by agustinus
Masyarakat adat yang mendiami Kampung Sungkup dan Belaban Ella
mayoritasnya Suku Dayak, yakni Sub Suku Dayak Limbai dan Dayak Ransa. Kedua
Kampung ini berdampingan, hanya dipisahkan oleh kebun karet, durian,
tengkawang. Secara administratif Pemerintahan, Kampung Sungkup dan Belaban Ella
masuk dalam Kedesaan Belaban Ella, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi. Secara
Pemerintahan Adat, kedua Kampung ini berada dibawah Ketemenggungan Siyai.
Dengan batas-batas wilayah adat adalah: sebelah Utara berbatasan dengan
Dusun Laman Oras, Desa Batu Badak, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi;
sebelah Selatan berbatasan dengan Dusun Sungai Krosit, Sungai Lalau, Desa Perembang
Nyuruh Kecamatan Ella Hilir dan Desa Tumbang Keburai, Kecamatan Bukit Raya,
Kabupaten Katingan Hulu, Kalimantan Tengah; sebelah Timur berbatasan dengan
Desa Sungai Sampak, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi; dan sebelah Barat berbatasan
dengan Desa Nanga Siyai, Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi. Batas wilayah ini
ditandai dengan tanda-tanda alam yang telah disepakati dan ditaati secara turun
temurun oleh masing-masing kampung, seperti sungai, lereng bukit, pohon bambu,
kebun karet, kayu ulin.
Berdasarkan pemetaan partisipatif tahun 1998, Kampung Sungkup dan Belaban Ella memiliki luas 14.259,00 ha, terdiri dari Bawas 741,05 ha, Gupung 136,00
ha, Kebun Karet 424,00 ha, Tempat Berladang (umo) 308,00 ha, Sawah 36,75 ha,
Lahan yang belum diolah (alang-alang) 3.096,97 ha, Rimak (hutan) Adat 9.514,78
ha. Berdasarkan data Kepala Dusun Kampung Sungkup, jumlah penduduk Kampung Sungkup dan Belaban Ella adalah 478
Kepala Keluarga, terdiri dari laki-laki
750 Jiwa, perempuan 676 Jiwa.
Sebagian Masyarakat Adat
Kampung Sungkup dan Belaban Ella masih menempati rumah panjang dan sebagiannya
menempati rumah tunggal. Kehidupan mereka sehari-hari masih kental dengan rasa
kekeluargaan dan gotong royong, terutama pada acara-acara besar di kampung,
seperti gotong royong ke umo/ladang, acara pesta perkawinan, pesta menempati
rumah baru, membuat rumah, gawai adat syukuran panen padi, membuat
sarana-prasarana umum, dan lain sebagainya. Adat istiadat dan hukum adat
menjadi pedoman, pegangan mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mengatur dan menegakan adat istiadat, hukum adat, Masyarakat Adat Kampung
Sungkup dan Belaban Ella memiliki kelembagaan adat, yang didasarkan pada
Pemerintahan Ketemenggungan. Pada sistem ini, struktur
pemerintahan ketemenggungan terdiri dari Temenggung sebagai pemimpin tertinggi;
Pateh sebagai wakil Temenggung; dan Dandai berada disetiap kampung yang
bertugas mengurus adat istiadat dan hukum adat yang ada diwilayah
adatnya/kampungnya. Jabatan pengurus adat di atas memiliki tugas dan
kewenangan masing-masing yang didasarkan pada aturan adat, seperti Temenggung,
kewenganan dan tanggungjawabnya meliputi seluruh wilayah kekuasaannya. Temenggung
menyelesaikan sanksi adat, apabila sanksi adat itu berat (pembunuhan) dan
sanksi ada yang tidak mampu diselesaikan oleh pengurus adat tingkat kampung.
Sedangkan Pateh, dia diberi kewenangan untuk mengurus adat istiadat dan sanksi
adat apabila seorang Temenggung berhalangan atau tidak bisa hadir. Sedangkan
Dandai, kewenangannya hanya mengurus adat istiadat dan hukum adat di wilayah
kampung.
Dengan potensi sumber daya alam yang luas dan subur, Masyarakat Adat Kampung
Sungkup dan Belaban Ella memanfaatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, yakni berladang (umo), menanam karet, mencari rotan, binatang
liar, ikan dan lain sebagainya. Di rimba/hutan adat, tumbuh berbagai jenis kayu,
seperti kayu ulin, keladan, meranti, kenyauk, bengkirai, rotan dan lainnya.
Tumbuhan kayu ini dimanfaatkan mereka untuk bahan bangunan dan sebagian dijual.
Selain itu, hidup berbagai jenis binatang liar dan ikan yang kadang-kadang
diburu mereka untuk memenuhi protein sehari-hari. Di rimak adat tumbuh berbagai
macam tanaman obat-obatan dan berbagai jenis buah-buahan serta rebung dan lain
sebagainya. Pemanfaatan rimak adat, tetap didasarkan pada aturan adat yang
telah disepakati turun-temurun dan mereka sangat memahami bagaimana cara
memanfaatkan isi wilayah/hutan adat sehingga tetap memberikan keberlangsungan
sehari-hari mereka.
Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam (hutan) oleh Masyarakat
Adat Kampung Sungkup dan Belaban Ella, mulai terganggu sejak tahun 1992. Hutan
adat mereka, oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia ditunjuk sebagai kawasan
konservasi dengan nama taman nasional bukit baka bukit raya (TNBBBR). Penunjukan tersebut tanpa melalui sosialisasi maupun musyawarah dengan
Masyarakat Adat Sungkup dan Belaban Ella selalu pemilik hutan turun-temurun.
Dampak adanya TNBBBR adalah akses Masyarakat Adat terhadap sumber daya alam
(hutan) dibatasi, yang akhirnya menimbulkan konflik dengan pengelolaan TNBBR.
Konflik memuncak ketiga 2 (dua) orang warga Sungkup dikriminalkan oleh
pengelolaan TNBBBR tahun 2007 lalu. Tentu saja Masyarakat Adat tidak terima
dengan tindakan aparat pengelolaan TNBBBR yang hingga tahun sekarang terus
melakukan intimidasi terhadat warga Sungkup dan Belaban Ella.
Untuk itu, Masyarakat Adat Sungkup dan Belaban Ella hingga sekarang
terus berjuang untuk merebut kembali wilayah/rimak adat yang diklaim sepihak
oleh pengelola TNBBR. Pada 2012, mereka melakukan dialog dengan Pemerintah
Dearah (Pemda) Kabupaten Melawi untuk mendesak Bupati Melawi agar mengeluarkan
kawasan TNBBBR dari wilayah adat mereka. Sekretaris Daerah Kabupaten Melawi
bersedia menandatangani tuntutan Masyarakat Adat Sungkup dan Belaban Ella. Pada
2014, mereka melakukan dialog lagi dengan Bupati Melawi. Hasilnya, Bupati
Melawi mengeluarkan surat rekomendasi yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan
RI agar mengeluarkan kawasan TNBBBR dari wilayah adat Sungkup dan Belaban Ella
yang didasarkan pada peta partisipatif 1998.
Perjuangan Masyarakat Adat Sungkup dan Belaban untuk mendapatkan
pengakuan dan perlindungan hukum atas wilayah adat tidak hanya pada tingkat
Kabupaten. Pada Mei 2014, mereka mendatangi Kementerian Kehutanan RI, Menteri
Dalam Negeri dan Komnas HAM. Mereka meminta Menteri Kehutanan dan Menteri Dalam
Negeri mengeluarkan kawasan TNBBBR dari wilayah adat mereka yang didasarkan
pada peta partisipatif 1998 lalu.
Dengan adanya komitmen Pemda Kabupaten Melawi tersebut, maka strategi
advokasi lanjutannya adalah memastikan Pemda Kabupaten Melawi merealisasikan
kometmen itu dalam bentuk Surat Keputusan/Peraturan Daerah tentang Pengakuan
dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat. Untuk itu, perlu melakukan dialog,
komunikasi yang intens dengan Pemda Kabupaten Melawi. Selain itu, terus
mamastikan komitmen Masyarakat Adat
Sungkup dan Belaban Ella dalam menjaga dan melestarikan wilayah adat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar