Keadilan tidak datang dari Pengadilan
Keadilan tidak seperti buah Durian
Ternyata Keadilan harus Direbut.
Putusan hakim tersebut cukup mengejutkan kedua tersangka. Karena berdasarkan salinan putusan yang diterima oleh kedua tersangka tersebut, setelah dicek-cross ternyata jauh berbeda dengan keterangan yang pernah disampaikan di persidangan Pengadilan. Seharusnya hakim mampu memberikan pertimbangan yang adil bagi keduanya. Karena apa yang dituntutkan Jaksa tidak sesuai dengan realita yang terjadi di lapangan. Ada beberapa penyataan di salinan putusan nampaknya ”dimanupulasi” oleh hakim. Contoh: ”dari beberapa keterangan yang disampaikan oleh saksi, terutama saksi yang memberatkan, tersangka selalu membenarkan pernyataan saksi tersebut”. Pada hal selama dalam proses persidangan kedua tesangka mengatakan keberatan atas saksi yang menurut mereka tidak benar. Menurut pengacara kedua terdakwa bahwa putusan hakim atas kedua tersangka mengada-ngada. Dan salinan putusan tidak sesuai dengan hasil pemeriksaan selama proses persidangan di pengadilan.
Seperti diketahui sebelumnya kasus ini bermula dari ditetapkannya Bukit Raya – Bukit Baka pada tahun 1987 sebagai Cagar Alam oleh Pemerintah dengan luas 70.500 ha. Dengan adanya penetapan tersebut otomatis telah membatasi akses Masyarakat Adat Sungkup terhadap hak-haknya atas tanah, hutan (kayu), rotan, bahkan untuk berladang tidak bisa. Pada tahun tersebut dilakukan perintisan batas wilayah Cagar Alam dengan wilayah Masyarakat Adat Sungkup yang melibatkan 31 orang warga Masyarakat Adat Sungkup. Pada tahun 1992 Cagar Alam BR-BK berubah status menjadi Taman Nasional Bukit Raya – Bukit Baka (TN BR-BK) dengan dikeluarkannya SK Menhut No. 281/Kpts-II/1992, tanggal 26-2-1992 luasan 181.090 Ha. Perubahan status dan penambahan luas TN BR – BK semakin mempersempit akses Masyarakat Adat Sungkup atas hak-haknya. Kondisi ini diperparah lagi dengan beroperasinya perusahaan HPH yang membuka jalan lewat wilayah adat mereka.
Dilihat dari proses awal terjadinya kasus ini, banyak hal yang tidak beres. Proses penangkapan sendiri tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku, saksi-saksi yang dihadirkan oleh Jaksa banyak yang tidak memahami kasus. Dengan bukti dan berdasarkan pemeriksaan di pengadilan, seandainya hakim punya hati nurani dan itikat yang baik maka Toro dan Pori akan bebas dari jeratan hukum. Itu baru hakim yang menegakan keadilan, tapi apa yang terjadi atas kasus ini, ternyata hakim tetap memutuskan bersalah bagi kedua tersangka yang selama ini menginginkan keadilan melalui hukum formal. Ternyata untuk mendapatkan keadilan melalui hukum formal (Pengadilan) sangat "mahal harganya" bagi Masyarakat Adat yang tidak punya duit.
Berdasarkan catatan kami, kasus-kasus Masyarakat Adat yang berkonflik dengan pihak perusahaan ataupun dengan pemerintah yang diproses di pengadilan, Masyarakat Adat tidak pernah dimenangkan. Sebut saja dibeberapa daerah lainnya di Kalbar, seperti kasus Masyarakat Adat Nyayat di Tebas yang berkonflik dengan Perusahaan Sawit. Tiga orang warga Nyayat harus rela tinggal di Rutan Singkawang setelah hakim memutuskan mereka bersalah karena melakukan perusakan dan pembakaran. Masyarakat Adat Sekadau juga harus menginap di Tahanan Polres Sanggau karena dituduh merusak kebun sawit. Padahal perusahaan sengaja menanam sawit di ladangnya yang masih ada padi. Ke 4 (empat) kasus di atas sudah cukup menggambarkan bahwa pengadilan itu bukan tempat untuk mencari keadilan. Ternyata keadilan itu harus direbut dan diperjuangkan. S e l a m a t Berjuang MA -ku.....!!! Keadilan masih jauh dari MA...!!!