by. agustinus
Lebih dari 20 orang pengurus dan perwakilan anggota Jaringan
Komunikasi Antar-Kampung (JAKA) di Kabupaten Melawi, pada 2 Oktober 2013 lalu mendatangi kantor
Pemda Kabupaten Melawi. Mereka dari berbagai kampung di Kecamatan Menukung,
diantaranya Kampung Bunyau, Sungkup, dan Belaban Ella. Kedatangan mereka
diterima langsung oleh Wakil Bupati, Sekretaris Daerah (Sekda), para Asisten
dan Kepala Bagian, beserta Pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Para
Pengurus dan Perwakilan JAKA ini ingin mempertanyakan komitmen Pemda Melawi
atas tuntutan atau aspirasi bersama setahun yang lalu. Tuntutan tersebut
disampaikan pada 22 Mei 2012 lalu.
Tuntutan Masyarakat Adat dari beberapa kampung anggota JAKA ini pada prinsipnya adalah adanya pengakuan
hukum dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) atau Surat Keputusan (SK) Bupati
terhadap hak-hak Masyarakat Adat atas wilayah
adat mereka. Pada pertemuan ini, Pemda Kabupaten Melawi yang diwakili oleh
Wakil Bupati beserta Perangkat Dinasnya menanggapi secara tertulis poin
per-poin atas 5 tuntutan JAKA.
Pertama: Pemerintahan Kabupaten Melawi harus menghormati hak-hak adat Bunyau,
Sungkup dan Belaban Ella. Tuntutan ini ditanggapi Pemda Kabupaten Melawi bahwa
Pemda Kabupaten Melawi sangat menghormati dan menghargai adat istiadat
masyarakat dengan telah dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Bupati tentang Pengangkatan
Temenggung/Punggawa di Lingkungan Pemda Kabupaten Melawi.
Kedua,
Pemerintah Kabupaten Melawi harus mengeluarkan Perda/SK Bupati tentang
Pengakuan dan Perlindungan Wilayah Adat Bunyau, Sungkup dan Belaban Ella. Tuntutan
ini tidak bisa dipenuhi. Pemda Kabupaten Melawi mohon maaf. Alasan Pemda, untuk memenuhi hal itu, harus
dilakukan telaah dan kajian mendalam agar tidak melanggar Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku.
Ketiga, Pemda Kabupaten Melawi harus mendukung usaha-usaha Masyarakat
Adat Bunyau, Sungkup dan Belaban Ella dalam mengembangkan perkebunan karet,
pertanian organik, perternakan dan perikanan. Menanggapi tuntutan ketiga, Pemda
Kabupaten Melawi menyampaikan bahwa proyek-proyek kegiatan sektor pertanian dan
perkebunan dilakukan melalui kelompok-kelompok di tiap desa, termasuk program
penerima Bansos SLPTT (Sekolah Lapangan Pertanian Tanaman Terpadu).
Keempat, Pemda Kabupaten
Melawi harus memposisikan diri sebagai fasilitator dalam menyelesaikan konflik
tanah dan sumber daya alam yang terjadi di Masyarakat. Dalam hal ini, Pemda Kabupaten
Melawi menyikapi sebagai permasalahan sosial masyarakat, dan Pemda akan melakukan
upaya menetralisasi sekaligus meminimalisir melalui musyawarah mufakat.
Kelima, Pemda
Kabupaten Melawi tidak lagi mengeluarkan izin-izin investasi besar (sawit,
tambang batu bara, HPH/IUPHHK) termasuk kawasan konservasi di wilayah
Masyarakat Adat Bunyau, Sungkup dan Belaban Ella. Pemda membuat penjelasan
bahwa sampai saat ini (2013) belum ada mengeluarkan/menerbitkan izin baru untuk
bidang pertambangan dan perkebunan khususnya di daerah Bunyau, Sungkup dan
Belaban Ella. Yang ada Pemda Kabupaten Melawi hanya mengeluarkan perpanjangan
izin lokasi: An. PT. Satria Manunggal Sejahtera (SMS), PT. Citra
Mahkota (CM) dan PT. Bintang Permata Khatulistiwa (BPK). Perusahaan-perusahaan ini merupakan
perusahaan perkebunan kelapa sawit yang wilayah konsesinya berada di Kecamatan
Menukung, Kabupaten Melawi.
Atas respon Pemda Kabupaten Melawi tersebut, Pengurus dan
Perwakilan Anggota JAKA beranggapan bahwa jawaban Pemda Kabupaten Melawi
tersebut jauh dari rasa memuaskan, bahkan hanya formalitas semata. Kihon, salah
seorang peserta pertemuan dari Kampung Sungkup mengungkapkan kekecewaanya atas jawaban Pemda Kabupaten Melawi yang sangat tidak sesuai
dengan harapan warga Masyarakat Adat Sungkup. “Kita telah meminta Pemda Melawi sejak 2012 agar segera
merealisasikan tututan JAKA tersebut. Jawaban mereka tidak kita tandatangani karena masih dipermasalahkan,” ujar Kihon.
Untuk itu, Pengurus dan Perwakilan Anggota JAKA tidak mau
menandatangani surat tanggapan Pemda Kabupaten Melawi tersebut. “Kami ini
mewakili lebih dari 40 Kampung di Kecamatan Menukung yang menjadi anggota JAKA.
Kami harus mampu mempertanggungjawabkan apa yang dimandatkan oleh anggota JAKA.
Jawaban Pemda Kabupaten Melawi ini sangat-sangat tidak sesuai dengan keinginan
Masyarakat Adat Anggota JAKA,” kata Pak Mijar, Ketua JAKA.
Ini
merupakan pembelajaran bagi Masyarakat Adat yang berhadapan dengan Pemerintah
Daerah. Banyak birokrasi dan kepentingan yang dipelihara serta dilindungi oleh
Pemerintah. Pemerintah bukan pelindung yang bisa menjadi tumpuan Masyarakat
Adat. Bagi mereka kepentingan Masyarakat
Adat hanyalah karung kosong, walaupun warga Masyarakat Adat-nya lapar (miskin),
dikriminalkan, tanah/lahannya digusur perusahaan, itu bukan tanggung jawab
pemerintah. Sikap Pemerintah yang
antipati mencerminkan kehadiran pemerintah hampir tidak berfungsi bagi
Masyarakat Adat, karena terkesan kaku, birokratik, protokoler, dan pro
investor. Masyarakat Adat masih harus
terus berjuang dari turun-temurun, karena sampai kapan pun setiap hak yang
melekat pantas untuk diperjuangkan. ***