Rabu, 29 Oktober 2008

Sengketa Kawasan Hutan Antara MA Ketemenggungan Siyai Vs TN Bukit Baka - Bukit Raya


Penanda Tanganan Kesepakatan Bersama antara MA Siyai dan TN BB - BR untuk Menyelesaikan Sengketa Kawasan Hutan

Sungkup – Konflik penguasaan kawasan hutan antara Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai dan Taman Nasional Bukit Baka – Bukit Raya (TN BK-BR) Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi sudah berlangsung lama. Konflik muncul bermula dari dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehutanan tahun 1992 tentang perubahan status hutan alam menjadi hutan konservasi dengan nama Taman Nasional Bukit Baka – Bukit Raya. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 281/Kpts-II/1992 tidak hanya mengubah fungsi hutan, tapi juga sudah menambah jumlah luas kawasan yang dijadikan Taman Nasional BK-BR. Sehingga membatasi akses Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai atas tanah, hutan dan sumber daya alam lainya.

Sebelum ditetapkan sebagai kawasan TN BK – BR oleh Menteri Kehutanan pada tahun 1992, hak penguasaan kawasan hutan ini merupakan hak Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai, Ketemenggungan Masyarakat Adat Kenyilu di Jalur Mentatai dan Ketemenggungan Masyarakat Adat Uut Danum di Jalur Serawai. Masyarakat Adat yang menempati kawasan ini mayoritasnya adalah Masyarakat Adat Dayak (Limbai, Kenyilu, Ransa, Kubing, Uut Danum). Selain oleh Masyarakat Adat Dayak di Kalbar kawasan ini juga masuk dalam wilayah Masyarakat Adat Dayak Katingan di Kalimantan Tengah. Sehingga TN BB-BR merupakan gabungan 2 wilayah propinsi, yaitu propinsi Kalimantan Barat dan Propinsi Kalimantan Tengah.

Wilayah ini sudah ditempati oleh Masyarakat Adat di Ketemenggungan Siyai sejak lama. Yang jelas sebelum Negara Indonesia Merdeka Masyarakat Dayak Limbai dan Masyarakat Adat Dayak lainnya sudah menempati wilayah ini. Berdasarkan informasi yang diperoleh dengan cara diskusi, wawancara dan pertemuan bersama warga Masyarakat Adat di Sungkup, bahwa mereka tidak mampu lagi mengingat kembali sejak kapan nenek moyang mereka menempati dan menguasai wilayah ini. Namun mereka hanya mampu mengingat bekas-bekas rumah panjang termasuk nama orang-orang yang pertama kali mendirikan, batas-batas wilayah kampung, desa bahkan batas Ketemenggungan dengan wilayah-wilayah tetangga, tempat-tempat keramat, dan tempat-tempat pertahanan pada jaman Belanda dulu. Batas-batas wilayah ketemenggungan mereka buktikan dengan tanam tumbuh, bukit, sungai dan lereng bukit sebagai tanda batas wilayah. Dan dari situ tidak pernah ada konflik dengan wilayah-wilayah tentangga mengenai tata batas, karena sudah disepakati dan ditaati secara turun temurun oleh ke dua belah pihak.

Keberadaan Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai mulai terusik kehidupannya pada tahun 1980-an. Pada tahun tersebut mulai masuk berbagai jenis aktivitas perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan. Sebut saja perusahaan PT. SBK tahun 1978, masuknya kebijakan Taman Nasional dan perusahaan lainnya. Kedatangan para perusahaan ini yang semula dianggap Masyarakat Adat akan membawa perubahan yang lebih baik bagi kehidupan mereka, ternyata dalam perjalanannya malah membuat konflik. Konflik antara Masyarakat Adat dan perusahaan tidak dapat dihindari. Konflik terjadi karena tidak dipenuhinya janji-janji oleh perusahaan seperti yang pernah diucapkan pada awal perusahaan masuk. Selain itu konflik mucul karena Masyarakat Adat tidak dijinkan oleh perusahaan (PT. SBK) menggunakan jalan perusahaan. Padahal perusahaan sendiri mengambil kayu, batu dan sumber daya alam lainnya di wilayah Masyarakat Adat. Setelah sekian lama perusahaan untung dengan mengambil harta kekayaan milik Masyarakat Adat yang berupa kayu, tanah, batu dan sumber kekayaan alam lainnya maka perusahaan tidak lagi mau peduli dengan kawajiban-kewajibannya terhadap Masyarakat Adat.

Akses Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai atas hutan, tanah dan sumber daya alam lainnya semakin terjepit dengan dietapkannya sebagian wilayah adat mereka diklim sepihak oleh pihak Taman Nasional sebagai kawasan TN BB – BR pada tahun 1992. Dari sinilah benih-benih konflik antara Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai dan TN BB – BR makin memuncak. Apalagi pihak TN BB – BR tidak pernah melakukan dialog/diskusi atau sosialisasi mengenai perubahan patok batas TN BB – BR tersebut. Selain itu, beberapa kali Masyarakat Adat mengundang pihak TN BB – BR untuk berdialog mengenai perubahan batas TN tapi tidak pernah ditanggapi serius. Konflik semakin memuncak sejak ditanggapnya 2 (dua) orang warga Masyarakat Adat Sungkup oleh Polres Melawi pada tahun 2007. Penangkapan warga Sungkup karena ada laporan dari pihak TN BB – BR ke Polres Melawi atas tuduhan membuka ladang di areal TN BB – BR. Penangkapan tersebut terjadi di pondok ladang, sedangkan yang satunya hanya dipanggil sebagai saksi, tapi akhirnya dijadikan tersangka oleh polisi. Akhirnya ke-2 (dua) orang tersebut disidangkan di pengadilan negeri Sintang. Tidak kurang 13 (tiga belas) kali sidang di PN Sintang dan akhirnya hakim memutuskan ke-2 (dua) orang tersebut terbukti bersalah dengan hukuman 7 (tujuh) bulan penjara dan denda 50 juta rupiah kepada masing-masing terdakwa. Merasa dirinya tidak bersalah dan tidak terima dengan putusan hakim, maka ke – 2 (dua) terdakwa mengajukan banding melalui pengacaranya ke Pengadilan Tinggi di Pontianak. Hingga sekarang belum ada keputusan dari pengadilan tinggi.

Berdasarkan pengamatan di lapangan (tempat ladang), bahwa ladang yang dimaksud adalah ladang bekas tahun sebelumnya. Karena tidak jadi dibakar, maka mereka menebasnya lagi dan tidak ada menebang pohon kayu. Tidak hanya 2 (dua) orang saja yang berladang di tempat tersebut, tapi ada 5 (lima) orang yang semuanya adalah warga Masyarakat Adat Sungkup. Kalau mengacu pada hasil pemetaan parsipatif tahun 1998 yang difasilitasi oleh PPSDAK – Pancur Kasih bekerjasama NRM-2/EPIQ, Unit TN BB-BR, LIT-BANG, Kanwil Dept. Kehutanan Kab. Sitntang, PT. SBK Kab. Ketapang bahwa kawasan tempat berladang merupakan hak penguasaannya oleh warga Masyarakat Adat Sungkup. Pemetaan partisipatif sendiri dilakukan untuk mengantisipasi konflik yang akan muncul antara Masyarakat Adat dan TN BB-BR serta dengan pihak perusahaan PT. SBK dalam hal pengusaan kawasan hutan.

Atas putusan pengadilan tersebut tidak hanya naik banding untuk mencari keadilan. Tapi warga Masyarakat Adat Sungkup juga mengambil inisiatif lain untuk menghadapi kasus yang sedang terjadi. Mereka mengundang para pihak yang memiliki kepentingan atas kasus tersebut untuk berdiskusi, berdialog sehingga menemukan jalan keluar bersama-sama. Atas inisiatif Masyarakat Adat Sungkup di atas, maka tanggal 3 – 4 Oktober 2008 bertempat di Rumah Panjang dilaksanakanlah pertemuan yang melibatkan Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai, TN BB – BR Sintang; Muspika Kec. Menukung; Dewan Kehutanan Nasional (DKN) di Jakarta dan LSM (HuMa Jakarta, LBBT, AMAN Kalbar, JAKA). Yang tidak hadir dalam pertemuan tersebut adalah DPRD dan Pemda Melawi. Berdasarkan masukan dari berbagai pihak dalam pertemuan tersebut, akhirnya diperoleh kesepakatan antara Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai dan TN BB – BR untuk membentuk tim perumusan penyelesaian konflik yang terjadi. Pembentukan tim dibuat berita acara kesepakatan yang ditandatangani oleh perwakilan Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai dan TN BB – BR serta saksi-saksi lainnya. Tim ini nanti bertugas untuk merumuskan sebuah rekomendasi yang nantinya akan diajukan kepada pemerintah (Pusan, Daerah, Dishut, BKSDA, DKN) sebagai bahan pertimbangan dalam menyelesaikan konflik tersebut. Hingga saat ini tim telah melakukan beberapa kali konsolidasi dalam rangka mengumpulkan/menghimpun data dan informasi yang mendukung kerja tim.

Seperti diketahui, bahwa bukan kali ini saja Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai melakukan upaya-upaya penyelesaikan konflik dengan TN BB-BR. Setelah penagkapan Pak Toro oleh Polres, maka pada tanggal 30 Agustus 2007 Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai mengadakan pertemuan di Kecamatan Menukung. Pertemuan ini sendiri untuk membahas mengenai kejelasan tata batas antara TN BB – BR, PT. SBK dengan wilayah Masyarakat Adat. Hadir dalam pertemuan tersebut antara lain: - Wakil Camat, Wakil Kapolsek, Wakil Danramil Menukung, dan staf Kecamatan Menukung. Sedangkan pihak TN BB – BR dan PT. SBK tidak hadir dalam pertemuan. Pada hal ke dua belah pihak tersebut sangat diperlukan untuk diminta keterangannya mengenai keberadaan TN BB – BR dan hubungannya dengan PT. SBK. Karena tidak hadirnya pihak TN BB – BR dan PT. SBK, maka pertemuan tersebut tidak menghasilkan apapun.

Karena tidak menghasilkan keputusan apa-apa pada pertemuan pertama, maka Camat Menukung mengambil inisiatif untuk membuat undangan secara resmi kepada pihak TN BB – BR dan PT. SBK supaya dapat menghadiri pertemuan lagi. Atas undangan Camat Menukung tersebut, maka pada tanggal 4 September 2007 dilaksanakan pertemuan kedua kalinya di Kecamatan Menukung. Selain Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai yang hadir, juga hadir sebanyak 4 orang pihak TN BB – BR, Camat, wakil Kapolsek, wakil Danramil dan staf Kecamatan Menukung. Lagi-lagi tidak ada hasil dari pertemuan tersebut. Hal ini disebabkan oleh pihak TN BB – BR yang hadir tidak berani menjeleskan mengenai tata batas TN, karena harus koordinasi dengan ketua balai TN BB – BR di Sintang.

Beginilah birokrasi di pemerintahaan Indonesia hingga saat ini. Untuk berdialog dan berdiskusi mengenai konflik Masyarakat Adat dengan pihak pemerintah atau pihak perusahaan harus ada ijin dulu dari atasan baru bisa mengambil keputusan. Pada hal Masyarakat Adat sudah cukup sabar menti keputusan atas konflik yang mereka hadapi dari pihak pemerintah...... Mari lawan terhadap kaum penindas dan perampas hak-hak rakyat.

Tidak ada komentar: