Kamis, 30 Oktober 2008

Banjir Bandang Menerjang Kecamatan Ella Kab. Melawi Kalbar


Menghayutkan 200-an Rumah Penduduk dan 1000-an Rumah
Lainnya Tenggelam

Curah hujan yang tinggi di awal bulan September menyebabkan musibah bagi masyarakat yang bermukim di aliran sungai Melawi dan sungai Ella Hilir. Musibah banjir yang disertai dengan arus yang deras tidak hanya menghayutkan batang-batang kayu dari hulu sungai Ella, tapi juga disertai dengan kondisi air yang kotor dan berlumpur. Tapi yang cukup menyedihkan adalah bajir ini telah menghayutkan tidak kurang dari 200-an rumah penduduk dan 1.000-an rumah lainnya tenggelam. Masyarakat masih beruntung karena musibah banjir tersebut tidak menelan korban jiwa. Namun masyarakat tidak dapat menjalankan aktivitasnya seperti biasa, karena ladang, kebun karet dan tempat lainnya yang merupakan tempat mereka mencari sumber penghidupan juga ikut tenggelam. Masyarakat hanya bisa pasrah menghadapi banjir, karena tidak ada yang bisa dibuat selain menyelamatkan harta benda dari genangan air yang hampir mencapai 1 – 2 meter tersebut. Kerugian akibat musibah ini tidak kurang dari 500 Juta Rupiah.

Kejadian berawal dari curah hujan yang terjadi pada tanggal 4 – 9 September 2008 di Kecamatan Ella Hilir Kabupaten Melawi. Hampir seluruh rumah penduduk yang berada di pinggir sungai melawi dan sungai ella tenggalam. Berdasarkan pengamatan di lapangan pada tanggal 5 September, ada 2 buah rumah semi permanen di dekat jempatan penyeberangan sungai Ella Hilir hanyut terbawa arus air. Sehingga ke dua rumah tersebut sampai menyeberangi jalan raya yang menghubungkan kota Nanga Pinoh dan Kota Kecamatan Ella. Pada hal rumah tersebut selain digunakan untuk tempat tinggal juga sebagai toko yang menjual barang-barang makan pokok (sembako). Pemilik rumah masih sempat menyelamtkan dirinya, namun barang-barang yang ada di dalam rumah tidak bisa diselamatkan oleh penghuninya. Menurut bapak yang punya rumah, “kerugian akibat banjir tersebut tidak kurang dari 100-an Juta Rupiah”. “Tidak pernah mengalami banjir seperti ini selama hidupnya”, kata dia lagi sambil menunjukan bumbung rumah yang masih timbul.

Menurun beberapa warga yang sempat ditanya, bahwa ini merupakan banjir yang ke tiga kalinya. Banjir yang pertama kalinya terjadi pada tahun 1960-an dan disusul pada tahun-tahun berikutnya. Namun banjir sebelumnya tidak pernah seperti ini, kata mereka. “Mungkin ini yang dinamakan dengan banjir banding”, tambah warga yang lainnya. “Baru ini saja kami mengalami banjir besar seperti ini, sampai menghayutkan 100-an rumah penduduk yang ada diperhuluan sungai Ella. Dulu-dulunya tidak pernah ada banjir sampai begitu derasnya dan terjadinya pada malam hari lagi. Masih untuk warga yang rumahnya hanyut dapat menyelamatkan diri,” kata mereka lagi. Dilihat dari wajah dan tatapan warga pada waktu menceritakan musibah banjir, mereka masih ketakutan dan kwatir jangan-jangan kejadian pada tanggal 5 tersebut terulang kembali. Mengingat hingga ditulisnya beritanya, hujan masih tetap turun siang-malamnya. “Sekarang ini kami masih dalam keadaan trauma, kami berharap ada bantuan dari pemerintah setempat untuk menangani banjir ini,” harapan warga masyarakat.

Terjadinya musibah banjir tidak terlepas dari perubahan sumber daya alam, khususnya tidak ada lagi hutan sebagai penampung air hujan diperluan sungai Ella dan sungai Melawi. Hutan di perluan sungai tersebut sudah sangat menipis, sehingga tidak mampu lagi menampung curahnya air hujan. Menipisnya hutan tersebut bukan dikarenakan oleh perubahan alam itu sendiri, tapi karena ulah segelintir orang yang ingin memperkaya dirinya sendiri. Ternyata di hulu sungai Ella ada beberapa perusahaan HPH yang masih aktif melakukan penebangan kayu. Kayu-kayu yang ditebang tidak hanya kayu produksi yang ada di dataran rendah, tapi yang sangat menyedihkan adalah kayu-kayu yang difungsinya sebagai penyangga agar tidak longsor tidak ketinggalan untuk ditebang. Bukit-bukit yang berisi kayu di hulu sungai Ella sudah hampir habis ditebang oleh salah perusahaan yang bergerak di bidang HPH. Bukan hanya perusahaan HPH saja yang beroperasi, tapi para penambang emas di aliran sungai Ella dan Melawi juga ikut adil menyebabkan terjadinya musibah bajir.

Ibu Kota Pinoh sendiri tidak tertinggal dari genangan air. Pada tanggal 6 – 11 September 2008 puncaknya air menenggelamkan kota Pinoh. Di kota ini banjir sudah sampai di tugu persimpangan empat. Pada hal daerah tugu tersebut merupakan daerah dataran tinggi. Banjir ini menyebabkan banyak warga yang mengungsi tempat keluarganya di daerah-daerah yang lebih tinggi seperti ke jalan km 04 atau ke daerah-daerah lainnya. Selain mengungsi, ada juga warga yang bertahan di rumahnya terutama bagi mereka yang memiliki rumah bertingkat. Tidak bisa dibanyangkan bagi rumah-rumah yang terletak di pinggir sungai Melawi dan Sungai Pinoh. Aktivitas ekonomi masyarakat lumpuh total. Kendaraan umum (bis) dari Kota Pontianak tidak bisa masuh ke Kota Pinohnya.

Kalau pemerintah tidak serius menangani persoalan lingkungan hidup dan sumber daya alam lainnya, tidak menutup kemungkinan pada tahun 2010 kota-kota dan pemukiman penduduk di Kalbar yang berada di pinggir aliran sungai akan tenggelam. Saat sekaranglah pemerintah daerah/kota dan pengambil kebijakan di Negara ini berkaca dari kejadian-kejadian sebelumnya. Jangan sampai terjadi korban yang lebih banyak lagi, seperti di Aceh yang terkena tsunami. Coba tinjau ulah ijin-ijin yang diberikan kepada perusahan-perusahaan besar yang jelas-jelas merusak alam beserta isinya. Apabila perlu cabut ijin-ijin perusahaan tersebut sebelum “alam ini lebih murka lagi”. Dan jangan lagi terbitkan ijin-ijin baru bagi perusahaan seperti perkebunan skala besar (sawit, HTI), perusahaan HPH, pertambangan emas dan batu bara. Berilah kedaulatan kepada rakyat untuk mengelola sumber daya alam beserta isinya. Karena merekalah yang secara turun-temurun terbukti mengelola sumber daya alam beserta isinya dengan tidak merusak lingkungan.

Rabu, 29 Oktober 2008

Sengketa Kawasan Hutan Antara MA Ketemenggungan Siyai Vs TN Bukit Baka - Bukit Raya


Penanda Tanganan Kesepakatan Bersama antara MA Siyai dan TN BB - BR untuk Menyelesaikan Sengketa Kawasan Hutan

Sungkup – Konflik penguasaan kawasan hutan antara Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai dan Taman Nasional Bukit Baka – Bukit Raya (TN BK-BR) Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi sudah berlangsung lama. Konflik muncul bermula dari dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehutanan tahun 1992 tentang perubahan status hutan alam menjadi hutan konservasi dengan nama Taman Nasional Bukit Baka – Bukit Raya. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 281/Kpts-II/1992 tidak hanya mengubah fungsi hutan, tapi juga sudah menambah jumlah luas kawasan yang dijadikan Taman Nasional BK-BR. Sehingga membatasi akses Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai atas tanah, hutan dan sumber daya alam lainya.

Sebelum ditetapkan sebagai kawasan TN BK – BR oleh Menteri Kehutanan pada tahun 1992, hak penguasaan kawasan hutan ini merupakan hak Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai, Ketemenggungan Masyarakat Adat Kenyilu di Jalur Mentatai dan Ketemenggungan Masyarakat Adat Uut Danum di Jalur Serawai. Masyarakat Adat yang menempati kawasan ini mayoritasnya adalah Masyarakat Adat Dayak (Limbai, Kenyilu, Ransa, Kubing, Uut Danum). Selain oleh Masyarakat Adat Dayak di Kalbar kawasan ini juga masuk dalam wilayah Masyarakat Adat Dayak Katingan di Kalimantan Tengah. Sehingga TN BB-BR merupakan gabungan 2 wilayah propinsi, yaitu propinsi Kalimantan Barat dan Propinsi Kalimantan Tengah.

Wilayah ini sudah ditempati oleh Masyarakat Adat di Ketemenggungan Siyai sejak lama. Yang jelas sebelum Negara Indonesia Merdeka Masyarakat Dayak Limbai dan Masyarakat Adat Dayak lainnya sudah menempati wilayah ini. Berdasarkan informasi yang diperoleh dengan cara diskusi, wawancara dan pertemuan bersama warga Masyarakat Adat di Sungkup, bahwa mereka tidak mampu lagi mengingat kembali sejak kapan nenek moyang mereka menempati dan menguasai wilayah ini. Namun mereka hanya mampu mengingat bekas-bekas rumah panjang termasuk nama orang-orang yang pertama kali mendirikan, batas-batas wilayah kampung, desa bahkan batas Ketemenggungan dengan wilayah-wilayah tetangga, tempat-tempat keramat, dan tempat-tempat pertahanan pada jaman Belanda dulu. Batas-batas wilayah ketemenggungan mereka buktikan dengan tanam tumbuh, bukit, sungai dan lereng bukit sebagai tanda batas wilayah. Dan dari situ tidak pernah ada konflik dengan wilayah-wilayah tentangga mengenai tata batas, karena sudah disepakati dan ditaati secara turun temurun oleh ke dua belah pihak.

Keberadaan Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai mulai terusik kehidupannya pada tahun 1980-an. Pada tahun tersebut mulai masuk berbagai jenis aktivitas perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan. Sebut saja perusahaan PT. SBK tahun 1978, masuknya kebijakan Taman Nasional dan perusahaan lainnya. Kedatangan para perusahaan ini yang semula dianggap Masyarakat Adat akan membawa perubahan yang lebih baik bagi kehidupan mereka, ternyata dalam perjalanannya malah membuat konflik. Konflik antara Masyarakat Adat dan perusahaan tidak dapat dihindari. Konflik terjadi karena tidak dipenuhinya janji-janji oleh perusahaan seperti yang pernah diucapkan pada awal perusahaan masuk. Selain itu konflik mucul karena Masyarakat Adat tidak dijinkan oleh perusahaan (PT. SBK) menggunakan jalan perusahaan. Padahal perusahaan sendiri mengambil kayu, batu dan sumber daya alam lainnya di wilayah Masyarakat Adat. Setelah sekian lama perusahaan untung dengan mengambil harta kekayaan milik Masyarakat Adat yang berupa kayu, tanah, batu dan sumber kekayaan alam lainnya maka perusahaan tidak lagi mau peduli dengan kawajiban-kewajibannya terhadap Masyarakat Adat.

Akses Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai atas hutan, tanah dan sumber daya alam lainnya semakin terjepit dengan dietapkannya sebagian wilayah adat mereka diklim sepihak oleh pihak Taman Nasional sebagai kawasan TN BB – BR pada tahun 1992. Dari sinilah benih-benih konflik antara Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai dan TN BB – BR makin memuncak. Apalagi pihak TN BB – BR tidak pernah melakukan dialog/diskusi atau sosialisasi mengenai perubahan patok batas TN BB – BR tersebut. Selain itu, beberapa kali Masyarakat Adat mengundang pihak TN BB – BR untuk berdialog mengenai perubahan batas TN tapi tidak pernah ditanggapi serius. Konflik semakin memuncak sejak ditanggapnya 2 (dua) orang warga Masyarakat Adat Sungkup oleh Polres Melawi pada tahun 2007. Penangkapan warga Sungkup karena ada laporan dari pihak TN BB – BR ke Polres Melawi atas tuduhan membuka ladang di areal TN BB – BR. Penangkapan tersebut terjadi di pondok ladang, sedangkan yang satunya hanya dipanggil sebagai saksi, tapi akhirnya dijadikan tersangka oleh polisi. Akhirnya ke-2 (dua) orang tersebut disidangkan di pengadilan negeri Sintang. Tidak kurang 13 (tiga belas) kali sidang di PN Sintang dan akhirnya hakim memutuskan ke-2 (dua) orang tersebut terbukti bersalah dengan hukuman 7 (tujuh) bulan penjara dan denda 50 juta rupiah kepada masing-masing terdakwa. Merasa dirinya tidak bersalah dan tidak terima dengan putusan hakim, maka ke – 2 (dua) terdakwa mengajukan banding melalui pengacaranya ke Pengadilan Tinggi di Pontianak. Hingga sekarang belum ada keputusan dari pengadilan tinggi.

Berdasarkan pengamatan di lapangan (tempat ladang), bahwa ladang yang dimaksud adalah ladang bekas tahun sebelumnya. Karena tidak jadi dibakar, maka mereka menebasnya lagi dan tidak ada menebang pohon kayu. Tidak hanya 2 (dua) orang saja yang berladang di tempat tersebut, tapi ada 5 (lima) orang yang semuanya adalah warga Masyarakat Adat Sungkup. Kalau mengacu pada hasil pemetaan parsipatif tahun 1998 yang difasilitasi oleh PPSDAK – Pancur Kasih bekerjasama NRM-2/EPIQ, Unit TN BB-BR, LIT-BANG, Kanwil Dept. Kehutanan Kab. Sitntang, PT. SBK Kab. Ketapang bahwa kawasan tempat berladang merupakan hak penguasaannya oleh warga Masyarakat Adat Sungkup. Pemetaan partisipatif sendiri dilakukan untuk mengantisipasi konflik yang akan muncul antara Masyarakat Adat dan TN BB-BR serta dengan pihak perusahaan PT. SBK dalam hal pengusaan kawasan hutan.

Atas putusan pengadilan tersebut tidak hanya naik banding untuk mencari keadilan. Tapi warga Masyarakat Adat Sungkup juga mengambil inisiatif lain untuk menghadapi kasus yang sedang terjadi. Mereka mengundang para pihak yang memiliki kepentingan atas kasus tersebut untuk berdiskusi, berdialog sehingga menemukan jalan keluar bersama-sama. Atas inisiatif Masyarakat Adat Sungkup di atas, maka tanggal 3 – 4 Oktober 2008 bertempat di Rumah Panjang dilaksanakanlah pertemuan yang melibatkan Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai, TN BB – BR Sintang; Muspika Kec. Menukung; Dewan Kehutanan Nasional (DKN) di Jakarta dan LSM (HuMa Jakarta, LBBT, AMAN Kalbar, JAKA). Yang tidak hadir dalam pertemuan tersebut adalah DPRD dan Pemda Melawi. Berdasarkan masukan dari berbagai pihak dalam pertemuan tersebut, akhirnya diperoleh kesepakatan antara Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai dan TN BB – BR untuk membentuk tim perumusan penyelesaian konflik yang terjadi. Pembentukan tim dibuat berita acara kesepakatan yang ditandatangani oleh perwakilan Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai dan TN BB – BR serta saksi-saksi lainnya. Tim ini nanti bertugas untuk merumuskan sebuah rekomendasi yang nantinya akan diajukan kepada pemerintah (Pusan, Daerah, Dishut, BKSDA, DKN) sebagai bahan pertimbangan dalam menyelesaikan konflik tersebut. Hingga saat ini tim telah melakukan beberapa kali konsolidasi dalam rangka mengumpulkan/menghimpun data dan informasi yang mendukung kerja tim.

Seperti diketahui, bahwa bukan kali ini saja Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai melakukan upaya-upaya penyelesaikan konflik dengan TN BB-BR. Setelah penagkapan Pak Toro oleh Polres, maka pada tanggal 30 Agustus 2007 Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai mengadakan pertemuan di Kecamatan Menukung. Pertemuan ini sendiri untuk membahas mengenai kejelasan tata batas antara TN BB – BR, PT. SBK dengan wilayah Masyarakat Adat. Hadir dalam pertemuan tersebut antara lain: - Wakil Camat, Wakil Kapolsek, Wakil Danramil Menukung, dan staf Kecamatan Menukung. Sedangkan pihak TN BB – BR dan PT. SBK tidak hadir dalam pertemuan. Pada hal ke dua belah pihak tersebut sangat diperlukan untuk diminta keterangannya mengenai keberadaan TN BB – BR dan hubungannya dengan PT. SBK. Karena tidak hadirnya pihak TN BB – BR dan PT. SBK, maka pertemuan tersebut tidak menghasilkan apapun.

Karena tidak menghasilkan keputusan apa-apa pada pertemuan pertama, maka Camat Menukung mengambil inisiatif untuk membuat undangan secara resmi kepada pihak TN BB – BR dan PT. SBK supaya dapat menghadiri pertemuan lagi. Atas undangan Camat Menukung tersebut, maka pada tanggal 4 September 2007 dilaksanakan pertemuan kedua kalinya di Kecamatan Menukung. Selain Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai yang hadir, juga hadir sebanyak 4 orang pihak TN BB – BR, Camat, wakil Kapolsek, wakil Danramil dan staf Kecamatan Menukung. Lagi-lagi tidak ada hasil dari pertemuan tersebut. Hal ini disebabkan oleh pihak TN BB – BR yang hadir tidak berani menjeleskan mengenai tata batas TN, karena harus koordinasi dengan ketua balai TN BB – BR di Sintang.

Beginilah birokrasi di pemerintahaan Indonesia hingga saat ini. Untuk berdialog dan berdiskusi mengenai konflik Masyarakat Adat dengan pihak pemerintah atau pihak perusahaan harus ada ijin dulu dari atasan baru bisa mengambil keputusan. Pada hal Masyarakat Adat sudah cukup sabar menti keputusan atas konflik yang mereka hadapi dari pihak pemerintah...... Mari lawan terhadap kaum penindas dan perampas hak-hak rakyat.

Rabu, 22 Oktober 2008

Batu Bara di Kecamatan Serawai Kab. Sintang

Perempuan Adat Dusun Gurung Permai Kecamatan Serawai Mengusir

Tim Survey Pertambangan Batu Bara beserta Muspika Serawai

Serawai - Kejadian ini bermula pada hari Sabut tanggal 18 Oktober 2008, ketika tim survey dari PT. Heravika Kalsindo datang ke Dusun Gurung Permai, Desa Gurung Sengiang Kecamatan Serawai Kabupaten Sintang. Perusahaan ini sendiri bergerak di bidang pertambangan. Areal utama perusahaan ini terletak di bukit kerapas, bukit alat dan bukit bunyau. Kedatangan tim survey pertambangan batu bara berbekal surat tugas yang dikeluarkan oleh Bupati Sintang. Inti dari surat tugas tersebut adalah memberikan ijin kepada tim survey batu bara untuk melakukan penyidikan atas potensi batu bara yang ada di wilayah masyarakat adat Desa Sengiang. Waktu yang diberikan oleh Bupati Sintang adalah selama 1 (satu) bulan dimulai dari tanggal 24 September – 24 Oktober 2008. Ada 7 (tujuh) orang tim survey yang datang salah satunya adalah Direktur Perusahaan pertambangan batu batu bara yang bernama Ir. Agung dan satu orang lagi konsultanya bernama Wisman, sedangkan yang lainnya adalah tim teknis lapangan. Kedatangan rombongan ini tidak sendiri. Ikut dalam rombongan tim survey batu bara ada dari pihak Kecamatan Serawai, yaitu: Camat, Polsek, dan Wakil Danramil serta 8 (delapan) orang warga Masyarakat Desa Mentibar ditambah 3 (tiga) orang warga Desa Gurung Sengiang Kecamatan Serawai, Kapaten Melawi

Pada hari hari Jumat tanggal 17 Oktober 2008 pihak Kecamatan Serawai talah mengadakan suatu pertemuan yang diberi judul ”Penyuluhan Hukum” dengan pesertanya adalah para Kepala Desa Serawai dan instansi pendidikan di Serawai. Pertemuan ini sendiri dimanfaatkan oleh pihak kecamatan melakukan sosialisasi mengenai kedatangan tim survey pertambangan batu bara ke wilayah Kades masing-masing. Berdasarkan informasi dari warga yang tidak mau disebutkan namanya bahwa tidak ada penyuluhan hukum, yang ada adalah sosialisasi tentang keberadaan tim survey pertambangan batu bara dari PT. Heravika Kalsindo yang akan melakukan penyidikan batu bara di wilayah Desa Gurung Sengiang Dusun Gurung Permai. Diminta kepada para Kepala Desa agar memberitahukan kepada Kepala Dusunya masing-masing agar mau menerima dan mengantar tim survey batu bara tersebut.

Mengacu kepada hasil pertemuan yang diselenggarakan oleh pihak Kecamatan Serawai, maka Pjs. Kepala Desa (Kades) Gurung Sengiang menginformasikan kepada Kepala Dusun agar mau mengijinkan dan mengantar tim survey pertambangan batu bara masuk ke wilayah Dusun Gurung Permai. Berbekal instruksi dari Pjs. Kades Gurung Sengiang, maka pada malam Jumat tanggal 17 Oktober 2008 Kadus Gurung Permai mengajak warganya berkumpul di rumah kadus guna menyikapi rencana kedatangan tim survey pertambangan batu bara tersebut. Musyawarah pun dilakukan di rumah Kadus. Dari diskusi panjang lebar, karena sempat terjadi pro dan kontra atas kehadiran tim survey. dari musyawarah tersebut warga akhirnya menemukan kata sepakat untuk membuat surat penolakan terhadap kehadiran tim survey pertambangan batu bara. Surat penolakan yang dibuat langsung ditandatangani dan ada yang menggunakan cap jempol oleh seluruh warga Dusun Gurung Permai.

Pada hari Sabtu, tanggal 18 Okboter 2008 jam 08.00 Wib Masyarakat Adat Dusun Gurung Permai Desa Gurung Sengiang sudah berkumpul di rumah Kadus menunggu kedatangan tim survey pertambangan batu bara. Ternyata rombongan tim survey yang didampingi oleh Muspika Serawai datang pada pukul 14.00 Wib (jam 2 siang) ke Dusun Gurung Permai. Tidak kurang setengah hari Masyarakat Adat menunggu kedatangan rombongan tim survey. Situasi ini semakin membuat Masyarakat Adat kecewa bercampur marah karena mereka sudah menyita waktu kerja ke ladang, ke kebun karet dan kegiatan lainnya yang merupakan kegiatan rutinitas.

Setibanya rombongan tim survey beserta Muspika Serawai, yang pertama ditanya Camat adalah Pjs. Kepala Desa Gurung Sengiang. Camat mengatakan apakah Pjs. Kades sudah menginformasikan kedatangan mereka ke warganya. Pjs. Kades hanya mengatakan bahwa: “sudah memberitahukan kepada Kepala Dusun Gurung Sengiang agar menerima dan mengantarkan tim survey batu bara”. Setelah itu Pak Camat langsung membacakan surat tugas yang dikeluarkan oleh Bupati Sintang yang intinya mengijinkan tim survey pertambangan batu bara masuk ke wilayah Serawai. Pak Camat mengatakan kalau perusahaan petambangan batu bara masuk maka akan membuka lapangan kerja bagi masyarakat, menambah pendapatan (ekonomi) masyarakat meningkat, perusahaan akan membuat jalan tembus dari dusun ke dusun dan sebagainya. Mengenai pemukiman penduduk yang terkena langsung areal pertambangan, Camat mengatakan bahwa “pemukiman penduduk yang tekena langsung areal pertambangan akan dipindahkan”. Terutama pemukiman penduduk yang barada di kaki bukit alat akan di pindahkan ke seberang sungai gurung’, kata camat lagi. Sehingga Camat menghimbau agar para Kadus dapat mengijinkan dan mengantar tim survey batu bara melakukan penyidikan untuk mengetahui muta batu bara yang ada di wilayah ini.

Mendengar pernyataan Camat, Kadus langsung menanggapi dengan menyatakan bahwa: “Saya tergantung kepada warga masyarakat saya, karena saya dipilih oleh warga masyarakat. Kalau warga masyarakat saya mengatakan setuju dan menghendaki adanya perusahaan batu bara maka saya juga tidak bisa menolaknya, begitu juga sebalinya, kalau warga masyarakat saya mengatakan tidak setuju saya juga tidak bisa menolaknya”. Setelah mendengar jawaban dari Kadus tersebut, secara serentak warga Masyarakat Adat mengatakan tidak setuju adanya perusahaan pertambangan batu bara di wilayah kami. Pernyataan warga masyarakat didukung oleh wakil ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Gurung Sengiang (Pak Hendrikus Ujang). Pak Hendrikus Ujang langsung bertanya: “Apakah ada pimpro perusahaan pertambangan batu bara ikut dalam tim survey ini?”. Camat mengatakan tidak ada pimpro ikut. Pada hal di antara tim survey tersebut ada pimpro perusahaannya. Mendengar jawaban itu wakil ketua BPD langsung membacakan surat penolakan yang telah dibuat oleh masyarakat adat sejak lama. Masyarakat Adat di wilayah ini sudah lama membuat surat pernyataan penolakan terhadap berbagai jenis perusahaan yang ingin masuk ke wilayah mereka. Bahkan beliau membacakan kronologis beberapa perusahaan yang pernah dan akan masuk ke wilayah adat mereka, seperti perusahaan Borneo Karunia Mandiri (BKM) yang bergerak di bidang HPH, perusahaan sawit dan yang terakhir perusahaan pertambangan batu bara. Semua perusahaan yang ada tersebut ditolak keberadaannya oleh Masyarakat Adat. Masyarakat adat mangancam, apabila perusahaan pertambangan batu bara ini benar-benar ingin beroperasi di wilayah adat mereka, jangan salahkan Masyarakat Adat apabila bertindak sesuai dengan aturan Masyarakat Adat sendiri.

Sikap dan Tanggapan Muspika Serawai dan Tim Survey
Setelah mendengar semua sikap dan pernyataan Masyarakat Adat Dusun Gurung Permai yang menolak secara mentah-mentah kehadiran perusahaan pertambangan batu bara. Camat langsung beraksi dan mengajak Masyarakat Adat untuk bersumpah atas pernyataan mereka. Dia mengatakan: ”Apakah Masyarakat Adat berani bersumpah atas penolakan tersebut?”. Masyarakat adat secara serentak mengatakan berani. ”Apakah Masyarakat Adat berani berhadapan dengan Bupati?”, kata Camat lagi. Masyarakat adat mengatakan lagi: ”Jangankan berhadapan dengan Bupati, berhadapan dengan Presiden, Guburner kami tidak takut”.

Lain lagi pernyataan manajer perusahaan pertambangan atas sikap dan pernyataan Masyarakat Adat yang menolak kehadiran pertambangan batu bara. Menejer perusahaan hanya memberikan pandangan, bahwa kehadiran perusahaan akan memberikan lapangan kerja bagi masyarakat, memberikan fasilitas dalam bentuk bina desa, membuka akses jalan tembus dari jalan raya ke dusun-dusun lainnya, dapat meningkatkan perekonomian masyarakat, mudah mendapatkan uang banyak sehingga bisa membeli motor dan mobil. Jadi manajernya lebih kepada promosi yang bagus-bagus saja apabila perusahaan pertambangan jadi beroperasi di wilayah milik Masyarakat Adat. Dan tidak ada dari rombongan tim survey yang mengatakan hal-hal jelek apabila suatu perusahaan beroperasi di wilayah Masyarakat Adat.

Menurut warga Dusun Gurung Permai, promosi seperti ini sudah basi sering disampaikan oleh banyak perusahaan yang hanya ingin memperkaya diri sendiri. ”Mana mungkin perusahaan seperti pertambangan batu bara mau rugi hanya karena memenuhi permintaan masyarakat adat”, celetuk seorang warga lainnya. Oleh sebab itu beberapa perusahaan yang pernah masuk ke wilayah adat ini tidak pernah menempati janjinya, seperti ada uang bina desa, perbaikan jalan, membuat rumah adat, memperbaiki rumah ibadat dan sebagainya. Apabila perusahaan sudah untung dengan mengeruk semua sumber daya alam milik Masyarakat Adat maka pasti mereka tidak peduli lagi dengan Masyarakat Adat setempat. Dan konflik-konflik yang terjadi antara Masyarakat Adat dengan perusahaan juga berakar dari tidak dipenuhinya janji-jani yang pernah dilontarkan pada waktu ingin masuk ke wilayah milik Masyarakat Adat.

Atas pernyataan Camat Serawai dan manajer perusahaan yang menurut mereka tidak memuaskan di atas, kaum perempuan adat beraksi dan marah. Mereka langsung mengusir rombongan tim survey batu bara untuk segera angkat kaki dari dusun mereka. Pengusiran terhadap para pejabat pemerintah dan perusahaan oleh kaum perempuan adat di pedalam Kalbar merupakan hal baru bagi kita semua. Ini membuktikan bahwa kelompok perempuan adat juga sangat peduli dengan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam lainnya. Jadi persoalan memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak Masyarakat Adat bukan persoalan kaum laki-laki saja. Karena kalau sumber daya alam yang merupakan sumber penghidupan Masyarakat Adat habis, maka yang lebih merasakan sakit adalah kaum perempuan adat. Karena mereka tidak bisa lagi membuat berbagai jenis kerajinan tangan, mereka sulit mencari air bersih baik untuk di minum maupun untuk mandi dan mencuci. Sebenarnya bukan hal baru bagi para perusahaan dan pemerintah bahwa masyarakat adat di wilayah ini menolak berbagai jenis perusahaan yang ingin masuk. Masyarakat adat sudah memperingatkan kepada pemerintahan Kecamatan, Kabupaten bahkan sampai ke Menteri agar jangan lagi menghadirkan perusahaan di wilayah adat mereka. Peringatan seperti ini masyarakat adat buat dalam bentuk surat pernyataan penolakan yang dibubuhi cap jempol atau tanda tangan warga masyarakat adat.

Minggu, 19 Oktober 2008

Hukum Adat Bagi Perusahaan Pertambangan Batu Bara


Pelajaran Penting Bagi Perusahaan yang Ingin Beroperasi
di Wilayah Masyarakat Ada
t

Ini yang kedua kalinya Masyarakat Adat Limbai menghukum adat Perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan. Hanya yang berbeda adalah tempat dan nama perusahaannya. Kali Masyarakat Adat Limbai Ketemenggungan Siyai yang mengambil tindakkan dengan menghukum adat sebuah perusahaan pertambangan yang bernama PT. GMT Servisces sebesar Rp. 8.200.000,- (Delapan Juta Dua Ratus Ribu Rupian). Adat yang dikenakan adalah adat salah basa, adat kesupan kampung, adat kesupan temenggung. Namun belum ada secara rinci mengenai jumlah masing-masing adat.

Penghukuman Adat oleh Masyarakat Adat Limbai Ketemenggungan Siyai berawal dari dikeluarkaannya surat pemberitahuan oleh Camat Menukung kepada Kepala Desa Belaban Ella. Keluarnya surat pemberitahuan didasari adanya Surat Tugas yang dikeluarkan oleh PT. GMT Services dengan nomor: 010/ST-SR&MRM/VII/2008.RM, pada tanggal 14 Juli 2008 tentang Penyelidikan Wilayah dan Pemetaan (Mapping) di Daerah Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi dalam Konsesi PT. Sindo Resources dan PT. Melawi Rimba Minerals. Dari surat tugas tersebut, ada 4 orang yang ditunjuk untuk melakukan survey batu bara, yaitu: 1). Arief Syafrul Hakim; 2). Hendry Kusumoyudho; 3). Imam Munandar; dan 4). Standy A. Paat. Inti dari surat tersebut adalah memberitahukan kepada Kepala Desa bahwa akan ada tim survey batu bara yang melakukan penyelidikan wilayah dan pemetaan di daerah Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi. Sehubungan dengan surat tersebut diminta kepada Kepala Desa agar membantu kelancaran tim survey di wilayah kedesaan Belaban Ella, kemudian Kepala Desa diminta agar memberitahukan juga kepada warga masyarakat tentang kegiatan tim survey batu bara tersebut. Ternyata surat yang dikirimkan oleh Camat Menukung, tidak diumumkan oleh Kepala Desa kepada warga masyarakatnya.

Pada tanggal 4 Agustus 2008, ada orang warga Kampung Sungkup yang sedang pergi ke ladang bertemu dengan tim survey batu bara. Ternyata tim survey juga dibantu oleh beberapa orang warga masyarakat dari kampung lainnya sebagai penunjuk jalan. Warga masyarakat Sungkup yang bertemu dengan tim survey tersebut bertanya: ”mau kemana kalian?”. Dijawab oleh mereka: ”kami mau memancing ikan”. Mendengar jawaban dari tim survey, warga Sungkup langsung pulang dan memberitahukan kepada warga masyarakat adat yang lainnya bahwa ada orang yang melakukan survey batu bara ke wilayah mereka. Mendengar berita tersebut beberapa orang warga masyarakat adat menyusul dan mendatangi tim survey. Setelah ketemu, langsung dibawa ke kampung Sungkup untuk bermusyawarah. Setelah dilakukan musyawarah, masyarakat adat meminta agar tim survey memenuhi tuntutan adat, karena melakukan survey tanpa pemberitahuan sebelumnya. Adat yang dikenakan adalah adat salah basa. Atas tuntutan adat, pihak tim survey meminta waktu untuk memenuhi tuntutan adatnya. Permintaan penangguhan waktu dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada tim melakukan konsultasi dan koordinasi dengan pimpinan perusahaan.

Berdasarkan surat kesapakatan yang di buat di Desa Siyai pada tanggal 6 Agustus 2008 antara Masyarakat Adat Ketemenggungan Siyai dan Tim Survey bahwa akan ada pertemuan lanjutan untuk penyelesaian tuntutan adat pada tanggal 9 Agustus 2008. Kesepakatan ini sendiri di buat setelah ada pertemuan yang dihadiri oleh pihak Muspika (Camat, Dan ramil, dan Kapolsek) Kecamatan Menukung. Namun kesepakatan ini tidak dilaksanakan oleh tim survey. Akhirnya realisasi pemenuhan tuntutan adat dilaksanakan pada tanggal 4 September 2008 di Kampung Sungkup. Pada saat pemenuhan hukum adat dilaksanakan upacara adat. Upacara adat dimaksudkan agar tidak ada lagi tuntutan dari pihak manapun atas kasus yang sudah terjadi. Selain itu dilakukan upacara adat sumpah yang dimaksudkan agar pihak-pihak luar tidak sewenang-sewenang memasuki wilayah adat. Harus ada pemberitahuan dan musyawarah dulu dengan masyarakat adat sebagai pemilih wilayah apabila ingin masuk ke wilayah adat mereka.

Kasus ini menggambarkan bahwa tidak ada koordinasi antara para pengusaha, pemerintah. Pemerintah menganggap bahwa semua tanah beserta isinya adalah milik negara yang dapat digunakan untuk apa saja tanpa memperhatikan hak-hak Masyarakat Adat setempat. Dan kasus ini sebenarnya dapat menjadi pelajaran bagi Pemda Melawi, karena ini yang kedua kalinya Masyarakat Adat Limbai di Menukung menghukum adat perusahaan pertambangan batu bara. Seharusnya Pemda bersama Perusahaan jera donk.........