Senin, 24 Juni 2013

Adat Tanah Mali Orang Dayak Melahui


Hukum Adat Tanah Posar (Kuburan) Dayak Melahui Kampung Sungai Garung



Manusia dicipatakan dari Tanah, dan akan kembali ke Tanah lagi. Tanah Posar adalah tempat tinggal baru (Kuburan) bagi mereka yang telah dipanggil oleh Sang Ilahi. Untuk itu, mari kita menjaga dan menghormati Tanah Kuburan, karena ini merupakan asal-muasal kehidupan kita di muka bumi dan suatu saat kita akan menjadi penghuninya.

Kata-kata di atas yang hingga kini masih menjadi pegangan teguh oleh Masyarakat Adat di Kampung Sungai Garung, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang. Tanah Posar bagi Masyarakat Adat Sungai Garung tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari. Tanah Posar merupakan sebuah tempat yang telah disepakati secara turun-temurun yang dianggap sebagai tempat keramat atau tanah mali. Karena ditempat inilah, nenek moyang, orang tua, keluarga, keponakan mereka dirumah kembali setelah dipanggil oleh Sang Maha Kuasa.

Menurut Masyarakat Adat Sungai Garung, setiap warga/orang wajib hukumnya untuk melestarikan, menjaga dan menghormati Tanah Posar ini. Kewajiban ini telah dipraktekan dan berlangsung secara turun-temun, yakni sejak zaman nenek moyang mereka. Untuk itu, demi terjaganya keberadaan Tanah Posar tersebut, Masyarakat Adat Sungai Garung memberlakukan hukum adat atas Tanah Posar. Dan apabila terjadi pelanggaran terhadap  Tanah Posar, baik itu oleh orang perorang/kelompok atau perusahaan maka dikenakan hukum adat sesuai dengan pelanggarannya.

Seperti yang dialami Pak Jalu (bukan nama sebenarnya), yang membuka lahan untuk be-umo (berladang) dekat dengan Tanah Posar. Selesai Pak Jalu menebas, menebang kayu di lahan ladang, lalu dia membakar lahan ladang tersebut. Tanpa Pak Jalu sadari bahwa api pembakaran ladang tersebut menjalar di sekeliling Tanah Posar. Akibatnya pohon dan daun-daun kayu di sekitar (sisi-sisi) Tanah Posar menjadi layu dan ada yang mati. Bahasa Melahui Sungai Garung, api Pak Jalu yang menjalar di sekitar Tanah Posar tersebut disebut “Kena Perare Api” atau “Rampit Api”. Atas perbuatannya yang tidak disengaja tersebut, Pak Jalu dikenakan hukum adat Parare Tanah Posar.

Dalam gelar sidang adat yang dihadiri oleh para pengurus adat, pengurus kampung, Pak Jalu mengakui kelalainnya yang tidak hati-hati menjaga api sewaktu membakar ladang di dekat Tanah Posar tersebut. Karena perbuatan Pak Jalu dianggap tidak sengaja, maka Pak Jalu dikenakan sanksi adat sebesar Ulun 8. Ulun dalam bahasa Dayak Melahui di Sungai Garung adalah satuan untuk menyebut sanksi adat. Perangkat adat ulun 8 ini, terdiri: a). 1 Ekor Babi Keliling 5; atau babi 5 jengkal jari; b). 1 Ekor Ayam Kampung untuk Popas (ayam untuk bekibau); c).1 Bilah Parang untuk Kokah Songkolan. Kokah artinya digigit, Songkolan artinya menguatkan/penguat semangat; dan d). 1 Batang Romiang Sirau, yaitu sejenis gelang tangan yang bahannya terbuat dari manik-manik untuk diberikan kepada ahli waris yang kuburannya tekena perare api.

Pak Acong (80), sebagai sesepuh adat di Kampung Sungai Garung, mengatakan: “Hukum Adat Perare Api ini dimaksudkan agar orang atau siapapun berhati-hati dalam menjaga api apabila membakar ladang atau membakar lahan yang letaknya dekat dengan Tanah Posar. Hukum adat ini juga dimaksudkan untuk memberi penghormatan kepada para arwah-arwah dikuburan yang terkena api agar tidak marah karena merasa rumahnya telah terbakar api. Selain itu, agar ahli waris yang masih hidup merasa kuburan keluarganya telah dihargai dan dihormati oleh perbuatan yang semestinya tidak dilakukan”.

Pak Acong, menambahkan lagi, ada 3 (tiga) jenis atau kriteria pelanggaran terhadap Tanah Posar yang berkaitan dengan pembakaran atau terkena api, yakni: pertama, apabila disekitar tanah posar terkena perare (kena jala) api tanpa disengaja, dikenakan hukum  adat Perare Api, dengan sanksi adat sebesar Ulun 8, perangkat adat terdiri dari: 1 ekor babi keliling 5; 1 ekor ayam popas; 1 bilah parang untuk kokah songkolan; dan 1 batang romiang sirau (sejenis gelang tangan terbuat dari manik-manik) untuk ahli waris. Kedua, apabila tanah posar sengaja dibakar oleh seseorang, dikenakan hukum adat pembakar, dengan sanksi adat Ulun 12, perangkat adatnya terdiri dari: 1 ekor babi keliling 6; 1 ekor ayam popas; 1 bilah parang kokah songkolan; dan 1 batang romiang sirau untuk ahli warisnya. Ketiga, apabila tanah posar terkena digarap atau sengaja garap atau dihancurkan baik oleh perusahaan ataupun orang peribadi, dikenakan hukum adat Salah Basa, dengan sanksi adat Ulun 15, perangkat adat terdiri dari: 1 ekor babi keliling 7; 1 ekor ayam popas; 1 bilah parang kokah songkolan; 1 batang romiang sirau untuk ahli warisnya. Dan pihak yang menggusur atau menggarap diwajibkan untuk menanggung seluruh biaya membokar kubur dan memindahkannya ke tanah lainnya serta biaya pesta darok/Pegowe (pesta kematian).

Kasus di atas ingin menggambarkan bahwa ternyata Masyarakat Adat Sungai Garung masih memegang teguh adat istiadat dan hukum adat. Khususnya hukum adat terhadap Tanah Posar yang telah ditaati secara turun-temurun. Ini juga merupakan peringatan bagi kita semua agar selalu menghormati adat istadat dan hukum adat. Karena dimanapun dan kapanpun kita ada pasti berhadapan dengan hukum, terutama hukum adat. Untuk Masyarakat Adat Dayak Melahui di Kampung Sungai Garung agar tetap kosisten menjaga dan menegakan hukum adat ini. Berjuang dan lawanlah berbagai bentuk pembangunan ekonomi kapitalis yang sedang mengancam identitas Orang Sungai Garung.


Manusia dicipatakan dari Tanah, dan akan kembali ke Tanah lagi. Tanah Posar adalah tempat tinggal baru (Kuburan) bagi mereka yang telah dipanggil oleh Sang Ilahi. Untuk itu, mari kita menjaga dan menghormati Tanah Kuburan, karena ini merupakan asal-muasal kehidupan kita di muka bumi dan suatu saat kita akan menjadi penghuninya.

Kata-kata di atas yang hingga kini masih menjadi pegangan teguh oleh Masyarakat Adat di Kampung Sungai Garung, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang. Tanah Posar bagi Masyarakat Adat Sungai Garung tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari. Tanah Posar merupakan sebuah tempat yang telah disepakati secara turun-temurun yang dianggap sebagai tempat keramat atau tanah mali. Karena ditempat inilah, nenek moyang, orang tua, keluarga, keponakan mereka dirumah kembali setelah dipanggil oleh Sang Maha Kuasa.

Menurut Masyarakat Adat Sungai Garung, setiap warga/orang wajib hukumnya untuk melestarikan, menjaga dan menghormati Tanah Posar ini. Kewajiban ini telah dipraktekan dan berlangsung secara turun-temun, yakni sejak zaman nenek moyang mereka. Untuk itu, demi terjaganya keberadaan Tanah Posar tersebut, Masyarakat Adat Sungai Garung memberlakukan hukum adat atas Tanah Posar. Dan apabila terjadi pelanggaran terhadap  Tanah Posar, baik itu oleh orang perorang/kelompok atau perusahaan maka dikenakan hukum adat sesuai dengan pelanggarannya.

Seperti yang dialami Pak Jalu (bukan nama sebenarnya), yang membuka lahan untuk be-umo (berladang) dekat dengan Tanah Posar. Selesai Pak Jalu menebas, menebang kayu di lahan ladang, lalu dia membakar lahan ladang tersebut. Tanpa Pak Jalu sadari bahwa api pembakaran ladang tersebut menjalar di sekeliling Tanah Posar. Akibatnya pohon dan daun-daun kayu di sekitar (sisi-sisi) Tanah Posar menjadi layu dan ada yang mati. Bahasa Melahui Sungai Garung, api Pak Jalu yang menjalar di sekitar Tanah Posar tersebut disebut “Kena Perare Api” atau “Rampit Api”. Atas perbuatannya yang tidak disengaja tersebut, Pak Jalu dikenakan hukum adat Parare Tanah Posar.

Dalam gelar sidang adat yang dihadiri oleh para pengurus adat, pengurus kampung, Pak Jalu mengakui kelalainnya yang tidak hati-hati menjaga api sewaktu membakar ladang di dekat Tanah Posar tersebut. Karena perbuatan Pak Jalu dianggap tidak sengaja, maka Pak Jalu dikenakan sanksi adat sebesar Ulun 8. Ulun dalam bahasa Dayak Melahui di Sungai Garung adalah satuan untuk menyebut sanksi adat. Perangkat adat ulun 8 ini, terdiri:
  1. 1 Ekor Babi Keliling 5; atau babi 5 jengkal jari.
  2. 1 Ekor Ayam Kampung untuk Popas (ayam untuk bekibau);
  3. 1 Bilah Parang untuk Kokah Songkolan. Kokah artinya digigit, Songkolan artinya menguatkan/penguat semangat;
  4. 1 Batang Romiang Sirau, yaitu sejenis gelang tangan yang bahannya terbuat dari manik-manik untuk diberikan kepada ahli waris yang kuburannya tekena perare api.

Pak Acong (80), sebagai sesepuh adat di Kampung Sungai Garung, mengatakan: “Hukum Adat Perare Api ini dimaksudkan agar orang atau siapapun berhati-hati dalam menjaga api apabila membakar ladang atau membakar lahan yang letaknya dekat dengan Tanah Posar. Hukum adat ini juga dimaksudkan untuk memberi penghormatan kepada para arwah-arwah dikuburan yang terkena api agar tidak marah karena merasa rumahnya telah terbakar api. Selain itu, agar ahli waris yang masih hidup merasa kuburan keluarganya telah dihargai dan dihormati oleh perbuatan yang semestinya tidak dilakukan”.

Pak Acong, menambahkan lagi, ada 3 (tiga) jenis atau kriteria pelanggaran terhadap Tanah Posar yang berkaitan dengan pembakaran atau terkena api, yakni: pertama, apabila disekitar tanah posar terkena perare (kena jala) api tanpa disengaja, dikenakan hukum  adat Perare Api, dengan sanksi adat sebesar Ulun 8, perangkat adat terdiri dari: 1 ekor babi keliling 5; 1 ekor ayam popas; 1 bilah parang untuk kokah songkolan; dan 1 batang romiang sirau (sejenis gelang tangan terbuat dari manik-manik) untuk ahli waris. Kedua, apabila tanah posar sengaja dibakar oleh seseorang, dikenakan hukum adat pembakar, dengan sanksi adat Ulun 12, perangkat adatnya terdiri dari: 1 ekor babi keliling 6; 1 ekor ayam popas; 1 bilah parang kokah songkolan; dan 1 batang romiang sirau untuk ahli warisnya. Ketiga, apabila tanah posar terkena digarap atau sengaja garap atau dihancurkan baik oleh perusahaan ataupun orang peribadi, dikenakan hukum adat Salah Basa, dengan sanksi adat Ulun 15, perangkat adat terdiri dari: 1 ekor babi keliling 7; 1 ekor ayam popas; 1 bilah parang kokah songkolan; 1 batang romiang sirau untuk ahli warisnya. Dan pihak yang menggusur atau menggarap diwajibkan untuk menanggung seluruh biaya membokar kubur dan memindahkannya ke tanah lainnya serta biaya pesta darok/Pegowe (pesta kematian).

Kasus di atas ingin menggambarkan bahwa ternyata Masyarakat Adat Sungai Garung masih memegang teguh adat istiadat dan hukum adat. Khususnya hukum adat terhadap Tanah Posar yang telah ditaati secara turun-temurun. Ini juga merupakan peringatan bagi kita semua agar selalu menghormati adat istadat dan hukum adat. Karena dimanapun dan kapanpun kita ada pasti berhadapan dengan hukum, terutama hukum adat. Untuk Masyarakat Adat Dayak Melahui di Kampung Sungai Garung agar tetap kosisten menjaga dan menegakan hukum adat ini. Berjuang dan lawanlah berbagai bentuk pembangunan ekonomi kapitalis yang sedang mengancam identitas Orang Sungai Garung. *****

1 komentar:

Unknown mengatakan...

kata "Ulun"(bayar dnda) di atas sebenarnya mendapat pengaruh dari dayak uut Danum,karena di sana mayoritasnya uut danum.salam satu Dayak!!