TANAH AIR
Dayak Iban, Disegani tapi Tak Segan Berubah
Oleh A Handoko
Raymundus
Remang (38), Kepala Desa Batu Lintang, dan keluarganya berjalan
meninggalkan rumah-rumah betang dengan memanggul tonggak kayu. Mereka
bersiap-siap menugal, menanam bulir-bulir padi di lahan yang baru saja
dibakar.
Aktivitas
seperti itu lazim dilakoni oleh masyarakat subsuku Dayak Iban, setiap
pengujung musim kemarau. Pekan sebelumnya, Remang dan 25 keluarga
Iban—yang bersama-sama menghuni rumah betang Sungai Utik, Desa Batu
Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan
Barat—selesai membuka lahan.
Menyongsong
musim hujan, mereka membuka lahan dengan cara membakar semak belukar.
Agar api tidak merembet liar ke mana-mana, mereka melokalisasi kobaran
api dengan cara menumbangkan pohon-pohon di batas lahan. Alat-alat
pemadam juga sudah disiagakan, termasuk semprotan air yang terbuat dari
pohon bambu.
”Itulah
tradisi yang diajarkan nenek moyang kami. Kegiatan berladang tidak
menyebabkan kebakaran di luar lahan yang hendak diolah,” kata Remang.
Iban
adalah satu dari 186 subsuku Dayak di Kalimantan Barat. Pada masa lalu,
mereka sangat disegani karena keberanian para lelakinya menghadapi
musuh. Setelah era perang antarsuku berakhir, Iban terus bergerak
mengikuti perubahan.
Remang
menuturkan, bertani dengan cara berpindah-pindah sudah memasuki senja
kala bagi komunitas Iban. Dalam 3-4 tahun belakangan ini, ladang yang
sudah dibuka tak lagi ditinggalkan dan dibiarkan menjadi hutan lagi.
”Itu dulu! Sekarang warga kami sudah mulai mengenal budidaya karet
secara intensif,” kata Remang.
Masyarakat
Iban sejak tahun 1960-an sudah hidup sebagai penyadap karet yang tumbuh
liar di hutan. Namun, belakangan mereka bergeser menjadi pembudidaya
karet di lahan yang diolah. Interaksi sosial dengan komunitas masyarakat
lain yang kian mudah membuat masyarakat Iban paham bahwa mengelola
karet secara intensif lebih menjanjikan ketimbang menyadap karet yang
tumbuh liar.
Dengan
menyadap karet di hutan, mereka hanya bisa mendapat getah 5 kilogram
per hari. Bandingkan dengan hasil yang didapat dari kebun (budidaya)
yang mencapai 20 kilogram per hari per hektar. Harga karet paling rendah
adalah Rp 18.000 per kilogram.
Perubahan
sosial pada masyarakat Iban boleh dibilang baru. Ini tak lepas dari
terlambatnya infrastruktur pendidikan dan jalan raya masuk ke lokasi
komunitas Dayak Iban berdiam di wilayah utara Kalimantan Barat dan area
perbatasan dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia.
Elye
Kote (60), perintis sekolah di Sungai Utik, mengatakan, masyarakat Iban
baru mengenal pendidikan formal pada tahun 1974 saat pertama kali
didirikan sekolah melalui instruksi presiden. Masyarakat Iban lebih
mengenal sekolah itu dengan sebutan sekolah kulit kayu dibandingkan
dengan sekolah inpres karena dinding dan lantainya berasal dari kulit
kayu.
”Tahun
1965 saya mulai ditugaskan ke Sungai Utik, tetapi belum ada sekolah.
Sekolah baru dibangun tahun 1974,” kata Kote. Infrastruktur jalan baru
mulai menembus wilayah Embaloh Hulu tahun 1992. Dua hal ini yang
menyebabkan perubahan sosial masyarakat Iban berlangsung agak lamban.
Demikian juga peran mereka dalam bidang sosial-politik di Kabupaten
Kapuas Hulu dan Provinsi Kalimantan Barat.
Wakil
Bupati Kapuas Hulu Agus Mulyana yang berasal dari Dayak Iban di
Kecamatan Batang Lupar, Kapuas Hulu, mengatakan, jalan dari Putussibau,
ibu kota Kapuas Hulu, ke Nanga Badau yang berbatasan dengan Sarawak baru
bisa dilalui mobil tanpa hambatan pada 2011. Jalan itu melintasi
wilayah masyarakat Iban yang berada di Kecamatan Embaloh Hulu, Batang
Lupar, dan Benua Martinus.
”Sebelum
ada jalan itu, moda transportasi yang bisa diandalkan adalah sungai,
dipadu jalan kaki. Saya termasuk generasi yang masih merasakannya,” kata
Agus.
Tangguh
Dayak
Iban dikenal tangguh semasa perang antarsuku yang juga dikenal dengan
masa pengayauan. Mengayau secara harfiah diartikan dengan memenggal
kepala musuh pada masa perang antarsuku. Perang dengan perilaku itu
kemudian oleh semua subsuku Dayak yang mendiami Pulau Borneo (sekarang
masuk negara Indonesia, Malaysia, dan Brunei) dihentikan tahun 1894
melalui Perjanjian Damai Tumbang Anoi dalam rapat akbar di Tumbang Anoi,
Kalimantan Tengah.
Dalam buku Mozaik
Dayak, Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat
(terbitan Institut Dayakologi, 2008) disebutkan, orang Iban—juga dikenal
dengan orang Batang Rejang atau Majang— adalah suku yang piawai dalam
perang. ”Tak sedikit wilayah yang ditaklukkan dan dikuasai laksana
’agresor’,” tulis Sujarni Alloy, Albertus, dan Chatarina Pancer
Istiyani, peneliti Institut Dayakologi, dalam buku itu.
Kendati
begitu, masyarakat Iban dikenal memiliki sifat baik. Semasa perang
konfrontasi Indonesia-Malaysia (1962-1965) dan penumpasan PGRS/Paraku
(1967) mereka banyak membantu Tentara Nasional Indonesia menunjukkan
tempat persembunyian musuh di perbatasan.
Meski
mengikuti perubahan zaman dalam beberapa hal, sebagian masyarakat Iban
di Kapuas Hulu masih mempertahankan tradisi hidup komunal di rumah
betang dan menjaga hutan adat mereka. Tuai (kepala) rumah betang Sungai
Utik, Bandi, mengatakan, hidup komunal di rumah betang tetap
dipertahankan untuk memupuk solidaritas dan gotong-royong.
”Soal
hutan, kami tidak bisa ditawar. Hutan adalah sumber kehidupan. Di sini
tidak pernah ada cerita kekurangan air dan kekurangan pangan,” katanya.
Bandi
mengungkapkan, sejumlah perusahaan hak pengusahaan hutan dan perkebunan
kelapa sawit serta perusahaan pertambangan mencoba merayu masyarakat
adat untuk menyerahkan hutannya. Namun, mereka tetap bergeming.
Camat
Embaloh Hulu, Hermanus, mengatakan, masyarakat Iban di Embaloh Hulu
bersama para kepala desa membuat kesepakatan untuk menolak masuknya
perkebunan kelapa sawit dan eksploitasi hutan adat.
Itulah yang membuat Iban tetap disegani di tengah perubahan zaman.
Tato, Simbol Diri
Oleh Agustinus Handoko
Masyarakat
subsuku Dayak Iban memiliki tradisi menato tubuh mereka. Selain menjadi
ciri khas, tato adalah simbol keberanian masyarakat Iban. Lihatlah
Klaudis Kudi (74), salah seorang generasi tua Dayak Iban, yang hampir
sekujur tubuhnya berhiaskan tato. Dulu, simbol keberanian. Kini,
bermakna kenangan.
Menato
tubuh adalah tradisi nenek moyang kami. Saat perang suku, tato menjadi
semacam tanda pengenal,” kata Kudi. Ia adalah tetua adat Dayak Iban di
Kampung Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu,
Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Selain
Kudi, di Sungai Utik ada Antonius Kidau (73) dan Bandi (81) yang
memiliki tato hampir di seluruh tubuhnya. Kudi dan Kidau menato tubuhnya
saat sama-sama merantau ke beberapa tempat di Sarawak mulai sekitar
tahun 1970. Bandi juga menato tubuhnya saat merantau ke Miri, Sarawak,
tahun 1959.
Kidau
mengatakan, dulu tato dibuat menggunakan alat sederhana, yakni
jarum-jarum yang disatukan. ”Goresan bergaris hanya perlu satu jarum,
tetapi untuk gambar yang memiliki bidang luas perlu sedikitnya 12 jarum
yang disatukan dan ujungnya dibatasi dengan benang,” katanya.
Batas
benang itu dipakai untuk membatasi seberapa dalam jarum akan masuk ke
kulit. Jarum-jarum yang sudah dicelupkan ke pewarna akan dipukul-
pukulkan perlahan ke bidang kulit yang hendak ditato.
”Kami
masih menggunakan pewarna tato yang dibuat dari jelaga lampu minyak
yang dicampur dengan air tebu,” kata Kidau. Untuk membuat tato, mereka
perlu mengumpulkan jelaga yang sengaja mereka buat dengan menaruh seng
di atas lampu minyak. Jelaga akan terkumpul di seng yang langsung
terkena api dari lampu minyak.
Air
tebu bercampur jelaga masih harus dikeringkan selama beberapa hari
hingga menjadi kristal. Kristal hitam itu kemudian dicairkan lagi saat
hendak dipakai. Luka yang dihasilkan dari jarum-jarum itu akan menjadi
koreng dan ketika koreng sudah sembuh tertinggallah warna hitam sesuai
pola yang digambar saat menato.
”Pertama
kali ditato, badan demam selama beberapa hari. Setelah itu, setiap kali
ditato masih tetap terasa sakit, tetapi tidak demam lagi. Yang paling
sakit adalah tato di rusuk dan leher karena kulitnya tipis dan terasa
sampai ke tulang. Tato penuh satu badan ini tidak dibuat dalam sekali
menato, tetapi belasan kali,” ujar Kudi menunjukkan tato di tubuhnya.
Tato
juga umumnya dimiliki oleh para lelaki Iban saat ini, tetapi tidak
sebanyak yang dimiliki oleh generasi tuanya. Kepala Desa Batu Lintang
Raymundus Remang (46) mengatakan, menato tubuh juga memerlukan nyali
karena dulu alat tato masih tradisional. ”Generasi setelah saya ada juga
yang masih punya tato, tetapi sudah menggunakan mesin sehingga tidak
sesakit menggunakan tato tradisional,” kata Remang.
Pada
masa lalu, tato adalah alat identifikasi paling mudah bagi masyarakat
Iban. Saat perang suku, tato itulah yang digunakan oleh masyarakat Iban
untuk mengenali siapa lawan dan siapa kawan mereka.
JU
Lontaan dalam Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat
(1975: Pemda TK I Kalbar) menyebutkan, selain menjadi hiasan badan, tato
pada masa lalu merupakan tanda bahwa seseorang telah berbuat sesuatu.
”Pada pria, misalnya sudah membunuh (mengayau saat perang suku) atau
menolong orang,” begitu Lontaan mendeskripsikan tato.
Setelah
masa perang suku dan mengayau (memenggal kepala musuh saat perang suku)
berakhir melalui Perjanjian Damai Tumbang Anoi Tahun 1894 di Tumbang
Anoi, Kalimantan Tengah, makna tato mulai bergeser. Dari semula menjadi
identitas dan tanda setelah mengayau, tato lalu menjadi tanda bagi
seseorang yang merantau.
”Setelah
perang suku tak ada lagi, tato dibuat untuk mengingat tempat-tempat
perantauan karena zaman itu tidak semua orang berani keluar meninggalkan
tempat tinggalnya,” kata Kudi.
Walaupun
dipakai untuk mengingat tempat-tempat istimewa yang pernah dikunjungi
oleh setiap masyarakat Iban, gambar atau bentuk tato ternyata bukan
gambaran tempat yang mereka kunjungi. Gambar tato yang dipakai oleh
komunitas Iban justru umumnya sama.
Kidau
mengatakan, ada beberapa bentuk tato yang umum dipakai masyarakat,
merujuk pada tato yang dipakai oleh nenek moyang orang Iban. Gambar tato
yang banyak dipakai masyarakat Iban itu di antaranya ukir degug,
kalapah, bilun, ketam itit, dan bunga terung. Ukir degug adalah simbol
identitas masyarakat Dayak Iban yang ada di leher depan. Bentuknya bulat
memanjang dari leher bawah hingga di bawah dagu.
Kalapah dan bilun adalah simbolisasi berbentuk manusia. Kalapah biasanya ditato di paha, sementara bilun di betis.
Ketam
itit adalah gambaran kepiting yang sedang menjepit, umumnya berupa
gambar kembar di punggung kiri dan kanan. Serupa dengan ketam itit,
bunga terung juga merupakan gambar kembar di antara atas dada dan pundak
kanan kiri.
Remang
mengatakan, kalangan wanita dari generasi tua Iban ada juga yang
memiliki tato, tetapi umumnya ada di belakang telapak tangan dan jari.
”Pada masa lalu, tato itu menjadi semacam simbol bahwa seorang perempuan
sudah memiliki keahlian menganyam dan siap menikah. Sekarang sudah
jarang wanita yang bertato,” katanya.
Ketua
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalbar Sujarni Alloy mengatakan, saat
ini belum ada sensus khusus terhadap populasi setiap subsuku Dayak di
Kalbar. Namun, ia memperkirakan jumlah populasi masyarakat Dayak Iban
ada 12.000 jiwa. Mereka adalah subsuku Dayak dengan populasi terbanyak
ketiga di Kalbar.
Alloy
menambahkan, Iban adalah satu dari 186 subsuku Dayak di Kalbar. ”Kalau
dibedakan dari linguistik, suku Dayak di Kalbar terbagi dalam sekitar
300 kelompok,” katanya.
Sebagian
generasi muda Iban masih ada yang mempertahankan seni tato itu. Namun,
umumnya tertoreh di tangan dan jumlahnya tidak sebanyak generasi tua.
Sumber:
http://cetak.kompas.com/read/2011/10/08/05274747/dayak.iban.disegani.tapi.tak.segan.untuk.berubah
http://cetak.kompas.com/read/2011/10/08/05274747/dayak.iban.disegani.tapi.tak.segan.untuk.berubah
Diposting lagi oleh: Een Irawan Putra lewat adatlist.