahan di rumahnya terutama bagi mereka yang memiliki rumah bertingkat. Tidak bisa dibanyangkan bagi rumah-rumah yang terletak di pinggir sungai Melawi dan Sungai Pinoh. Aktivitas ekonomi masyarakat lumpuh total. Kendaraan umum (bis) dari Kota Pontianak tidak bisa masuh ke Kota Pinohnya.
Kalau pemerintah tidak serius menangani persoalan lingkungan hidup dan sumber daya alam lainnya, tidak menutup kemungkinan pada tahun 2010 kota-kota dan pemukiman penduduk di Kalbar yang berada di pinggir aliran sungai akan tenggelam. Saat sekaranglah pemerintah daerah/kota dan pengambil kebijakan di Negara ini berkaca dari kejadian-kejadian sebelumnya. Jangan sampai terjadi korban yang lebih banyak lagi, seperti di Aceh yang terkena tsunami. Coba tinjau ulah ijin-ijin yang diberikan kepada perusahan-perusahaan besar yang jelas-jelas merusak alam beserta isinya. Apabila perlu cabut ijin-ijin perusahaan tersebut sebelum “alam ini lebih murka lagi”. Dan jangan lagi terbitkan ijin-ijin baru bagi perusahaan seperti perkebunan skala besar (sawit, HTI), perusahaan HPH, pertambangan emas dan batu bara. Berilah kedaulatan kepada rakyat untuk mengelola sumber daya alam beserta isinya. Karena merekalah yang secara turun-temurun terbukti mengelola sumber daya alam beserta isinya dengan tidak merusak lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar