Jumat, 18 Juli 2008

Pelatihan Gender bagi Kelompok Perempuan

Memahami Keseimbangan Peran (Laki-laki dan Perempuan)

Pelatihan gender sangat penting bagi kelompok perempuan adat yang berada di pedalaman Kalimantan Barat. Seperti yang dilakukan di Desa Pisak, Kecamatan Tujuh Belas, Kabupaten Bengkayang.

Pelatihan ini dimaksudkan agar kaum perempuan memahami dan mengerti keseimbangan hak, peran antara laki-laki dan perempuan. Dengan memahami dan mengerti atas hak, perannya maka perempuan dapat berbuat sesuatu bagi kaumnya yang tertindas.

Kegiatan ini dilaksanakan atas prakarsa kelompok perempuan yang berada di Desa Pisak. Mereka menginginkan adanya kerjasama antara mereka dan kaum laki-laki dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, khususnya kaum perempuan yang tertindas.

Selasa, 15 Juli 2008

Upacara Adat Penancapan Tata Batas Wilayah

Cara Masyarakat Adat Mengamakan Wilayah Adatnya

Salah satu cara menghindari konflik tata batas, Masyarakat Adat Dayak Punan Uheng Kereho di Kampung Nanga Enap dan Dayak Taman di Lunsa Hulu sepakat untuk menentukan tata batas wilayah adat.

Penentuan tata batas wilayah adat ini, terlebih dahulu dilakukan musyawarah adat yang melibatkan para tokoh masyarakat adat dari kedua suku tersebut. Dari hasil musyawarah maka disepakati untuk membuat tata batas wilayah adat dengan menancapkan kayu belian (besi) sebagai tanda batas tersebut.

Sebelum dilakukan penancapan tiang batas, maka dilakukan upacara adat. Upacara adat dimaksudkan agar segala sesuatu yang sudah disepakati tidak lagi dilanggar oleh kedua belah pihak. Apabila terjadi pelanggaran maka dikenakan sanksi sesuai dengan aturan adat yang berlaku di wilayah tersebut.

Kamis, 10 Juli 2008

Pertemuan Orang Muda Katolik Se-Paroki Ambalau

"Menjadi Kaum Muda Katolik Yang Atif, Kreatif, Inovatif dan Peka akan Sesama dan Lingkungan Hidup".

Pertemuan yang dihadiri oleh 190-an anak muda katolik se-Paroki Ambalau ingin mengajak anak muda khususnya anak muda katolik agar memahami dan sadar akan hak-hak masyarakat adat atas lingkungan hidup. Pertemuan ini sendiri diprakarsa oleh Pastoral Ambalau (Pastor Silver) bekerja sama dengan masyarakat adat Ambalau. Pertemuan dilaksanakan pada tanggal 7 - 13 Juli 2008.

Issu yang dibahas dalam pertemuan adalah dampak dari masuknya perusahaan perkebunan dan pertambangan di wilayah masyarakat adat. Issu ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat adat, khususnya kaum muda katolik karena di daerah tersebut terjadi pro dan kontra terhadap akan masuknya suatu perusahaan (terutama sawit). Situasi ini didasarkan dari hasil pertemuan di mana beberapa kaum muda mempertanyakan kejelasan mengenai dampak kalau perusahaan sawit masuk ke wilayah mereka. Terjadinya pro dan kontra menurut mereka karena masyarakat adat tidak diberi informasi yang jelas dari pihak pemerintah atau pihak perusahaan mengenai dampak negatif dari perkebunan sawit. Masyarakat adat hanya mendapat informasi sekilas saja dari pihak perusahaan yang melakukan sosialisasi mengenai perkebunan sawit. Informasi yang diberikan lebih banyak bersifat menguntungkan saja, seperti akan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat adat setempat, menyediakan sarana (rumah ibadat, sekolah dan jalan), perusahaan akan mengganti rugi tanah dan tanam-tumbuh masyarakat adat yang terkena lahan sawit, masyarakat adat akan mendapat kapling plasma bagi yang menyerahkan tanahnya.

Untuk memberikan beberapa informasi mengenai dampak sebenarnya perkebunan sawit bagi kelangsungan hidup masyarakat adat, panita pertemuan mengundang beberapa narasumber yaitu WALHI Kalbar, LBBT, PMKRI Sintang, Pemuda Katolik Sintang, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat Sintang. Walhi Kalbar lebih banyak bercerita mengenai dampak lingkungan hidup apabila perkebunan sawit masuk. Selain itu Walhi juga memberikan gambaran peta wilayah yang akan dijadikan perusahaan untuk perkebunan sawit, khususnya di daerah Serawai dan Ambalau Kab. Sintang. Menurut Walhi dampak yang akan terjadi yang pasti kekeringan, tanah longsor, dan yang paling menyedihkan adalah masyarakat adat tidak memiliki akses dan mata pencarian lagi seperti yang dilakukan selama ini.

LBBT sendiri berbicara mengenai Kedudukan Masyarakat Adat di dalam Hukum Nasional. Selain itu juga membahas mengenai kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam. Intinya secara hukum nasional Masyarakat adat beserta hak-haknya memang diakui. Yang menjadi persoalan bagi Masyarakat adat adalah ketidak konsistenan hukum dalam mengakui hak-hak Masyarakat adat.