Jumat, 08 April 2011

Pembelajaran Dari Masyarakat Adat Dalam Menyikapi Perubahan Iklim

Ketemenggungan Desa Tapang Semadak dan Kampung Resak Balai di Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat


Gambaran Umum Dampak Perubahan Iklim Bagi Masyarakat Adat Ketemenggungan Desa Tapang Semadak dan Kampung Resak Balai

Tidak bisa disangkal lagi bahwa dampak perubahan iklim mulai dirasakan oleh masyarakat adat sekitar 4 (empat) tahun yang lalu. Begitu juga yang dirasakan oleh masyarakat adat di Kabupaten Sekadau, khususnya di Ketemenggungan Desa Tapang Samadak dan Kampung Resak Balai. Dengan adanya perubahan iklim yang terjadi sekarang, banyak-sedikit sangat mempengaruhi sistem bercocok bertanam masyarakat adat di ladang. Adanya perubahan kalender musim (siklus) kebiasaan masyarakat adat dalam memanfaatkan tanah, hutan terutama untuk berladang (beuma/beumo bahasa daerah) dan bercocok tanaman lainnya di ladang.

Berdasarkan kalender musim (siklus) berladang yang dipercaya secara turun-menurun oleh Masyarakat Adat Dayak, baik Dayak De’sa di Tapang Semadak maupun Dayak Mualang di Kampung Resak Balai bahwa kegiatan berladang dilakukan pada akhir Bulan Mei hingga akhir Bulan Maret tahun berikutnya. Bulan Mei mereka mulai turun menebas (mangul bahasa daerah) lahan yang akan dijadikan ladang, bulan Juni mereka menebang kayu diladang, akhir bulan Juli hingga awal Agustus membakar lahan (uma/ladang), akhir bulan Agustus hingga awal September menanam padi (nugal uma) dan menanam berbagai jenis tanaman sayur-sayuran di ladang, bulan Oktober merumput (membersihkan rumput diladang), November, Desember dan bulan Januari menunggu padi menguning/masak, bulan Pebruari-Maret panen (Ngetau/Ngetam) padi di ladang. Dengan luas ladang rata-rata antara 1 – 1,5 hektar dalam satu musim, dapat menghasilkan 800 kilogram hingga 1.500 kilogram, tergantung pada luas dan vegetasi (kesuburan) tanahnya. Selain berladang, mereka juga membuat sawah, dengan hasil rata-rata dalam satu musim berkisar antara 500 – 700 gantang (1 gantang = 1,6 ons/kurang lebih 800 – 1.120 kilogram), tergantung pada luas sawah yang dikelola.

Dengan adanya perubahan iklim yang terjadi, maka dampaknya sangat mempengaruhi aktivitas masyarakat adat untuk berladang dan bercocok tanaman lainnya. Berdasarkan informasi di masyarakat adat telah terjadi perubahan jadwal (siklus musim) berladang dan bercocok tanam. Kegiatan menebas lahan dan menebang kayu di ladang masih tetap dilakukan pada bulan Mei, Juni dan Juli. Namun kegiatan membakar lahan di ladang yang tidak menentu atau tidak pasti. Bahkan ada masyarakat adat yang tidak dapat meneruskan ladangnya karena tidak ada musim panas/kemarau untuk membakar lahan di ladang, sementara rumput dan kayu yang sudah ditebang menjadi tumbuh seperti biasa lagi (hutan muda lagi). Untuk membakar ladang paling cepat dilakukan pada bulan Agustus/September dan paling lambat pada bulan Oktober. Otomatis bulan November musim menanam padi (nugal) dan menanam berbagai jenis tanaman sayur-sayuran di ladang. Implikasinya, meningkatnya berbagai jenis hama dan penyakit padi, seperti tikus, burung pipit, wereng sangit (empangau bahasa Dayak), belalang, dan tanaman rumput di ladang yang cepat subur. Sehingga hasil padi diladang mengalami penurunan, yakni berkisar antara 100 kg hingga 200 kg.

Bukan hanya pendapatan dari berladang dan bersawah yang mengalami penurunan. Kegiatan menyadap (noreh/motong) karet juga mengalami penurunan. Biasanya mereka mampu menyadap karet antara 500 – 1000 batang, dengan berat antara 8 – 10 kilogram persetengah hari, tapi karena cuaca tidak menentu dan kadang setelah karet disadap tiba-tiba turun hujan maka berat karet yang dihasilkan juga berkurang karena air karet sudah menjadi air hujan. Yang lain, adalah musim buah-buahan yang tidak menentu dan hasilnya kurang bagus. Misalnya, musim buah-buahan dapat dinikmati pada bulan Desember – Maret, tapi sekarang susah ditentukan, ada yang pada bulan Agustus, Oktober, November, dan tidak serempak serta kwalitas buahnya kurang memuaskan.

Selain itu, apabila musim hujan maka terjadi banjir tiba-tiba dengan arus sungai yang deras beserta sampah batang kayu yang banyak, seperti air bah datang. Tapi kalau banjir sekarang tidak pernah lama, hanya berkisar antara 1 – 2 jam saja, setelah itu air sungai akan kembali seperti biasa. Kalau sudah musim hujan maka langit kelihatan sangat gelap sekali, angin kadang-kadang kencang disertai petir bersahut-sahutan, tapi hujannya hanya gerimis saja. Sebaliknya, kalau musim panas/kemarau maka cuaca terasa panas sekali. Kalau kita kebetulan lagi memanen padi diladang maka badan terasa dipanggang api kena panas, air sungai cepat kering, susah mencari air bersih, kekeringan lahan sehingga mudah terbakar (kebakaran lahan dan hutan), banyak debu dan lainnya. Menimbulkan berbagai jenis penyakit baru yang dialami oleh masyarakat adat, seperti infeksi saluran pernapasan (ISPA), diare, desentri, muntahber, demam panas tinggi secara tiba-tiba, malaria, demam berdarah dan tekanan darah tinggi. Penyakit ini menimbulkan sakit yang merata di setiap kampung.

Keterlibatan Masyarakat Adat serta Perhatian Pemerintah Daerah Atas Perubahan Iklim.

Sebenarnya masyarakat adat sudah lama mengetahui dan mengamati adanya perubahan iklim beserta dampaknya terhadap kehidupan mereka. Pada waktu itu mereka memahaminya dengan nama perubahan cuaca. Mereka selalu mengamti perubahan cuaca setiap tahunnya yang didasarkan pada perubahan suhu, jumlah dan kwalitas curah hujan serta dengan meilhat tibulnya bulan di langit. Namun perubahaan cuaca pada waktu itu masih bersifat lambat dan tidak menantang seperti yang terjadi pada sekarang ini. Dulunya mereka menganggap bahwa terjadinya perubahan cuaca karena adanya proses alam atau bersifat alami, kehendak Tuhan katanya.

Lain dahulu, lain sekarang, di mana perubahan iklim yang terjadi sekarang sangat cepat dan menantang bagi masyarakat adat. Mereka memang mengetahui adanya perubahan iklim yang cepat (lihat dampak perubahan iklim di atas), tapi mereka belum mengetahui penyebabnya secara jelas. Yang tidak dimengerti oleh mereka berkaitan dengan perubahan iklim adalah issu pemanasan global dan program REDD. Apa itu pemanasan global dan REDD? Apa hubungannya dengan terjadinya perubahan iklim sekarang ini. Mereka mengetahui adanya perubahan iklim yang begitu cepat dari berbagai media informasi, yakni televisi, radio, baca koran dan diceritakan kawan/orang luar yang berkebutulan datang ke kampung mereka.

Pengetahuan mereka semakin bertambah mengenai perubahan iklim, pemanasan global dan REDD yang mengancam sumber-sumber kehidupan setelah mereka mengikuti kegiatan diskusi terfokus (FGD) tentang Partisipasi Multipihak dalam Mendukung Upaya Mengurangi Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Kota Kabupaten Sekadau. Kegiatan FGD yang dilaksanakan pada bulan Maret 2010, diselenggarakan oleh LBBT berkerjasama dengan Samdhana Institute, dengan peserta dari berbagai daerah di Kabupaten Sekadau. Berdasarkan hasil FGD, peserta yang ikut agak terkejut setelah mengetahui adanya ancaman perubahan iklim yang disebabkan oleh “angkuhan manusia” dalam memanfaatkan hutan dan sumber daya alam. Sehingga masyarakat adat yang menjadi korban utamanya karena mengandalkan hutan dan sumber daya alam sebagai sumber kehidupan utama.

Pelajaran Penting dari Masyarakat Adat dalam Menyikapi Perubahan Iklim.

Walaupun sekarang terjadinya perubahan iklim yang cepat dan menantang, bahkan menyebabkan terjadinya pegeseran kalender musim (siklus) berladang (beuma-betaun) di masyarakat adat, tapi kebiasaan berladang tetap mereka lakukan. Seperti yang ada di Ketemenggungan Desa Tapang Semadak. Dalam hal berladang (beuma beta’un) tetap didasarkan pada aturan adatnya, biasa disebut dengan Adat Beuma Beta’un. Secara singkat prosesnya dimulai dengan Ngansau babas (mencari tempat yang cocok untuk berladang), Mangul (tempat yang akan dijadikan ladang diberi tanda), Nebas (membersihkan) lahan yang akan dijadikan ladang, Nebang kayu dilahan yang sudah ditebas, Beladak (membersihkan pinggir-pinggir ladang agar api tidak menjalar ke luar ladang sehingga menghanguskan lahan lainnya), Nunu Nungkun (membakar ladang), Nayak (membersihkan sisa-sisa kayu yang tidak terbakar), Nugal (menanam padi di ladang), Mabau (membersihkan rumput di ladang), dan Negetam (panen padi di ladang). Setiap tahapan proses berladang tersebut di atas memiliki adatnya masing-masing.

Masyarakat adat baik yang ada di Ketemenggungan Desa Tapang Semadak maupun di Kampung Resak Balai telah membuat kesepakatan-kesepakat tentang pengelolaan hutan dan sumber daya alam lainnya. Mereka juga memiliki sistem pengelolaan (tata guna lahan) asli dalam mengelola dan memanfaatkan hutan dan sumber daya alam. Mereka percaya bahwa kesepakatan-kesepakatan dan sistem pengelolaan asli yang ada dalam mengelola hutan dan sumber daya alam telah terbukti mampu menjaga kelestarian dan keberlangsungan sumber daya hutan. Apabila mereka membuka lahan untuk berladang, mereka akan menanam berbagai jenis pohon di ladang tersebut, seperti karet, durian, tengkawang, belian (ulin), dan kayu lainnya. Intinya tidak ada lahan kosong bekas ladang masyarakat adat.

Selain itu, masyarakat adat tidak hanya menggantungkan ekonominya dari satu sumber saja. Karena selain membuat ladang, sawah sebagai sumber padi (beras), mereka juga menyadap karet, menjual hasil sayur-sayuran dari ladang dan kebun sendiri, mereka juga beternak ayam, babi, sapi yang dapat menghasilkan uang untuk membeli beras dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Hal inilah yang membuat mereka hingga sekarang tetap eksis dalam memenuhi kehidupan sehari-hari yang semuanya bersumber pada alam (tanah dan hutan).

Kemudian pada tahun 2010 dan 2011, masyarakat adat di Tapang Sambas – Kemayau mengajukan proposal bibit karet unggul ke Pemda Kabupaten Sekadau. Dari proposal tersebut mereka mendapat 60.000 bibit karet dengan luas lahan yang ditanam 100 hektar. Mereka juga mendapat bantuan bibit gaharu sebanyak 4.000 batang dan bibit kayu mahoni sebanyak 11.000 bibit.

Namun demikian di kalangan masyarakat Kabupaten Sekadau secara umum belum mengetahui dan memahami sepenuhnya tentang issu perubahan iklim. Mereka hanya mengetahui telah terjadi perubahan cuaca yang disebabkan oleh alam itu sendiri. Banjir besar yang terjadi kalau musim hujan dan kebakaran lahan yang terjadi kalau musim panas/kemarau, masyarakat anggap sudah biasa dan dianggap kejadian alam saja. Kekurangan pengetahuan masyarakat terhadap perubahan iklim yang terjadi disebabkan juga oleh kurang pekanya Pemerintah Daerah khususnya Pemda Kabupaten Sekadau dalam menyikapi perubahan iklim. Pemerintah sendiri tidak pernah melakukan diskusi/sosialisasi kepada masyarakat tentang ancaman dari perubahan iklim terhadap keberlangsungan hidup manusia.

Di Pemda Kabupaten Sekadau belum ditemukan kebijakan dan program signifikan dalam merespon terjadinya perubahan iklim yang menyebabkan pemanasan global. Issu perubahan iklim sepertinya belum menjadi issu prioritas di Pemda Sekadau. Hal ini dapat dilihat dari belum pernah dilakukannya sosialisasi tentang perubahan iklim kepada masyarakat adat yang ada di Kabupaten Sekadau. Kebijakan Pemda yang masih memberikan ijin lokasi/lahan kepada berbagai perusahaan sawit. Tidak kurang dari 17 buah perusahaan sawit yang hingga tahun 2010 masih aktif beroperasi di Kabupaten Sekadau. Hanya Kantor Lingkungan Hidup yang baru memiliki program dalam menyikapi perubahan iklim yakni program pengadaan bibit pohon. Program ini sendiri baru diberitahu kepada masyarakat adat tahun 2010. Sedangkan dinas-dinas lain belum diketahui programnya.

Di kalangan Pemda memandang penanganan dampak perubahan iklim yang diprogramkan oleh Pemerintah Pusata melalui berbagai skema seperti skema REDD adalah sebuah proyek besar yang bisa mendatangkan keuntungan. Selain itu, ketidaksiapan Pemda menghadapi dampak perubahan iklim juga mempengaruhi sikap Pemda yang lambat dalam merespon dampak dari perubahan iklim yang terjadi. Belum pernah masyarakat menerima bantuan dari Pemda apabila ada masyarakat yang terkena banjir besar yang mengenangi rumah.

Tidak ada komentar: