Adat
Pelanggar Dayak Limbai
Di Pelaik Keruap
by Agus.Mualang
Pelaik Keruap merupakan sebuah Kampung yang secara administratif Pemerintahan Kabupaten Sintang terletak di Desa Pelaik Keruap Kecamatan Menukung. Mayoritas penduduknya adalah Suku Dayak Limbai, yang secara kuantitas merupakan Suku terbesar di Kecamatan Menukung. Kehidupan Dayak Limbai ini, sama saja dengan Suku Dayak pada umumnya yang ada di Kalimantan Barat, yang memiliki Aturan (Hukum) Adat sebagai pedoman hidup sehari-hari. Salah satu Hukum Adat yang hingga kita masih eksisi dan dipraktikan mereka adalah Adat Pelanggara atau Hukum Adat Pelanggara.
Hukum Adat Pelanggar ditujukan kepada setiap orang, kelompok orang atau perusahaan yang masuk ke suatu tempat atau suatu wilayah adat tanpa meminta izin atau tanpa musyawarah dahulu dengan tetua adat, pengurus kampung, atau warga Masyarakat Adat sebagai pemilik kampung atau wilayah adat. Pak Ronti (80), Temenggung Adat di Ketemenggungan Pelaik Keruap mengatakan: "Hukum Adat Pelanggar adalah sanksi adat bagi seseorang, kelompok orang atau perusahaan yang tidak mematauhi, menghormati hak-hak Masyarakat Adat yang bermukim di wilayah adat. Karena mereka masuk atau datang ke Kampung atau Wilayah Adat kami tanpa permisi, maka harus diganjar dengan Hukum Adat, yakni Hukum Adat Pelanggar". "Hukum Adat Pelanggar terdiri dari beberapa sub, yaitu: Adat Pelanggar Kesupan Kampung, Kesupan Temenggung, Kesupan Ketua Adat, Kesupan Pengurus Kampung. Sanksi Adat yang dijatuhkan juga berbeda-beda, tergantung pada kesalahan yang dilakukan oleh orang, kelompok orang atau perusahaan tersebut", tambah Pak Ronti lagi.
Hukum Adat Pelanggar inilah yang dijatuhkan kepada Pak ANU dan Pak AJA (bukan nama sebenarnya), yang secara sembunyi-sembunyi menuba ikan dengan zat kimia beracun (Potas) dialiran Sungai Keruap, tepatnya di Kampung/Wilayah Adat Orang Pelaik Keruap. Perbuatan kedua orang tersebut di atas, secara tidak sengaja diketahui seorang Warga Pelaik Keruap yang kebetulan sedang berburu binatang liar di hutan pada malam hari. Oleh warga Pelaik Keruap tersebut, Pak ANU dan Pak AJA dilaporkan ke Pengurus Adat dan Pengurus Kampung Pelaik Keruap.
Pak ANU dan Pak Aja ditanya mengenai perbuatannya,
termasuk perbuatan yang tidak meminta izin atau tidak permisi dulu kepada
Pengurus Adat atau Pengurus Kampung di Kampung Pelaik Keruap. Dalam sidang Adat
yang dilakukan di Kampung Pelaik Keruap, Pak ANU dan Pak AJA mengakui semua
kesalahannya dan bersedia menerima sanksi adat yang jatuhkan oleh Ketua Adat
dan Pengurus Kampung Pelaik Keruap. Atas perbuatannya, Pak ANU dan Pak AJA dijatuhi
Hukum Adat Pelanggar, yakni Adat Pelanggar Kesupan Kampung.
Besarnya sanksi Adat Pelanggar Kesupan Kampung yang
harus penuhi Pak ANU dan AJA sebesar 1 Ulun, dengan perangkat adat terdiri dari: 1 (satu) Buah Tempayan Tajau. Pak ANU dan
AJA juga dijatuhi Adat Kokoh Sengkolan
yang besarnya 2 Ulun, terdiri dari: 2 (dua) buah tempayan tajau, babi 22,2
kilogram, parang satu buah dan satu ekor ayam. Menurut Pak Ronti (Temenggung
Adat Pelaik Keruap), “Adat Kokah Sengkolan merupakan sanksi adat tambahan yang
dibebankan kepada orang yang telah melanggar hukum adat. Adat ini dimaksudkan
agar Semongat (baca: semengat/semangat) tetap kuat, terhindar dari mara bahaya,
sial dan tidak sakit dikemudian harinya”.
Hukum Adat Pelanggar di atas memandatkan bahwa
Masyarakat Adat Pelaik Keruap hingga kini dan akan datang masih taat pada
aturan adat. Untuk itu, bagi kita yang ingin datang ke suatu Kampung Dayak
tidak hanya Kampung Pelaik Keruap harus permisi atau meminta izin dulu kepada
Pengurus Adat atau dan Pengurus Kampung. Hormatilah adat istiadat dan hukum
adat yang berlaku pada Masyarakat Adat Dayak. Bagi Masyarakat Adat Pelaik
Keruap, pertahankan dan lestarilah tradisi, adat istiadat dan hukum adat yang
telah diwariskan nenek moyang terdahulu. Tegakkan hukum adat yang telah ada
ini, tidak hanya pada orang perorang, kelompok orang, tapi juga terhadap perusahaan
skala besar yang secara sewenang-wenang ingin merampas hak-hak kalian atas
sumber daya alam.*******