Jumat, 10 Mei 2013

ADAT BUTANG DAYAK MUALANG DI RESAK BALAI


Masyarakat adat pada umumnya, terutama Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Barat pasti memiliki aturan atau hukuum adat. Tentu saja hukum adat yang pada di setiap daerah, setiap suku ataupun komunitas tidaklah sama. Keberadaan hukum adat ini merupakan warisan dari para leluhur nenek moyang mereka terdahulu. Ada berbagai jenis hukum adat yang berlaku pada setiap Suku Dayak di Kalimantan Barat ini. Mulai dari hukum adat perkawinan, hukum adat butang (selingkuh/zinah) sampai ke hukum adat pembunuhan atau pati nyawa. Dan  hukum adat juga mengatur tentang cara mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Seperti pemanfaatan rimba bersama (rimba komunal).

Begitu juga dengan Suku Dayak Mualang di Kampung Resak Balai, Kecamatan Belitang Hilir Kabupaten Sekadau. Sebuah perkampungan kecil, yang dihuni kurang lebih 60 kepala keluarga ini, masih sangat kental dengan rasa kekeluargaan dan kebersamaan dalam dalam pergaulan hidup sehari-hari. Rasa kekeluargaan dan kerbersamaan, tidak terlepas dari dipatuhi dan ditaatinya aturan (hukum) adat sebagai pedoman hidup bersama. Bagi Dayak Mualang ini, setiap ada masalah atau sengketa di Kampung, maka penyelesaiannya mengutamakan hukum adat. Dayak Mualang di Kampung Resak Balai percaya bahwa hukum adat merupakan jalan terbaik dan masih memberi rasa keadilan dalam menyelesaikan masalah atau sengketa yang terjadi. Tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan cara hukum adat. Karena tujuan adanya  hukum adat adalah untuk mengatur tata tertib dalam hidup bermasyarakat. Dan untuk menjaga agar hubungan antara manusia dengan manusia, serta hubungan antara manusia dengan alam tetap terjaga, seimmbang, damai dan harmonis.

Suku Dayak Mualang ini juga mengenal berbagai jenis hukum adat. Mulai dari hukum adat yang mengatur prilaku pribadi seseorang, antar sesama, hingga hukum adat yang berkaitan dengan tanah dan pengelolaan sumber daya alam. Bagi mereka, hukum adat merupakan hal yang sangat sacral, karena tidak hanya mengatur hubungan antar sesama mereka, tapi juga mengatur hubungan mereka dengan para roh leluhur penunggu alam. Itulah sebabnya, setiap ada pelanggaran terhadap hukum adat, maka senang atau tidak senang si pelanggar harus dikenakan sanksi adat dan wajib memenuhi sanksi adat (tail). Tentu saja sanksi adat yang ditanggung tersebut sesuai dengan perbuatannya. TAIL adalah satuan untuk menyebutkan sanksi adat menurut Dayak Mualang Kampung Resak Balai.

Salah satu hukum adat yang hingga kini tetap dipatuhi warga Suku Dayak Mualang di Kampung Resak Balai adalah Adat Butang atau Hukum Adat Butang. Hukum Adat ini merupakan bagian dari hukum adat perkawinan. Karena perkawinan adalah bersatunya dua insan manusia yang sangan berbeda dan tidak dapat dipisahkan oleh siapapun, sehingga apabila terjadi pengingkaran terhadap perkawinan, baik oleh suami ataupun istri, maka terhadap keduanya dikenakan hukum adat butang. Dalam bahasa Indonesia Butang adalah perbuatan selingkuh atau zinah yang dilakukan oleh laki-laki yang telah beristri atau sebaliknya perempuan yang telah bersuami. Hukum adat butang ini diperuntukkan bagi setiap  orang (laki-laki dan perempuan) yang telah memiliki pasangan yang sah atau telah berumah tangga. Menurut Ntri (Ketua) Adat Kampung Resak Bakai, Pak Paternus mengatakan: “Butang (bara’) adalah perbuatan selingkuh atau zinah dengan suami atau istiri orang lain. Apabilan perbuatan itu diketahui atau tertangkap tangan, maka laki-laki maupun perempuan sama-sama dikenakan Hukum Adat Butang”.

Sanksi adat butang yang dituliskan dibawah ini merupakan gambaran sanksi adat butang pada umunya yang berlaku pada Suku Dayak Mualang di Kampung Resak Balai. Artinya antara laki-laki dan perempuan yang ketahuan butang tidak memiliki hubungan kekeluargaan atau hubungan mali. Besarnya sanksi adat butang bagi mereka yang ketahuan adalah untuk pihak sebesar: 15 tail mangkok, 5 buah tempayan yang terdiri dari 3 buah tempayan hitam dan 2 buah tempayan biasa, 1 renti babi, 1 ekor ayam, ditambah tengan 4 tail pun, sebuah tempayan jabau asam 4 tail pun, sebuah tempayan. Sedangkan besarnya sanksi adat butang yang harus ditanggung pihak perempuan adalah: 10 tail mangkok, 4 buah tempayan terdiri dari 1 buah tempayan hitam dan 3 buah tempayan biasa, tengan 4 tail mangkok, sebuah tempayan, ditambah jabau asam 4 tail mangkok, dan sebuah tempayan.

Sanksi adat butang di atas, menggambarkan bahwa besarnya sanksi adat yang dikeluarkan oleh pihak laki-laki dan perempuan tidaklah sama. Penentuan besarnya sanksi adat butang juga dipengaruhi oleh hubungan darah (kekeluargaan) antara laki-laki dan perempuan. Apabila keduanya (laki-laki dan perempuan) masih memiliki hubungan keluarga, maka akan dikenakan sanksi Adat Pemali. Sanksi adat pemali juga tidak sembarangan, karena harus dilihat lagi sejauh mana hubungan kekeluargaan mereka tersebut.

Hukum Adat Butang di atas merupakan pelajaran penting bagi suami-istri agar konsisten menjalankan mahligai hidup berkeluarga. Untuk itu, bagi laki-laki maupun perempuan yang sudah terikat perkawinan hendaknya konsisten menjaga keutuhan rumah tangga mereka. Bagi Suku Dayak Mualang di Kampung Resak Balai harus tetap mempertahankan dan mematuhi hukum adat butang yang mulia ini.***

Tidak ada komentar: