Hukum Adat Tanah Posar (Kuburan) Dayak Melahui Kampung Sungai Garung
Manusia dicipatakan dari Tanah, dan akan kembali ke Tanah
lagi. Tanah Posar adalah tempat tinggal baru (Kuburan) bagi mereka yang telah
dipanggil oleh Sang Ilahi. Untuk itu, mari kita menjaga dan menghormati Tanah Kuburan,
karena ini merupakan asal-muasal kehidupan kita di muka bumi dan suatu saat
kita akan menjadi penghuninya.
Kata-kata di atas yang hingga kini masih menjadi
pegangan teguh oleh Masyarakat Adat di Kampung Sungai Garung, Kecamatan
Serawai, Kabupaten Sintang. Tanah Posar bagi Masyarakat Adat Sungai Garung
tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari. Tanah Posar merupakan
sebuah tempat yang telah disepakati secara turun-temurun yang dianggap sebagai
tempat keramat atau tanah mali. Karena ditempat inilah, nenek moyang, orang
tua, keluarga, keponakan mereka dirumah kembali setelah dipanggil oleh Sang
Maha Kuasa.
Menurut Masyarakat Adat Sungai Garung, setiap
warga/orang wajib hukumnya untuk melestarikan, menjaga dan menghormati Tanah
Posar ini. Kewajiban ini telah dipraktekan dan berlangsung secara turun-temun,
yakni sejak zaman nenek moyang mereka. Untuk itu, demi terjaganya keberadaan
Tanah Posar tersebut, Masyarakat Adat Sungai Garung memberlakukan hukum adat atas
Tanah Posar. Dan apabila terjadi pelanggaran terhadap Tanah Posar, baik itu oleh orang
perorang/kelompok atau perusahaan maka dikenakan hukum adat sesuai dengan pelanggarannya.
Seperti yang dialami Pak Jalu (bukan nama sebenarnya),
yang membuka lahan untuk be-umo (berladang) dekat dengan Tanah Posar. Selesai
Pak Jalu menebas, menebang kayu di lahan ladang, lalu dia membakar lahan ladang
tersebut. Tanpa Pak Jalu sadari bahwa api pembakaran ladang tersebut menjalar di
sekeliling Tanah Posar. Akibatnya pohon dan daun-daun kayu di sekitar
(sisi-sisi) Tanah Posar menjadi layu dan ada yang mati. Bahasa Melahui Sungai
Garung, api Pak Jalu yang menjalar di sekitar Tanah Posar tersebut disebut “Kena
Perare Api” atau “Rampit Api”. Atas perbuatannya yang tidak disengaja tersebut,
Pak Jalu dikenakan hukum adat Parare Tanah Posar.
Dalam gelar sidang adat yang dihadiri oleh para
pengurus adat, pengurus kampung, Pak Jalu mengakui kelalainnya yang tidak
hati-hati menjaga api sewaktu membakar ladang di dekat Tanah Posar tersebut.
Karena perbuatan Pak Jalu dianggap tidak sengaja, maka Pak Jalu dikenakan sanksi
adat sebesar Ulun 8. Ulun dalam bahasa Dayak Melahui di Sungai Garung adalah
satuan untuk menyebut sanksi adat. Perangkat adat ulun 8 ini, terdiri: a). 1 Ekor
Babi Keliling 5; atau babi 5 jengkal jari; b). 1 Ekor
Ayam Kampung untuk Popas (ayam untuk bekibau); c).1 Bilah
Parang untuk Kokah Songkolan. Kokah artinya digigit, Songkolan artinya
menguatkan/penguat semangat; dan d). 1 Batang
Romiang Sirau, yaitu sejenis gelang tangan yang bahannya terbuat dari
manik-manik untuk diberikan kepada ahli waris yang kuburannya tekena
perare api.
Pak Acong (80), sebagai sesepuh adat di Kampung Sungai
Garung, mengatakan: “Hukum Adat Perare Api ini dimaksudkan agar orang atau
siapapun berhati-hati dalam menjaga api apabila membakar ladang atau membakar
lahan yang letaknya dekat dengan Tanah Posar. Hukum adat ini juga dimaksudkan
untuk memberi penghormatan kepada para arwah-arwah dikuburan yang terkena api
agar tidak marah karena merasa rumahnya telah terbakar api. Selain itu, agar ahli
waris yang masih hidup merasa kuburan keluarganya telah dihargai dan dihormati
oleh perbuatan yang semestinya tidak dilakukan”.
Pak Acong, menambahkan lagi, ada 3 (tiga) jenis atau
kriteria pelanggaran terhadap Tanah Posar yang berkaitan dengan pembakaran atau
terkena api, yakni: pertama, apabila disekitar tanah posar
terkena perare (kena jala) api tanpa disengaja,
dikenakan hukum adat Perare Api, dengan sanksi adat sebesar Ulun 8, perangkat adat terdiri dari: 1 ekor babi keliling 5; 1 ekor ayam popas; 1 bilah parang untuk kokah songkolan; dan 1 batang romiang sirau (sejenis gelang tangan terbuat
dari manik-manik) untuk ahli waris. Kedua, apabila tanah posar sengaja dibakar
oleh seseorang, dikenakan hukum adat pembakar, dengan sanksi adat Ulun 12,
perangkat adatnya terdiri dari: 1 ekor babi keliling 6; 1 ekor ayam popas; 1 bilah parang kokah songkolan; dan 1 batang romiang sirau untuk ahli warisnya. Ketiga, apabila tanah posar terkena digarap
atau sengaja garap atau dihancurkan baik oleh perusahaan ataupun orang peribadi,
dikenakan hukum adat Salah Basa, dengan sanksi adat Ulun 15, perangkat
adat terdiri
dari: 1 ekor babi keliling 7; 1 ekor ayam popas; 1 bilah parang kokah
songkolan; 1 batang romiang sirau untuk ahli
warisnya. Dan pihak yang menggusur atau menggarap
diwajibkan untuk menanggung seluruh biaya membokar kubur dan
memindahkannya ke tanah lainnya serta biaya pesta darok/Pegowe (pesta kematian)”.
Kasus di atas ingin menggambarkan bahwa ternyata Masyarakat
Adat Sungai Garung masih memegang teguh adat istiadat dan hukum adat. Khususnya
hukum adat terhadap Tanah Posar yang telah ditaati secara turun-temurun. Ini
juga merupakan peringatan bagi kita semua agar selalu menghormati adat istadat
dan hukum adat. Karena dimanapun dan kapanpun kita ada pasti berhadapan dengan
hukum, terutama hukum adat. Untuk Masyarakat Adat Dayak Melahui di Kampung
Sungai Garung agar tetap kosisten menjaga dan menegakan hukum adat ini.
Berjuang dan lawanlah berbagai bentuk pembangunan ekonomi kapitalis yang sedang
mengancam identitas Orang Sungai Garung.
Manusia dicipatakan dari Tanah, dan akan kembali ke Tanah
lagi. Tanah Posar adalah tempat tinggal baru (Kuburan) bagi mereka yang telah
dipanggil oleh Sang Ilahi. Untuk itu, mari kita menjaga dan menghormati Tanah Kuburan,
karena ini merupakan asal-muasal kehidupan kita di muka bumi dan suatu saat
kita akan menjadi penghuninya.
Kata-kata di atas yang hingga kini masih menjadi
pegangan teguh oleh Masyarakat Adat di Kampung Sungai Garung, Kecamatan
Serawai, Kabupaten Sintang. Tanah Posar bagi Masyarakat Adat Sungai Garung
tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari. Tanah Posar merupakan
sebuah tempat yang telah disepakati secara turun-temurun yang dianggap sebagai
tempat keramat atau tanah mali. Karena ditempat inilah, nenek moyang, orang
tua, keluarga, keponakan mereka dirumah kembali setelah dipanggil oleh Sang
Maha Kuasa.
Menurut Masyarakat Adat Sungai Garung, setiap
warga/orang wajib hukumnya untuk melestarikan, menjaga dan menghormati Tanah
Posar ini. Kewajiban ini telah dipraktekan dan berlangsung secara turun-temun,
yakni sejak zaman nenek moyang mereka. Untuk itu, demi terjaganya keberadaan
Tanah Posar tersebut, Masyarakat Adat Sungai Garung memberlakukan hukum adat atas
Tanah Posar. Dan apabila terjadi pelanggaran terhadap Tanah Posar, baik itu oleh orang
perorang/kelompok atau perusahaan maka dikenakan hukum adat sesuai dengan pelanggarannya.
Seperti yang dialami Pak Jalu (bukan nama sebenarnya),
yang membuka lahan untuk be-umo (berladang) dekat dengan Tanah Posar. Selesai
Pak Jalu menebas, menebang kayu di lahan ladang, lalu dia membakar lahan ladang
tersebut. Tanpa Pak Jalu sadari bahwa api pembakaran ladang tersebut menjalar di
sekeliling Tanah Posar. Akibatnya pohon dan daun-daun kayu di sekitar
(sisi-sisi) Tanah Posar menjadi layu dan ada yang mati. Bahasa Melahui Sungai
Garung, api Pak Jalu yang menjalar di sekitar Tanah Posar tersebut disebut “Kena
Perare Api” atau “Rampit Api”. Atas perbuatannya yang tidak disengaja tersebut,
Pak Jalu dikenakan hukum adat Parare Tanah Posar.
Dalam gelar sidang adat yang dihadiri oleh para
pengurus adat, pengurus kampung, Pak Jalu mengakui kelalainnya yang tidak
hati-hati menjaga api sewaktu membakar ladang di dekat Tanah Posar tersebut.
Karena perbuatan Pak Jalu dianggap tidak sengaja, maka Pak Jalu dikenakan sanksi
adat sebesar Ulun 8. Ulun dalam bahasa Dayak Melahui di Sungai Garung adalah
satuan untuk menyebut sanksi adat. Perangkat adat ulun 8 ini, terdiri:
- 1 Ekor Babi Keliling 5; atau babi 5 jengkal jari.
- 1 Ekor Ayam Kampung untuk Popas (ayam untuk bekibau);
- 1 Bilah Parang untuk Kokah Songkolan. Kokah artinya digigit, Songkolan artinya menguatkan/penguat semangat;
- 1 Batang Romiang Sirau, yaitu sejenis gelang tangan yang bahannya terbuat dari manik-manik untuk diberikan kepada ahli waris yang kuburannya tekena perare api.
Pak Acong (80), sebagai sesepuh adat di Kampung Sungai
Garung, mengatakan: “Hukum Adat Perare Api ini dimaksudkan agar orang atau
siapapun berhati-hati dalam menjaga api apabila membakar ladang atau membakar
lahan yang letaknya dekat dengan Tanah Posar. Hukum adat ini juga dimaksudkan
untuk memberi penghormatan kepada para arwah-arwah dikuburan yang terkena api
agar tidak marah karena merasa rumahnya telah terbakar api. Selain itu, agar ahli
waris yang masih hidup merasa kuburan keluarganya telah dihargai dan dihormati
oleh perbuatan yang semestinya tidak dilakukan”.
Pak Acong, menambahkan lagi, ada 3 (tiga) jenis atau
kriteria pelanggaran terhadap Tanah Posar yang berkaitan dengan pembakaran atau
terkena api, yakni: pertama, apabila disekitar tanah posar
terkena perare (kena jala) api tanpa disengaja,
dikenakan hukum adat Perare Api, dengan sanksi adat sebesar Ulun 8, perangkat adat terdiri dari: 1 ekor babi keliling 5; 1 ekor ayam popas; 1 bilah parang untuk kokah songkolan; dan 1 batang romiang sirau (sejenis gelang tangan terbuat
dari manik-manik) untuk ahli waris. Kedua, apabila tanah posar sengaja dibakar
oleh seseorang, dikenakan hukum adat pembakar, dengan sanksi adat Ulun 12,
perangkat adatnya terdiri dari: 1 ekor babi keliling 6; 1 ekor ayam popas; 1 bilah parang kokah songkolan; dan 1 batang romiang sirau untuk ahli warisnya. Ketiga, apabila tanah posar terkena digarap
atau sengaja garap atau dihancurkan baik oleh perusahaan ataupun orang peribadi,
dikenakan hukum adat Salah Basa, dengan sanksi adat Ulun 15, perangkat
adat terdiri
dari: 1 ekor babi keliling 7; 1 ekor ayam popas; 1 bilah parang kokah
songkolan; 1 batang romiang sirau untuk ahli
warisnya. Dan pihak yang menggusur atau menggarap
diwajibkan untuk menanggung seluruh biaya membokar kubur dan
memindahkannya ke tanah lainnya serta biaya pesta darok/Pegowe (pesta kematian)”.
Kasus di atas ingin menggambarkan bahwa ternyata Masyarakat
Adat Sungai Garung masih memegang teguh adat istiadat dan hukum adat. Khususnya
hukum adat terhadap Tanah Posar yang telah ditaati secara turun-temurun. Ini
juga merupakan peringatan bagi kita semua agar selalu menghormati adat istadat
dan hukum adat. Karena dimanapun dan kapanpun kita ada pasti berhadapan dengan
hukum, terutama hukum adat. Untuk Masyarakat Adat Dayak Melahui di Kampung
Sungai Garung agar tetap kosisten menjaga dan menegakan hukum adat ini.
Berjuang dan lawanlah berbagai bentuk pembangunan ekonomi kapitalis yang sedang
mengancam identitas Orang Sungai Garung. *****
1 komentar:
kata "Ulun"(bayar dnda) di atas sebenarnya mendapat pengaruh dari dayak uut Danum,karena di sana mayoritasnya uut danum.salam satu Dayak!!
Posting Komentar