Wilayah
Adat Dayak Diujung “Tanduk”
Refleksi Rapat Umum Anggota Perkumpulan (RUAP)
LBBT
“Nasib Orang-Orang Dayak di Kalimantan
Barat,
ibarat
telur “diujung tanduk”.
Ungkapan itu disampaikan oleh Pak Miden, salah seorang
anggota perkumpulan LBBT pada Rapat Umum Anggota Perkumpulan (RUAP) LBBT, tanggal
20 Novermber 2013 di Ruang Talino LBBT. “Yang menyedihkan, sekarang ini hak
milik individu Orang Dayak atas tanah, wilayah adat di kampung-kampung, telah
beralih ke pihak perusahaan besar (sawit, tambang). Kedepannya Orang Dayak di
Kalimantan Barat (Kalbar) akan kehilangan tanah, wilayah adat dan itulah Orang
Dayak hilang identitasnya”, tambah Pak Miden lagi yang berasal dari Kampung
Aur, Kabupaten Landak.
RUAP LBBT merupakan forum tertinggi untuk mengambil keputusan
bersama terkait program dan kebijakan LBBT. Pada RUAP tersebut selain
menyampaikan progress program selama 1 tahun (2013), rencana program kedepan
(2014), juga membicarakan kondisi terkini Masyarakat Adat berserta hak-haknya
atas wilayah adat. Dan diskusikan juga mengenai Putusan MK 35/2012 tentang
Hutan Adat, yang dapat dijadikan strategi perjuangan dalam mewujudkan pengakuan
dan perlindungan wilayah Masyarakat Adat di Kalbar.
Mengenai kondisi terkini Masyarakat Adat beserta wilayah
adat Dayak di Kalbar. Peserta RUAP menyampaikan bahwa: hampir diseluruh sumber-sumber
penghidupan Masyarakat Adat telah “dibagi-bagi”
Pemerintah (Pusat, Daerah) untuk investasi skala besar (sawit, tambang, IUPHHK).
Hak-hak turun-temurun Masyarakat Adat, termasuk adat istiadat, budaya, dan
hukum adat sudah hampir punah dan menuju kehancuran. Setiap hari terjadi
konflik perebutan atas tanah, wilayah milik Masyarakat Adat di Kalbar ini. Di
beberapa kampung/wilayah, kelembagaan adat beserta pengurusnya tidak dipercaya
lagi untuk menegakkan hukum adat karena di “indikasikan” menerima “fee” dari
perusahaan sawit.
Berdasarkan Laporan Devisi Penanganan Kasus LBBT,
dalam satu tahun (2013) saja, ada 40 konflik yang sampaikan Masyarakat Adat ke
LBBT. Konflik perebutan tanah antara Masyarakat Adat dengan perusahaan sawit
yang sangat mendominasi. Konflik ini juga telah merambah ke konflik antar
keluarga, kampung dan komunitas karena terjadinya pro dan kontra dengan masuknya
perusahaan sawit. Terjadinya kriminalisasi terhadap warga Masyarakat Adat yang
secara tegas menolak kehadiran perusahaan besar di wilayah adat mereka.
Strategi
Perjuangan
Untuk
menyikapi persoalan di atas, peserta RUAP LBBT mengusulkan strategi advokasi
yang dapat dilakukan kedepan. Pertama,
memanfaatkan Putusan MK 35/2012 tentang Hutan Adat. “Ini Peluang. LBBT dan kita
semua perlu menyikapi Putusan MK ini secara cerdik sebagai alat klaim
kepemilikan Masyarakat Adat atas wilayah adatnya”, kata Sandra Moniaga. Sandra juga
mengharapkan, LBBT dapat bekerjasama dengan Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) untuk mendata konflik-konflik pertanahan yang terjadi di Kalbar.
Kedua,
LBBT perlu memikirkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap
perusahaan-perusahaan yang menggusur wilayah adat. “Kerja-kerja LBBT ditingkat
basis melalui pengorganisasian dan advokasi sudah cukup kuat. Sekarang perlu
melalui Pengadilan (Litigasi)”, kata Seko, sebagai Dosen Hukum Untan sekaligus
Anggota Perkumpulan LBBT.
Keempat,
membangun Pusat Belajar Masyarakat Adat (Community Learning Centre). “Learnig
Centre merupakan salah satu alat pengorganisasian Masyarakat Adat. LBBT focus
pada hukumnya. Kita harus proaktif, sekarang. Kita harus melakukan pembelaan
lewat pengadilan (litigasi) untuk menangani kasus-kasus di Masyarakat Adat sekarang”,
kata John Bamba, sebagai Board LBBT.
Kelima,
mengkampanyekan kasus-kasus Masyarakat Adat melalui berbagai media (elektronik
dan masa). “Ruai Tv perlu digunakan untuk menggalang opini public agar memahami
konflik pertanahan/SDA yang terjadi di Kalbar. Sehingga muncul dukungan dari
berbagai pihak terhadap konflik yang sedang dialami Masyarakat Adat di Kalbar”,
kata Masiun. Dan keenam, sinergisitas gerakan. Perjuangan untuk mewujudkan
pengakuan wilayah adat harus dilakukan secara sinergis.****